2

8.5K 276 5
                                    

Jungkook mendengus kasar. Ingat kejadian saat Namjoon menawarinya untuk bermain dengan pria lain rasanya membuatnya hampir gila. Ia jelas menolak. Ia normal. Tapi tagihan rumah sakit dimana hyungnya sedang terbaring benar-benar butuh untuk ia lunasi. Honornya selama ini ia habiskan untuk membayar tagihan lama saat ia belum bekerja di industri perfilman dewasa seperti sekarang. Sementara tagihan yang berjalan terus bertambah angkanya. Pihak rumah sakit sebenarnya sudah angkat tangan. Ini sudah tahun kelima hyungnya berbaring saja tanpa membuka mata. Tapi Jungkook yakin akan keajaiban. Sama seperti dia yang bangun setelah satu tahun koma di tempat yang sama dengan sang hyung. Jungkook meyakini bahwa hyungnya, Seokjin, hanya butuh waktu yang lebih lama. Ia yakin hyungnya akan sadar.

"Kami mohon maaf. Kalau anda tidak membayar minimal separuh dari jumlah tagihan tersisa, terpaksa kami meminta anda memindahkan hyung anda ke rumah sakit lain."

Kata-kata itu terngiang terus menerus setelah ia berhadapan dengan pihak administrasi pagi tadi.

"Hyung, ayo bangun." Jungkook menggenggam erat tangan Seokjin. "Hyung tidak ingat janji ke Eomma? Hyung harus jaga Kookie. Kenapa Kookie yang jadi jaga hyung begini sih? Ayo bangun!"

Jungkook meletakkan kepalanya di pinggir ranjang. Tangannya masih menggenggam erat tangan Seokjin.

"Hyung, aku lelah ... Tapi aku tidak mau melepasmu. Kau satu-satunya yang ku punya. Satu-satunya keluargaku. Haruskah aku melakukan apa yang di inginkan sutradara Kim?"

-----*****-----

"Jadi dia menolak?" tanya Jimin pada Namjoon yang sedang menuangkan wine ke gelasnya. Jimin melemparkan kepalanya ke bahu sofa senada dengan tangannya yang melebar sejajar dengan kepalanya, duduk dengan kakinya yang terbuka, sungguh seksi sekali.

"Hyung masih banyak aktor lain yang tidak kalah tampan dari Jungkook. Mereka gay. Kau bisa pilih. Hyung akan kirim fotonya."

Jimin menggeleng. "Tidak bisa. Aku cuma mau Jungkook."

"Kenapa kau terobsesi sekali dengannya?"

"Hyung, kau paling tahu aku. Aku suka tantangan. Dan ya... Aku suka dia. Semakin dia menolak, semakin aku semangat menikmati tubuhnya nanti."

"Dia itu normal. Dan keras kepala juga. Susah."

"Kau harus bisa hyung. Ini bisnis. Kau pebisnis. Coba bayangkan keuntungan yang kau raup dari penjualan film dan majalahnya jika aku bermain dengan Jungkook. Bukan hanya gay yang menikmati. Percayalah wanita sekalipun akan membasahi celana dalam dan buku kita."

"Aku akan cari jalan."

"Ya, kau harus. Ingat hyung. Ini bisnis."

Namjoon mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku paham."

"Ya, kau paling paham hyung. Kalau tidak mana mungkin kau jadi pebisnis sekaligus sutradara sehebat sekarang. Kau yang terbaik. Kau nomor satu!"

"Oh. Sebentar. Jungkook menelepon." Namjoon menekan tombol menerima panggilan di ponselnya. Satu ulasan senyum kembang di bibirnya.

Jimin menyeringai. Memprediksi bahwa hal yang Namjoon dengar sudah pasti tentang hal yang ia mau.

"Jungkook menerimanya. Dengan syarat."

"Apa?"

"Dia ingin mengenalmu sebelum syuting."

"Menakjubkan."

-----*****-----

Jungkook duduk tak santai di sebuah sofa apartemen asing. Milik lawan mainnya, kata Namjoon. Ia menghentak-hentakkan kakinya gugup. Bingung harus bersikap bagaimana menghadapi sang lawan main yang akan berkenalan dengannya sebentar lagi. Jungkook bukan berdebar lantaran suka keadaan ini. Malah ia benci. Ia benci bahwa pada kenyataannya, ia akan menerima tawaran gila ini. Hoseok juga saat dikabari begitu terkejut. Tidak menyangka tentang keputusan nekat Jungkook.

"Sudah menunggu lama, baby?" tanya Jimin yang sudah ada di belakangnya. Jungkook bahkan tak sadar karena sibuk dengan pikirannya.

"Lumayan."

Jimin melangkah, duduk di sofa seberang Jungkook. Menatap penuh kemenangan karena Jungkook layaknya jalang yang datang padanya.

"Jadi, kenapa kau ingin bertemu denganku? Membangun chemistry?"

Jungkook menghela napasnya. "Aku cuma memastikan kau bukan pria menyeramkan."

"Heol. Namjoon tak mengirimkan fotoku?"

"Jadi, sudah berapa lama kau jadi aktor begini?" tanya Jungkook mengalihkan pembicaraan.

"Aku sudah lama berhenti dan memilih jado produser sebenarnya. Tapi melihatmu, hasratku jadi kembali."

"Kenapa?"

"Kenapa ya?" Jimin bertanya pada dirinya sendiri. Jungkook menatapnya muak. "Aku suka saat kau menghancurkan jalang-jalang itu di ranjang. Aku jadi tertantang, menghancurkanmu di ranjang sama seperti yang kau lakukan. Ku pastikan kau akan menyukainya. Sama seperti jalang yang kau hancurkan itu."

Jungkook tertawa mencemooh, "Gila."

"Iya. Aku tergila-gila padamu."

"Dengar. Aku tidak yakin sebenarnya dengan project ini. Kau tahu sendiri, aku straight. Aku biasa menggagahi wanita. Jadi kalau aku yang digagahi, mungkin hanya terlihat kepalsuan saja di kamera."

"Kau berpikir begitu?"

"Ya. Tentu."

"Kau mau kemari atau aku yang kesitu?" tanya Jimin sambil menepuk pahanya.

"Mau apa?"

"Hanya membuat chemistry."

Jungkook bangkit dari tempat duduknya, menatap tajam pada Jimin. "Aku bukan boca, bodoh. Sampai jumpa di lokasi syuting."

Jungkook mengambil langkah seribu untuk pergi dari apartemen pria mesum itu. Jungkook menyebutnya pria mesum karena memang baginya begitu. Jimin gila, mesum, ia benci.

Sementara Jimin terkekeh gemas. "I can't wait."

[]

My Love From The Porn Star || ON GOING!  [VMinKook Rate-M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang