Serpihan 9

1.6K 210 4
                                    


Abi: Assalammualaikum, Ki. Saya mau kabarin kalau minggu besok, saya akan ke rumahmu untuk melamarmu bersama Ibu saya.

Mata Yuki membulat sempurna saat melihat chat dari Abi. Detik berikutnya Yuki segera menelpon laki-laki itu. Hingga tak berapa lama, terdengar suara dari seberang.

"Assalammualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam. Kamu pasti sudah melihat pesan yang saya kirimkan?"

"Iya. Tapi apa ini nggak terlalu cepat, Mas?"

"Insya Allah tidak, Ki. Malah menurut saya ini yang terbaik bagi kita. Saya pun sebelum memutuskan ini sudah sholat istikharah dan Insya Allah memang ini jalannya."

Yuki terdiam. Dia tak mampu berkata apapun.

"Tapi kalau memang kamu masih belum siap, saya akan menunda lamaran ini, Yuki."

Yuki menelan ludahnya. Bukannya belum siap, gadis itu bahkan sangat siap. Tetap mengingat kejadian saat dia makan malam di rumah Abi kemarin membuat hatinya sedikit ragu. Benarkah ini yang terbaik bagi mereka?

"Mas Abi, apa saya boleh bertanya sesuatu?"

"Apa itu?"

"Mmm... sejujurnya kemarin sewaktu makan malam di rumah, saya menemukan surat dari Mbak Nindya ada di meja Mas."

Terdengar tarikan napas dari seberang."Mungkin sudah saat saya memberitahu ke kamu kalau saya dan Nindya sudah tidak ada ikatan apapun. Dulu saya memang pernah melamarnya, tetapi lamaran saya ditolak olehnya. Jadi sudah tidak apa-apa lagi diantara kami, Yuki. Saya mohon jangan salah paham dengan itu."

"Lalu kenapa sewaktu Mas Abi dan Mbak Nindya bertemu kemarin seolah kalian saling tidak mengenal?"

"Tanyakan Nindya soal itu. Tetapi yang saya yakin Nindya mungkin tak ingin menyakitimu saat mendengar kisah ini."

Yuki mengangguk mengerti dan tersenyum, meski Abi tak melihatnya. Setidaknya mendengar penjelasan darinya secara langsung cukup menjelaskan semuanya.

"Yuki?" tanya Abi memastikan saat tak mendengar suara gadis itu dari seberang.

"Iya?"

"Jadi kalau boleh tahu apa jawabanmu?"

Yuki menarik napas panjang dan tersenyum. "Insya Allah, saya siap Mas."

Meski Yuki tak melihat, tetapi Abi diseberang tersenyum senang. "Alhamdulillah. Kalau begitu saya tutup dulu. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

***

Yuki tak pernah berhenti tersenyum saat hari dimana Abi datang ke rumah untuk melamarnya tiba. Ibarat remaja yang sedang dilanda cinta, hati Yuki seakan terus berbunga-bunga. Bahkan dia sudah menyiapkan semuanya, mulai dari pakaian, jamuan makanan, tak lupa kerapian rumahnya.

Bapak dan Ibunya pun sudah siap di rumah, apalagi abangnya yang daritadi terus bertanya padanya, "Abi sudah berangkat belum, Ki?"

Yuki hanya mampu menghela napas kesal lalu menjawab, "Mas Abi datangnya setelah dzuhur. Ini masih jam 7, tapi Abang udah nanya berpuluh-puluh kali ke aku."

Gilang terkekeh lalu mengelus puncak kepala Yuki. "Hehehe.. Habis Abang nggak sabar sebentar lagi adik Abang dilamar sama laki-laki yang emang pantas untuknya."

Yuki berengut kesal. Namun dalam hatinya, dia tersenyum senang mendengar kalimat Abangnya karena memang Insya Allah, Abi adalah yang terbaik untuknya.

Hingga akhirnya tepat pukul 1 siang, mobil putih tiba di rumah Yuki. Abi beserta Ibundanya keluar dari mobil itu.

Yuki pun tersenyum lembut saat tahu siapa yang datang. Dengan segera, Yuki mempersilahkan mereka duduk bersama Bapak Ibunya di ruang tamu.

Lalu Abi segera menyampaikan maksudnya datang kemari. Kegiatan itu pun berlansung lancar karena sebelumnya kedua orang tua Yuki juga sudah yakin pada Abi bahwa dia laki-laki yang terbaik untuk Yuki.

"Dan untuk urusan biaya pernikahan ini, Insya Allah ditanggung oleh calon mempelai pria karena itu pun keinginan Abi dan almarhum Bapaknya sendiri. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu repot. Benarkan, Abi?"

Abi mengangguk. "Lalu untuk maharnya..." ucapan Abi terhenti saat tiba-tiba Yuki berkata, "Untuk mahar, saya tidak ingin yang memberatkan Mas Abi beserta keluarga. Cukup dengan seperangkat alat sholat serta bacaan surat Ar Rahman dari Mas."

Seketika Abi tersenyum lembut saat mendengar permintaan Yuki. Senyum yang membuat jantung Yuki selalu berdegup kencang.

"Insya Allah, Yuki," ucap Abi.

Hingga tak lama setelahnya, Abi dan Ibundanya pun pamit. Setelah mobil Abi menghilang, Gilang menepuk bahu Yuki melihat adiknya yang daritadi nampak seperti orang gila karena tak pernah berhenti tersenyum.

"Kamu harus makasih dong sama Abang, Ki."

"Makasih buat apa?"

"Berkat Abang kamu bisa ketemu sama Abi."

"Emang Abang ngapain?"

"Lho, masak kamu nggak tahu kalau selama ini Abang yang makjomblangin kamu sama Abi. Abi kan temen Abang sewaktu kuliah di Mesir. Abang juga yang nyuruh Abi ketemu kamu sewaktu lamarannya ditolak sama Nindya. Sekarang gantian dong kamu balas budi ke Abang."

"Balas budi apa?"

"Tolong makjomblangin Abang sama temenmu, kali ada yang mau sama Abang. Hehehe..."

Yuki mencubit lengan Gilang. "Emang pasti ada maunya aja ya, Tapi kalau dipikir-pikir mungkin Yuki bisa bantu soal itu."

Gilang tersenyum senang. "Makasih Yuki, adik Abang Gilang tersayang."

Yuki mengangguk. Yah, lagipula memang benar ini juga berkat Abangnya. Sebelumnya Yuki tak pernah menyangka bahwa Abi yang dulu hanya sebatas teman Abangnya ini ternyata akan jadi calon suaminya kelak.

Lagipula siapa yang tahu ternyata tentang hal itu. Skenario Allah memang tidak bisa kita tebak, cukup tunggu dengan sabar Insya Allah semua penantian pasti akan ada jalannya sendiri.

***

He... belum tamat, belum tamat ya... Masih panjang ini storynya jadi harap ditunggu.. Fyi, sebentar lagi bakal ada sesuatu yang terjadi pada Yuki dan Abi. Jadi harap ditunggu readersku tecinta

XOXO

Jodoh untuk Abi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang