13

523 60 6
                                    

Zeus menghela nafas panjang dan membuangnya dengan tenang. Ia paham apa yang kurasakan saat ini. Tak mudah bagiku untuk menceritakan kembali kenangan kelam itu.

"Maaf, telah membuatmu menangis di saat yang tidak tepat," ucap Zeus merendah.

Kepalaku terangkat pelan melihatnya. Tatapanku buram karena air mata yang masih menggenang. Aku kedipkan lagi dan membiarkan air mata itu jatuh ke pipiku.

"Kau tidak salah, Zeus," ucapku sambil tersenyum dan mengusap air mataku. "Sejujurnya aku memang ingin menangis akhir-akhir ini. Aku lelah harus merasa bahagia."

Zeus bingung dengan ucapanku, kemudian ia menanyakan lagi apa maksud dari ucapanku.

"Sejujurnya aku tidak ingin Johnny meninggalkanku. Aku ingin ia tetap hidup. Awalnya aku menanggapi penyakitnya itu dengan cara yang biasa karena aku pikir memang inilah takdir penderita Leukimia. Takdir untuk meninggalkan semuanya yang ada di dunia, meninggalkan begitu banyak cinta demi kehidupan damai di surga dan takdir berjuang untuk melawan penyakitnya. Tapi kesiapan untuk merelakan kehilangan masih nihil pada diriku," jelasku.

Zeus yang mendengar penjelasanku, tiba-tiba saja langsung memegang kedua tanganku. Dari cara ia memegang sepertinya kaku. Apakah dia belum pernah seperti ini sebelumnya?

"Eum... Alexa, aku tahu kau... eum... kau pasti merasa terluka atas masa lalumu. Ta—tapi kau jangan bersedih. Ada a—aku dan J—Johnny yang selalu menghiburmu," ucap Zeus terbata-bata.

"Hah? Z—Zeus kau kenapa?" Bingungku.

Zeus langsung melepaskan tangannya dariku. Tanganku menjadi lebih hangat karena genggamannya. Tapi tetap saja ini aneh kenapa dia tiba-tiba seperti ini.

"Ah ti—tidak. Sebentar, ya. Aku harus ke toilet dulu," ucap Zeus terburu-buru. Ia berjalan dengan tegang dan tadi aku lihat ia berkeringat.

Menyentuhku seperti lari marathon baginya. Aneh, batinku.

*****

Zeus mengantarku pulang kerumah karena aku yang memintanya. Untung saja, saat berangkat aku sudah izin kepadanya.

Aku masuk kedalam rumah dan aku melihat ibu sudah berdiri di ruang tamu.

"I—ibu?" Aku berucap dengan gugup.

Lalu ibu berjalan kearahku dengan wajah datar. Tangannya telah terlipat di dadanya dan tatapannya sangat tajam.

"Dari mana kau?" Tanyanya dengan sedikit tegas.

"Bu, maaf. Kemarin aku bertengkar hebat dengan Emily. Saat aku pulang sekolah, teman-temannya menghajar balik padaku. Perutku kram dan wajahku memar membiru. Makanya, aku tidak berani pulang ke rumah karena itu. Aku tidak ingin ibu memarahiku. Aku lelah. Satu lagi, aku ingin bersama dengan Johnny saat kemarin. Aku... tidak sanggup untuk merasa kehilangan," jelasku yang menundukkan kepala sejak ibu menatapku.

Ibu tidak menanggapi apapun dan kami hening. Kemudian ibu berjalan mendekatiku dan memelukku secara tiba-tiba.

"Alexa, ibu tahu bagaimana rasanya menjadi kau. Ketika perasaanmu tak berbuat apa-apa, lalu perasaan orang lain menghancurkanmu. Sakit sekali. Tapi ibu mohon, jangan ambil tindakan itu lagi. Kau tidak tahu betapa khawatirnya ibu disini. Menunggumu hingga larut, tapi ternyata kau tidak pulang. Ibu tahu kau sangat mencintai Johnny namun tak begini caranya," suara ibu bergetar dan parau. Air mata membasahi bajuku.

Tubuhku melemas dan luluh dalam pelukan ibu. Wajahku ku terbendam dalam dadanya dan bajunya ikut basah karena air mataku.

"I—ibu, maafkan aku."

Ibu hanya mengangguk pelan. Keheningan menyelimuti kami berdua. Tidak ada lagi.

*****

Aku berjalan ke arah kelas dengan langkah seperti biasanya. Lorong sekolah lumayan ramai dari biasanya. Tapi pemandangan ini membuatku tidak enak. Bagaimana tidak? Mereka semua melihatku dengan tatapan tidak ramah. Sejak pertengkaran itu, semuanya menjauhiku. Bahkan aku rasa, ke galakanku akan segera berkurang dalam diriku.

"Hei, bukankah dia Alexa? Siswa kelas 11-A?"

"Ah iya. Kenapa?"

"Ternyata ia telah menjalin hubungan dengan siswa kelas 12."

"Oh ya? Siapa dia?"

"Johnny Seo, siswa yang terkena kanker itu."

"Aku harus merasa kasihan padanya. Padahal ia harusnya bahagia dengan Johnny, tapi setelah itu ia akan ditinggal untuk selamanya."

Tak berhenti sampai situ, gunjingan tentangku juga terdengar. Itu menyakitkan.

"Apakah kau tahu jika Alexa bertengkar dengan Emily?"

"Ah, aku mengetahuinya."

"Kemudian saat pulang sekolah, ia dibalas oleh teman-teman Emily. Aku turut prihatin, tapi untuk apa ia bertengkar seperti itu?"

"Katanya, Alexa tidak terima jika hubungannya dengan Johnny disebar luaskan."

"Ah begitu. Padahal Alexa harusnya senang karena hubungannya telah terungkap."

Gunjingan demi gunjingan menggiringku sampai ke dalam kelas. Tidak jauh beda dengan di lorong sekolah, tatapan sinis juga ku terima dari teman-teman kelasku. Satu per satu mereka menjauhiku. Mereka seolah takut dekat denganku karena aku adalah sosok yang galak dan pemarah. Tapi jika sudah di situasi seperti ini, aku malah tidak ingin melakukan apapun.

"Kasihan sekali dirimu. Santaplah karma itu. Hahaha."

"Lebih baik jauhi Emily. Jangan membuatnya menderita lagi."

"Dasar wanita kasar! Kenapa Johnny yang terkena Leukimia itu mau menjalin hubungan denganmu yang kasar? Aku kasihan dengan Johnny."

Kali ini telingaku tidak sanggup menampung semua ejekan dan hinaan mereka. Aku menggebrak mejaku sampai kursiku berdecit karena gesekan dari dorongan tubuhku.

Semua mendengarnya dan menoleh kearahku. Aku melangkah keluar dari kelas dengan langkah menghentak. Ku buka pintunya dengan kasar dan berlari dari ruang itu tanpa menutupnya lagi.

Aku mencari lorong sepi di lantai yang sama dengan letak kelasku. Aku tetap berlari lurus sampai ujung. Lalu aku melihat kanan dan kiriku kosong. Tempat itu adalah bekas kelas 10 dan 11 yang lama. Aku memilih arah kiri—kelas 11 lama.

Kecepatan langkah demi langkah mulai berkurang, tubuhku melemas dan nafasku tidak teratur. Ku banting badanku ke tembok dan membiarkanku terjatuh sendiri. Derasnya air mata tak dapat ku usap lagi.

Aku menangis, menderita. Ini bukanlah aku. Ini bukan Alexa Grace yang mereka kenal. Kenapa aku begitu lemah? Kenapa amarahku tak dapat keluar dari mulutku? Kenapa aku merasa takut?

Sebelum aku mengenal Johnny, tidak pernah sedikit pun aku menitihkan air mata atau menangis cengeng seperti ini. Tapi saat aku mengenal dan kemudian menjalin hubungan dengannya, semua merubah yang ada dalam diriku.

Ini bukanlah aku. Sungguh.

.
.
.
.
tbc.

The Last Melody {Johnny Seo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang