"Kullu Nafsin Zaikotul Maut."
Kalimat itu masih terbayang di kepalaku. Kematian Marwah begitu mendadak dan membuatku merasa tidak terima dengan kenyataan bahwa Marwah, adik kembarku telah bunuh diri.
Kepulan asap di cangkir kopiku sudah berlalu sejak tadi, namun tanganku masih enggan untuk mengangkat cangkir itu dan meminumnya. Aku hanya memutar-mutar sendok dan terus mengaduk kopi itu dengan pikiran yang bergelayut.
Marwah tidak mungkin bunuh diri!
Marwah tidak mungkin menjatuhkan diri ke neraka!Masih tergambar jelas ingatanku tentang Marwah beberapa tahun silam. Ketika itu aku sangat terpuruk karena perceraian kedua orangtuaku. Setiap malam aku pasti menangis dan merasa tak sanggup lagi untuk hidup dengan status anak broken home. Banyak cacian yang kuterima karena kejadian itu, para tetangga seakan membenci keluargaku, terlebih lagi karena sebab perceraian bapak dan ibu.
Keegoisan bapak dan ibu membuatku sangat membenci keadaan itu. Di tambah lagi, kegagalanku masuk sekolah yang sama dengan Marwah membuatku jauh lebih terpuruk lagi. Aku juga punya tragedy mengerikan di masa itu yang membuatku berpikir untuk mengakhiri hidup. Namun, Marwah datang melapangkan tangan dan memelukku, kemudian membisikkan kalimat yang membuatku berubah pikiran.
"Kematian kita sudah terencana di Lauhul Mahfudz, kita tidak boleh mendahului takdir yang telah digariskan oleh Allah. Allah sudah menyiapkan waktu, tempat dan sebab kematian kita. Bunuh diri itu termasuk dosa yang tak dapat diampuni, Allah pasti murka karena kita tidak bisa mensyukuri hidup yang Allah beri. Tempatnya kita saat Allah murka, tak lain dan pastinya yaitu neraka jahanam."
Bisikkan itu seolah menolak kenyataan bahwa Marwah telah mengakhiri hidupnya, bagaimana mungkin seseorang yang taat beribadah, selalu mengamalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan ilmu agamanya kuat seperti Marwah mau menyeret dirinya untuk menjadi bahan bakar api neraka?
Tidak masuk akal, kan?
Aku terus menolak kenyataan itu. Aku benar-benar tidak terima dengan kematian Marwah yang tak wajar, menurutku.
"Boleh saya duduk di sini?" Suara berat seorang laki-laki terdengar dari samping kanan. Pikiranku langsung buyar saat mendapati laki-laki jangkung dengan kaos polos putih berdiri di sampingku.
Laki-laki itu langsung mendaratkan tubuhnya di bangku seberang, padahal aku belum mengatakan apapun. Aku berusaha untuk tidak peduli siapa yang sedang duduk dihadapanku saat ini.
"Kopinya udah dingin, mau aku pesankan lagi?"tawar laki-laki itu.
Aku tidak menjawabnya, lagian aku juga tidak kenal.
Beberapa detik kami berkutat dengan keheningan. Suasana kafe yang sepi menambah suasana menjadi semakin kurang nyaman bagiku. Aku ingin segera pulang ke kost, merebahkan tubuhku sebentar setelah seharian penuh hanya duduk dan berjalan tanpa tujuan. Aku menyesap kopiku yang dingin itu sedikit, kemudian mengangkat tubuh untuk beranjak.
"Ternyata benar kata mereka." ujar laki-laki itu menghentikan gerakanku untuk beranjak dari kursi.
Aku melihat wajah tegas dengan kantung mata menghitam laki-laki itu dengan perasaan heran. "Maksudnya?" Aku tidak jadi beranjak, tubuhku kini jatuh lagi di atas kursi.
"Mereka bilang ada seorang gadis yang mirip dengan Marwah, duduk di Kafe ini sejak jam empat sore sampai jam tujuh malam, dia hanya mengaduk kopinya dan meminumnya ketika sudah dingin, " kata laki-laki itu, "Ternyata itu benar." imbuhnya.
Mataku langsung memincing ke arahnya, "Lo kenal Marwah?"
Laki-laki itu menegakkan tubuhnya yang semula hanya bersandar di sanggahan kursi. "Kenal...," Dia menjeda kalimatnya, "Banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DMS 1] Maryam [SUDAH TERBIT]
SpiritualMarwah, adik kembar Maryam ditemukan tewas di kamar kostnya. Ada secarik kertas bertuliskan kalimat permintaan maaf tergeletak di samping tubuh kakunya. Maryam tidak terima dengan kepergiaan Marwah. Semasa hidupnya, Marwah adalah adik yang baik, se...