"Maryam, kamu jahat ya!" remaja bertubuh dempal itu terlihat kesal kepadaku. Aku tidak menggubrisnya, aku memilih melahap roti isiku.
Aku menelan rotiku terlebih dulu, kemudian menjaawab dengan santai, "Jahat apaan?"
"Kemarin kan, aku nitip surat sama kamu. Kok nggak dikasih ke Marwah?"
Mendengar itu aku berhenti mengunyah, tidak selera untuk makan lagi. Aku membuang sisa rotiku ke tong sampah yang ada di depanku. "Gue nggak ada waktu ketemu sama Marwah. Lo tau sendiri nyokap sama bokap gue udah pisah, Marwah pindah sekolah ke kota."
"Tapi, kan , kemarin kamu bilangnya mau nganterin. Padahal aku udah kasih kamu uang ongkos."kata laki-laki itu.
Aku mengambil kemasan air putih dari tangan laki-laki itu tanpa izin, aku membuka tutupnya dan meminum habis isinya. Setelah habis, aku mengembalikan lagi botol yang kosong itu ke tangan laki-laki yang tengah merasa kecewa padaku itu.
"Ya udah tunggu aja, mungkin seminggu lagi gue ke kota." jawabku enteng tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Seminggu lagi? Kelamaan, Maryam. Aku udah kasih uang ongkosku minggu lalu, masa ngirimnya baru minggu depan? Yang bener dong!" Dia meninggikan nada bicaranya.
Merasa terganggu, aku langsung memasang muka badmood, "Eh, Martin. Harusnya kalo lo mau kirim surat cinta ke Marwah itu ngaca dulu! Marwah mana mungkin mau baca surat lo! Cowok badak, nggak punya leher, kulit item kayak pantat panci!" makiku tanpa perasaan, "Lo tau Fatir, kan? Dia yang ganteng, putih, tajir melintir bahkan cowok terpopuler pun ditolak sama Marwah, lah apa jadinya elo? Heloow..."
"Kamu kok ngomongku gitu sih, Mar?"
"Lah, kan itu emang faktanya. Gue ngomong apa adanya, Tin, nggak munafik. Kalo lo mau jadi pacar Marwah, harusnya lo kurusin dulu tuh badan badak lo, putihin tuh kulit badak lo. Anak panci mimpi banget mau jadi pacar sendok berlian." pungkasku dengan nada mengejek. Aku berlalu meninggalkan Martin yang mungkin sakit hati banget, tapi aku tidak peduli.
***
Jika boleh memutar waktu, aku ingin sekali memperbaiki waktu itu. Waktu di mana mulutku tanpa perasaan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Apa yang kukatakan waktu itu benar-benar mengubah pikiran Martin tentang penampilannya.
Laki-laki yang kuhina seperti badak, seperti anak panci itu sekarang menjelma menjadi pemuda tampan dengan tubuh proposional, berkulit putih dan berprofesi sebagai anggota badan intelejen kepolisian. Terkadang perkataan jelek seseorang membuat kita paham arti perubahan, sehingga kita termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi. Martin benar-benar membuktikan itu.
Aku benar-benar menyesal. Jika saja dulu aku baik ke Martin, mungkin saat ini laki-laki itu tidak akan menuduhku sebagai pembunuh, atau mungkin saja laki-laki itu bersedia mengungkap kasus kematian Marwah, gadis yang dulu menjadi idolanya semasa sekolah.
Namun, semua sudah terlanjur. Ibarat kaca yang terlanjur di pecahkan, meskipun sudah disatukan lagi, kaca tersebut tidak akan kembali seperti semula. Istilah karma memang tidak ada, namun timbal balik kehidupan itu nyata, apa yang kamu beri suatu saat nanti menjadi apa yang kamu terima.
Aku benar-benar menyesal.
Aku menatap diri di cermin, ingin sekali mencakar-cakar diri sendiri. Betapa jahatnya aku dulu di masa lalu. Betapa banyaknya orang yang tersakiti oleh perkataanku. Jika terus dipikir, seberapa banyaknya dosa yang menggerogoti hatiku, hingga aku tak sadar atas kelakuanku selama ini. Hatiku mati, cahayaku padam, menyisakan sisi gelap yang suram dalam kehidupanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DMS 1] Maryam [SUDAH TERBIT]
SpiritualeMarwah, adik kembar Maryam ditemukan tewas di kamar kostnya. Ada secarik kertas bertuliskan kalimat permintaan maaf tergeletak di samping tubuh kakunya. Maryam tidak terima dengan kepergiaan Marwah. Semasa hidupnya, Marwah adalah adik yang baik, se...