Titip Rindu pada Semesta

273 13 0
                                    

Pekanbaru, hari ketika rinduku menggema dalam jiwa

Teruntuk,  Agen Pian yang kurindu dalam saat-saatku

Pian, apa kabar?

Aku tidak tahu bagaimana cara mengawali surat ini. Apakah kalimat pertamaku itu kurang tepat? Tetapi, aku benar-benar tidak tahu kalimat yang pantas untuk mengawali surat ini.

Pian, tahukah kamu tentang rindu ini? Aku berpikir jikalau kamu belum mengetahui. Maka, dengan segenap hati dan rindu yang mendesak untuk tersampai, aku rincikan semua padamu, untukmu.

Pian, aku telah mengabarkan rindu pada semesta agar terjabar untukmu. Namun, mengapa hingga kini tak jua kutemui balasan darimu? Apakah sesibuk itukah, kamu, Pian? Hingga tak sanggup kamu balas kabar rinduku. Ataukah kau temu bidadari yang lebih pantas untukmu disana?

Pian, aku telah menjalin nadi dengan ranting pohon yang bercabang. Agar dirasakannya cepat aliran darahku ketika namamu tersebut. Namun, mengapa hingga kini kamu masih jauh dariku? Seolah tak mendengar teriak detak jantungku untukmu.

Pian, aku telah menyaru dalam jiwa-jiwa burung yang terbang mengudara guna kuraih jiwamu disana. Tidakkah kau rasakan? Jiwaku merintih merindu ketika kulayangkan ia ke angkasa. Mereguk nikmatnya hela napas di langit lepas, udara yang pernah kita hirup bersama.

Pian, ketika aku menatap cakrawala di sana, langit berkonspirasi dengan kawanannya melukis keindahanmu. Bisa kurasakan rindu yang semakin mengalir. Mengambil alih jiwaku yang semakin rapuh karena tak sanggup menahan rasa.

Pian, aku iri, pada rembulan yang dapat bersua pada malam, bercumbu lepas kerinduan, yang mana tak bisa kurasa tanpa dirimu. Tidakkah kamu pun merasa iri? Tidakkah terundang jua kita tuk berdua dan sedikit lampiaskan rindu?

Pian, sarafku merajut kasih pada jalin-jalin sutra rajutan harapan laba-laba di sudut rumahku. Tidakkah kau bertanya, apa perluku lakukan itu? Agar ketika balas rindumu bebas berlanglang buana, dapat kurengkuh balas rindumu dalam sekejap.

Pian, saat ini, organ organku menolak bekerja semestinya. Haruskah kudapat dirimu dahulu agar mereka dapat bersama menghidupkan diriku lagi?

Pian, aku takut kepada malam, yang hadirkan mimpi pada dirimu semakin dalam. Rindu merajuk hanya ingin memelukmu. Namun, ketika malam bercinta dengan pagi, kamu pergi, jauh dariku, dan tanpa pamit. Pian, sudah kelukah lidahmu untuk sekadar mengucap selamat tinggal?

Pian, napasku telah direnggut sang Merapi. Aku abai. Karena napas Merapi kan sampaikan sesaknya rindu dalam dada ini. Apakah kamu merasakannya?

Pian, air mataku dalam tahajudku bahkan menganak, menguak rindu yang mengerang. Menghantarkan sepi yang kurasa tanpa dirimu. Tak inginkah kamu hapus air mataku, Pian? Sukakah kamu melihatku menangisimu?

Pian, kuselami lautan yang dalamnya sedemikian hingga tak terkira agar kutemu dirimu. Hingga kucapai dasar Palung Mariana yang konon orang buta akan dasarnya. Namun, mengapa masih tiada kujumpai sejengkal kuku dirimu ataupun setitik rindu yang kuharap?

Pian, asaku membumbung tinggi, meraih angkasa, agar tersampai pada bintang-bintang tuk membentuk konstelasi rinduku padamu. Tetapi, mengapa tak kunjung terbentuk konstelasi itu? Adakah tangan tangan Tuhan meleburkan asaku? Mewujud ada pada harapanku yang lain?

Pian, gemuruh dadaku menjelma dalam amarah Krakatau, menggelegak panas, menggeliat, terbangun merampas kehidupan yang terlalui. Pian, tidakkah kamu ingin menolongku? Melepas puas untuk rinduku? Barangkali hanya sekilas tatap pun ku rasa cukuplah.

Pian, rinduku mengalir deras layaknya air terjun menerjang sungai. Mengikuti alur Tuhan yang menjadi jalan takdirnya. Mengalir, mengisi kekosongan sungai sungai yang kehausan meregah, meraup rakus airnya. Tidakkah kau rasakan haus akan rindu pula, Pian? Ataukah aku seorang yang merasa?

Pian, rinduku seperti hujan. Jatuh berulangkali, tetapi tetap tidak jemu untuk kembali. Pernahkah kamu berpikir, apa rasa tetes air ketika jatuh ke jagad ini? Sesalkah, atau pasrah dan percaya, barangkali saja dia rasa bahagia? Tetapi, meski aku telah jatuh berkali-kali, kini aku tak bisa merasa hadirmu pada jatuhku.

Pian, doaku pada Tuhanku bahkan tiada kurang seribu tersebut namamu. Tidakkah kau dengar di atas sana? Tuhan memelukmu dan membisikkan doaku pada jiwamu. Mengurai bait-bait rindu yang terucap dalam doaku.

Pian, inilah suratku, surat rindu yang kutitipkan pada semesta. Sampaikah ia padamu? Ataukah samudra memendamnya? Ataukah bumi memeluknya? Apakah rindu ini tak direstui semesta? Adakah Tuhan cemburu pada rinduku padamu?

Pian, tahukah kamu, keluh kesahku pada Tuhan? Bilamana belumlah kamu tahu, biar aku sampaikan keluhku pada Tuhan padamu. Pian, sungguh kuharap kamu bisikkan keluhku, agar Tuhan izinkan aku sekadar sampaikan rindu padamu. Inilah, Pian, keluhku yang merindu padamu.

"Tuhan, bilamana aku risau akan tersampai rinduku pada kekasihku disana, cemburukah Engkau? Bilamana kutitip rindu pada malaikat tuk sampaikan pada kekasihku di sisi-Mu, sudikah Engkau? Tuhan, sungguh, aku merindu pada hamba-Mu yang telah berpulang pada-Mu. Aku merindu pada manusia yang kiranya tak kau takdirkan untukku."

Percayakah kamu, Pian? Itulah keluhku pada Tuhanku. Tak pelak, aku hanya berharap izin dari-Nya tuk ucap rindu padamu. Tuk menitip rindu pada semesta yang Dia cipta. Agar tersampai jualah rinduku padamu. Sungguh, Pian, sesungguhnya pun,  aku takut bilamana Tuhanku cemburu pada rinduku padamu.

Maka dari itu, biarlah aku kirimkan surat ini untukmu. Kuharap, ketika surat ini tiba, kamu mau membantuku. Tolong, bisikkan doaku pada Tuhan. Tolong, katakan izinku untuk merindumu agar Dia tidak mencemburuiku. Sungguh, Pian, semesta pun tahu, bilamana meski ku rindu kamu, cintaku pada Tuhanku melebihi cintaku pada ciptaan-Nya.

Kurasa, cukup sekianlah keluh rinduku tersampai. Meski sebenarnya pun, aku masih belumlah ingin mengakhiri surat ini. Tetapi, semesta tak bisa bersabar lagi. Akhir surat ini, kukatakan padamu, Pian, aku merindukanmu, dan akan selalu mencintaimu. Sampai jumpa, terima kasih untuk segala cinta yang kamu hadirkan buatku menikmati masa-masa indah itu.

Yang selalu mencintaimu,

Agen Pika

Pika membaca ulang surat yang ditulisnya. Ia menghela napas. Sungguh, betapa Pian begitu berarti dalam hidupnya. Bahkan, Pika tidak bisa menahan sesak di dadanya setiap pikirannya berlabuh pada Pian. Ah, betapa dia sangat merindukannya.

Pika menangis. Ia rasa, bahkan surat ini tidak bisa benar-benar melampiaskan rindunya pada Pian. Surat itu, hanya satu di antara banyak surat yang ia tulis dan ia titipkan pada semesta. Tahukah bagaimana dia menitipkan suratnya pada semesta? Pika akan menggulung suratnya seperti teropong, kemudian dia ikat dengan pita dan dia ikatkan gulungan suratnya pada kaki burung merpati yang ia beli belum lama ini.

Merpati itu selalu kembali padanya. Merpati itu kembali, tanpa gulungan surat itu. Pika tidak peduli, apakah surat itu jatuh, atau robek, atau justru hancur oleh hujan atau sesuatu. Ia hanya berharap setidaknya semesta membaca suratnya, kemudian mengabarkannya pada Pian. Atau mungkin, Pian menerima dan membacanya dari sana. Apapun, bagaimanapun, asalkan, Pian tahu bahwa Pika selalu mencintainya.

Begitu juga kali ini. Pika menggulung suratnya dan mengikatnya dengan pita merah. Kemudian diikatnya gulungan surat itu di kaki merpati itu. Dilepasnya merpati itu sambil berbisik, Tolong, sampaikan suratku pada Pian, atau sampaikanlah pada semesta bahwa aku menitip rindu.

-Fadhila Zahra Salsabila

Titip Rindu pada Semesta

C

atatan:
Maaf, jika cerpen ini tidak seperti cerpen pada umumnya. Maaf, jika cerpen ini terlalu mengubah kepribadian asli Pika. Maaf, jika cerpen ini menyinggung. Maaf, jika cerpen ini tidak sesuai dengan bentuk cerpen yang sebenarnya. Maaf, kalau cerpen ini justru seperti curhatan rindu Pika untuk Pian. Maaf, jika cerpen ini tidak layak untuk dibaca. Maaf, jika dalam cerpen ini terdapat kata-kata yang ambigu. Maaf, terima kasih mau menerima dan membaca cerpenku ini.

Cerpen MBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang