Asonansi Sebelah Hati

691 66 6
                                    

Asonansi
n (Sas).
Pengulangan bunyi vokal dalam deretan kata.

Kali ini, ketika aku menulis dan mengingat lara yang kedua. Aku tengah mendengarkan lagu keroncong, dengan tatapan yang kosong.

96.3 FM, Radio Swiba Karanganyar.

Sembilan tahun yang lalu aku kembali jatuh cinta untuk yang kedua. Namanya juga remaja, itu bukan cinta namun sekedar suka.

Remaja hitam yang lebih tua satu tahun dariku, rambut depan berponi menyamping, tinggi hanya 157 cm, berwajah khas pria Jawa.

Hari ini aku sama menyesalnya, kenapa aku bisa jatuh cinta dengan engkau yang tingginya tidak seberapa? Harusnya aku berpikir untuk memperbaiki keturunan pada masa tua.

Aku maafkan diriku pada masa itu, yang tergila-gila tak bermutu. Mungkin karena engkau, Ketua OSIS berpenampilan lugu.

Siapa yang tak pernah sekali saja berpikir bersanding dengan Ketua OSIS? Kupikir beberapa orang menginginkan hal yang sama, entah ada kisah romantis apa di baliknya.

Dari balik jendela kelas berdebu, aku sambut kedatanganmu dengan tatap bahagia yang tak kamu tahu.

Derap langkah sepatu dekilmu, wajah hitammu, dan senyum sedikit manismu. Seperti sarapan termahal bagiku, masa itu. Jika sekarang, sepertinya lebih enak roti atau tegukan susu dibandingkan menatapmu.

Tak hanya ketika tapak kakimu menjejak sekolah di pagi hari, tapi juga ketika engkau pergi saat hilang sang mentari. Aku selalu mengintipmu malu-malu, bahkan engkau tidak tahu menahu soal itu.

Setiap waktu, Senin hingga Sabtuku semacam itu. Mengulang untuk memandangmu diam-diam semampuku. Dan berakhir pada Minggu untuk selalu memikirkanmu.

Lucunya masa remaja menjamah cinta kedua, tak pernah bosan mengintip yang dipuja, meski sekedar dari balik kusamnya jendela kaca.

Satu masa berlalu, masih tetap dengan rasa yang satu. Anehnya tak ada satu lukapun yang aku temukan, justru bayang wajahmu selalu menyenangkan.

Hingga suatu masa kau jatuhkan aku dalam satu dekip saja. Ketika kau genggam tangan perempuan lain, berjilbab panjang, berparas putih. Kau dengannya layaknya kopi dan susu, manis tapi menyakitkan bagiku.

Sekedar mengagumumi dari balik jendela kelasku, ternyata menyakitkan saat kau beri luka itu padaku.

Lucu sebenarnya, hanya mengagumi, melihatmu setiap pagi dan sore hari, lantas terluka sebab asonansi sebelah hati untuk kedua kali.

Perdana dan kedua ternyata tiada beda, hanya memberi luka tanpa bisa merasa bahagia.

2010, saat negaraku terluka akibat gagal juara, isu-isu mafia, atas kekalahan dari Malaysia. Aku sama terlukanya dengan Indonesia, gagal mengharumkan namanya dan aku gagal menggapai cinta.

Engkau yang mengenalku sekedar dari tumpukan berkas kepramukaan, tetapi aku mengenalmu lebih baik dari yang kau bayangkan. Atau kau sejatinya tak pernah memikirkan.

Gadis kerdil di antara kepempimpinanmu, terluka tetapi masih tetap mengagumimu.

Diam, diam mencari tahu, bahagia ketika engkau berpisah dengan kekasihmu. Selalu begitu, berulang dan berulang, semacam asonansi, pengulangan huruf vokal, sementara aku terus mengulang luka yang kekal.

Berganti, dari senior hingga temanku sendiri. Kau tak ubahnya ayam, berlari ke sana ke mari, coba semua yang kamu kagumi. Sementara aku di sini, menetap pada satu hati.

Hari ini aku kembali merasa bodoh, kekagumamku padamu, ialah luka terburuk dalam hidupku, suatu saat nanti.

Benar, jatuh cinta ialah lara yang tertunda. Dan benar, patah hati ialah bahagia yang tinggal menunggu waktu.

Setelah engkau mematahkan berulang kali, esok wakilmu datang menyambangi. Memberiku warna baru, tak sekedar luka yang membuatku layu setiap waktu.

Karanganyar, 2019
Rentang kisah 2010
Awal lara luar biasa
.
.
.
Artilery Chandrassa Agni

DisgrafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang