14

486 49 25
                                    

Tugas telah tuntas, membantu ibu juga sudah selesai. Kini saatnya aku menuju rumah sakit untuk menjenguk yang tersayang — Johnny Seo. Sudah satu minggu aku tidak mengunjunginya sejak saat aku menangis di sekolah pada hari itu. Aku memang mengistirahatkan diri agar aku bisa lebih baik.

Lalu lintas di Los Angeles tidak terlalu padat. Ini memudahkanku bisa lebih cepat sampai ke rumah sakit.

Ter putarlah lagu Secondhand Serenade - You and I, yang membuatku menitihkan air mata saat sedang menyetir.

I know I am not alone
I am not the only one who is broken
And I know I'll never let you go
I could watch the world pass by
Just as long as it's you and I
You and I

Bagaimana aku bisa bersama dengan Johnny dalam waktu lama? Bagaimana aku bisa membuatnya bahagia jika tahu bahwa Tuhan sudah menetapkan waktu hidup untuknya?

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan banyak kenangan. Banyak hal yang telah kulalui bersamanya. Fitnah dari teman-temanku ternyata membuatku jadi lebih kuat dari sebelumnya, walau ku tahu lukanya sulit untuk tertutupi.

Sampailah aku di rumah sakit. Ku parkirkan mobilku dengan hati-hati. Mengambil nafas panjang kemudian melangkah menuju yang tersayang.

Lorong rumah sakit ini sedikit horor kalau sudah malam. Maka tak heran jika bulu kuduk ini merinding seketika.

Mengapa rumah sakit ini seperti rumah angker, batinku ketakutan.

Sampailah di depan ruang rawatnya. Aku mencoba mengintip dari kaca kecil. Tapi kenapa ruangan itu gelap? Apakah Johnny tidur?

Daripada penasaran, aku mencoba membuka pintu tersebut dengan hati-hati. Ku nyalakan lampunya dan ternyata Johnny tidak ada dalam ruangan. Nafasku sedikit terhenyak dan kekhawatiran muncul seketika.

"Johnny?" Ku coba memanggilnya tiga kali dan memang benar. Ia tidak ada di kamarnya. Bahkan ponselnya juga tidak ada.

Aku memutuskan untuk menelfonnya. Syukurlah, akhirnya dia mengangkat panggilanku.

"Johnny, dimana kau?"

"Aku di gereja rumah sakit. Kemarilah," Ucapnya dengan nada dingin. Kemudian ia mematikan panggilannya mendadak.

Alisku mengernyit. Kenapa dia seperti ini? Dasar manusia aneh.

*****

Tiba juga akhirnya aku di gereja rumah sakit yang sudah tua ini. Butuh dua kilometer berjalan untuk menuju tempat ini dari kamar Johnny. Meski tua, gereja ini masih terawat dengan baik. Gereja ini tidak besar tapi tidak kecil, sangat pas.

Benar saja, aku melihat seseorang dengan bennie warna hitam dan kantong infus di sebelah kanan tangannya yang sedang memainkan piano. Lelaki itu ada di sudut kanan depan gereja.

Melodinya begitu syahdu. Aku seperti berjalan menuju altar bersamanya. Ah, apa-apaan ini? Harusnya aku tidak membayangkan itu. Karena itu takkan mungkin terjadi.

Aku mengendap-endap agar tidak mengganggu konsentrasinya. Senyum terulas dari wajahku yang tadinya penuh ketakutan. Kini, aku merasakan ketenangan dan kedamaian. Ditambah lagi hanya kami berdua yang berada di gereja itu. Iya, berdua.

The Last Melody {Johnny Seo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang