Manuver:
n (Mil).
Gerakan yang tangkas dan cepat dari pasukan (kapal dan sebagainya) dalam perang.
Detritus:
n
Sampah, termasuk bangkai, yang menyeluruh.1 November 2011, aku ingat betul lara akan seseorang yang pergi tanpa pamit selalu aku hubungkan dengan Peterpan.
Semua Tentang Kita, itu seperti lagu lara yang seringkali dinikmati banyaj orang kala berduka.
Malam itu kau datang, getarkan gawai Nokia dan ucapkan bahwa kau sayang.
Hari ini Januari 2019, telah aku tetapkan bahwa 1 November 2011 adalah hari terbodoh bagiku yang terlalu percaya manuvermu usai dicampakkan perempuan sebelum aku.
Bagaimana aku bisa terlalu percaya pada ungkapan sayang seorang Detritus?
Selama berbulan-bulan kita tidak pernah saling berhubungan, engkau, Sang Ketua yang pernah menjadi cinta kedua. Kau sempat mencampakkan dan anggapku tiada, lantas tiba-tiba kau datang katakan cinta.
Hey, gila, tapi masa itu aku suka.
Ketika aku berpindah dari wakilmu, terkadang aku sedikit memikirkanmu, tidak pernah benar-benar lupa akan dirimu. Maka ketika engkau datang, dengan mudahnya aku tulis kembali rasa yang sempat tertunda.
Sejujurnya tak ada kata putus dari sang wakil, tapi aku pun tak mau kisahku pupus dari sang ketua.
Pada akhirnya aku memang bersamamu, menentukan 1-11-11 ialah mulainya waktuku bersama, bisa disebut mendua sebab belum ada pisah sebagai kata dengan yang sebelumnya.
Indah-indah saja, dari Nokia berganti Cross berwarna, dari November berganti masa, dari sebulan berganti empat bulan.
Semua yang kita lalui ialah keindahan, yang kita jalani ialah kegembiraan.
Terkadang terlalu naif dan lucu, aku percaya akan banyak hal dari mulut Detritusmu. Manuver-manuver penuh liku, tanpa sadar nantinya akan membuatku sendu.
"Aku sayang kamu, yank. Selamat malam, good night, have a nice dream."
Kata mainstream yang selalu diucapkan sepasang kekasih pada masanya. Dan aku menyukai itu seolah tidak mengenal kadaluwarsa.
"Yank, aku pulang jam 3, kita ketemu ya."
Selalu mengiyakan bahkan meski telah berbeda tempat pendidikan. Tetapi tidak pernah ada masalah sebab tinggal berjalan 400 meter ke barat, aku telah bisa lihat wajah Jawamu.
Hanya sekedar itu, selalu berulang sampai empat bulan. Tetapi manuvermu telah berubah, sendu itu datang perlahan membuatku pasrah.
Ucapan selamat malam? Mungkin tak pernah sampai di bulan ke lima dan seterusnya. Ia terbawa angin, maka tak bisa sampai ke telinga.
Tak pernah ada kata rindu, ingin bertemu atau kata lainnya. Bahkan sesekali kau menghilang dengan alasan ponsel Nokia 1600-mu itu terlalu rapuh untuk mengirim pesan.
"Mengapa engkau berubah?"
"Tidak berubah, itu hanya perasaanmu saja."
"Iyakah?"
Kala itu kau mengangguk, aku ingat betul, di Utara sebuah waduk dekat rumahmu.
"Kau tahu, aku terlalu takut akan pengulangan tentang kehilangan."
"Aku tidak akan pergi, layaknya masa lalumu. Aku akan tetap bersamamu, aku janji itu."
Janjimu itu terkadang seperti amanat seorang pembina, yang berbicara lantas dilupa.
Bodohnya aku selalu mempercayaimu, bahkan meski aku pernah terluka karenamu.
Aku semakin bodoh ketika kau bilang mulai bosan, tetapi aku selalu ingin mempertahankan.
"Kau layaknya pria, menyukai Mitha dan Liliyana."
Masa itu aku menatapmu pilu, mengapa mengidolakan Mitha The Virgin dan Liliyana Natsir membuatku layaknya pria? Tetapi masa kini aku tertawa.
"Mereka itu seperti pria dan kau, kau juga sama!"
Aku mungkin bisa melakukan beberapa hal yang pria bisa lakukan, tetapi aku tidak pernah kehilangan kodrat sebagai perempuan.
Kau terus salahkan, salahkan dan salahkan aku sebab dengan pria tiada beda. Perlahan aku menuruti apa katamu, semata hanya tak ingin kau bosan denganku.
Sayangnya, untuk pendidikan aku bahkan tidak ingin mendengarmu. Aku ikuti wakilmu untuk tuntut ilmu. Bukan untuk mengulang perasaanku, atau mencari ia karena rindu.
Tidak, sejujurnya engkau yang buatku lupa, engkau yang buatku tak pernah anggap ia ada. Ia hanya bayang lalu yang telah hilang.
"Semakin terlihat layaknya pria sebab kau pilih SMK penuh dengan buaya."
2019 ini aku sadar, sekolahku memang penuh dengan buaya tetapi ia lebih terhormat dibandingkan engkau yang mengirim lara.
Terkadang aku mengerti luka, tetapi aku tak pernah sanggup kehilangan rasa.
Lelah, lara, duka, luka, dunia cukup temaram tetapi bodohnya aku bertahan.
1 November 2012, sudah cukup bagiku untuk memungut Detritus seperti dirimu. Manuvermu berpindah, sejak engkau berubah.
Seorang perempuan datang memakiku, jika engkau sudah tidak mau denganku seharusnya aku tidak menggenggam tanganmu.
Perempuan itu lucu, aku yang lebih dulu memilikimu tetapi harus aku yang melepasmu dan seolah akulah yang merebutmu.
Kala itu tetap aku jelaskan, bahwa aku lebih dulu dan dia datang menjadi benalu. Tetapi masa kini aku sesalkan semua baitku untuk mempertahankanmu.
Satu tahun kau denganku, 4 bulan penuh keseriusan, 8 bulan sisanya kau bersama selingkuhan.
"Jadi kau pilih dia?"
"Iya, kau bisa pergi."
Tanganku mengepal, bersiap melukai pipi yang sebelumnya tak pernah kusentuh.
"Kau kurcaci hitam!" Pekikku di malam hari, menampar pipi tanpa pernah takut engkau mati.
Lara terbesarku ialah jatuh cinta padamu, kebodohan terparahku ialah mempercayaimu, dan masa lalu terburukku ialah berusaha mempertahankanmu.
Sekarang engkau benar-benar kusebut dengan Detritus. Kau sampah, kau bangkai, kau luruh tak boleh lagi kusentuh.
Gerak lihaimu bak pasukan persenjataan melakukan manuver terbaiknya, bau ungkapanmu bak Detritus busuk tersebar hingga ujung dunia.
Aku benci ingat masa itu, aku benci, dan aku terlalu bodoh.
Selama 3 hari tak mau makan, sakit berkepanjangan, lagi-lagi itu kebodohan.
Kini aku merasa cukup, cukup sudah terlalu bodoh mempercayai manuver-manuver detritus sejenis.
Sejujurnya aku masih ingat, bagaimana caramu mencariku di tahun 2013, ketika kau katakan.
"Maaf, sekarang aku terima lara yang sama."
Perdana mendengarnya, mohon maaf, aku tertawa karena engkau akhirnya tahu betapa sakitnya terima lara.
Kau mungkin kesalahan terburukku, patah hati terdalamku, tapi setidaknya kau yang pernah menjadi alasan tawaku.
Aku belajar bahwa mempercayai terlalu dalam adalah kesalahan, dan bahwa mencintai terlalu naif adalah awal dari kepedihan.
Terima kasih untuk luka pedih, terima kasih telah datang, terima kasih telah beriku kesempatan 4 bulan.
Aku mungkin sesalkan kebodohanku, sesalkan pernah jatuh cinta padamu. Namun untuk semua pengalaman sakit hati yang kau beri, aku belajar untuk lebih baik dalam mengilhami patah hati.
Untuk kata maafmu, aku akan maafkan usai prosa laraku kau dengar.
Karanganyar, Januari 2019
Dariku untuk patah hati terbodohku
.
.
.
Artilery Chandrassa Agni
KAMU SEDANG MEMBACA
Disgrafia
Non-FictionSebab lara yang kau beri tak mudah pergi, maka meski sulit izinkan aku untuk berbagi, berharap kering luka hati. Sebab lara yang kau beri begitu pekat, maka izinkan aku bercerita laksana babad luka yang melekat. Sebab lara yang kau beri begitu dal...