Secangkir Kopi Latte dan Kamu

220 14 0
                                    

Zoya POV

Gianyar, Bali 2019

Kali ini aku berada di sebuah cafe yang terletak di daerah Gianyar. Ditemani dengan secangkir kopi latte serta musik klasik era tahun 90-an. Hari ini tepat dimana dia meninggalkanku. Aku yang saat itu hanya bisa menangis karena selalu merindukannya. Rindu akan tawanya, senyumnya, candanya, dan lain sebagainya yang membuatku menjadi kecanduan terhadapnya. Mari kawan, aku akan menceritakan sedikit kisahku dengannya.

Denpasar, Bali 2009

Di siang hari ini, aku tengah duduk di bawah pohon sambil memeluk lututku sendiri. Ditemani dengan semilir angin dan tentunya dengan secangkir kopi latte. Pacarku berlari kearahku dan setibanya dia didekatku, dia langsung duduk di sebelahku. Nama pacarku adalah Hendrik Prathama. Sudah kalian tidak boleh tahu selanjutnya, nanti kalian bisa tertarik dengannya. Karena Hendrik adalah milikku seorang diri.

“Hai! Ngapain ngelamun disini? Panas-panas gini juga kamu tetep minum kopi latte, ya?” tanya Hemdrik sambil menatapku.

“Gak ngelamun, tuh? Kamu salah liat kali?” ujarku kepadanya. “Aku kan memang suka dengan kopi latte dimanapun dan kapanpun. Apa kamu lupa?” lanjutku kemudian.

“Ya gak lupa dong, Sayang. Aku kan cuma nanya sama kamu. Keliatannya kamu lagi ada masalah? Mau cerita gak? Gak biasanya kamu duduk sambil nekuk lutut gitu.” Aku dengan Hendirk sudah 2 tahun lebih berpacaran. Jadi, dia tahu aku itu bagaimana. Mulai dari sifat, tingkah laku, bahkan cara berbicaraku pun dia hafal.

“Dasar kamu ini. Biarkanlah sesekali aku pendam masalahku.” memang benar aku selalu menceritakan setiap hal kepadanya.

“Dengerin ya. Setiap orang pasti memiliki masalah. Entah itu yang kecil ataupun yang besar. Jangan sesekali kamu memendam masalahmu sendiri karena itu akan....”

“Akan membuatmu menjadi stres lalu depresi dan terakhir bunuh diri karena tidak kuat. Begitu kan?” ujarku memotong pembicaraanya sambil menatap kearahnya.

Aku menghela nafas berat lalu aku berujar “Baiklah. Aku akan ceritakan masalahku.” dia kemudia tersenyum dan mengusap kepalaku hingga rambutku berantakan karenanya.

Sambil merapikan rambut aku bercerita kepadanya “Kamu tahu kan bagaimana keluargaku saat ini?” tanyaku yang dijawab olehnya hanya sebuah anggukan kepala.

“Mereka tadi pagi berantem lagi dan mereka membicarakan hak asuhku. Aku yang tidak kuat mendengarkan mereka bertengkar akhirnya lari dari rumah,” ujarku sambil menahan tangis.

“Teman-temanku juga selalu mengejekku karena aku ini dianggap aneh oleh mereka. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka berbicara demikian. Memangnya aku aneh darimananya, sih??” lanjutku yang membuat air mataku yang sedari tadi aku tahan akhirnya keluar.

“Nih ya, dengarkan aku lagi. Hidup ini memang berat. Tuhan selalu menguji setiap umat-Nya dengan kekuatan kita masing-masing. Walaupun kamu saat ini sedang dilanda kesedihan seperti ini, percayalah bahwa ada yang lebih sedih daripada kamu saat ini.” ujar Hendrik. Hendrik selalu mempunyai cara agar bisa menenangkanku.

“Aku ingin menyusul nenekku, deh. Rasanya disana indah banget ya. Sampai-sampai nenek gak mau menghampiriku lagi di dalam mimpi.” ujarku dengan kesal.

“Jangan bicara seperti itu. Memangnya setelah kamu pergi masalah yang kamu hadapi bisa terselesaikan? Gak kan? Justru masalah itu akan bertambah dan kamu akan membebankan orang-orang terdekatmu.” ujar Hendrik.

“Tapi aku capek disini.” Aku menangis kembali lalu Hendrik memelukku sambil mengusap punggunggku agar kembali tenang.

“Sudah, sudah. Kan sekarang kamu punya aku disini. Aku mau kok dengerin curhatanmu setiap waktu asalkan kamu tidak berpikiran demikian,” dia memegang pundakku lalu mengusap air mataku yang masih menetes.

Cerpen MBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang