Waktu yang ditunggu-tunggu Saelen akhirnya tiba. Hari pertama MOS berakhir tepat setelah mereka shalat ashar bersama. Yang ada di pikiran Saelen selama berjam-jam hanyalah pulang, pulang, dan pulang, dengan begitu dia bisa mengambil ponselnya sesegera mungkin.
"Sa, kemana kita harus temuin Kak Darren?" tanya Rawnie setelah barisan mereka bubar. Rawnie akan menemani Saelen menemui Darren atas keinginannya sendiri. Awalnya Saelen menolak, namun Rawnie merasa tidak keberatan.
"Gue juga nggak tau, tadi Kak Darren nggak ngasih tau harus nemuin di mana," balas Saelen dengan perasaan sedikit kesal karena waktu yang seharusnya ia gunakan untuk pulang ke rumah, tersita hanya karena sebuah ponsel. "Apa ada di ruang OSIS ya?"
Rawnie melirik ke arah ruang OSIS dimana para anggota OSIS sedang beristirahat sambil melemparkan canda tawa, tidak sebengis saat memarahi juniornya tadi. "Tapi lo yakin Sa? Di dalem banyak anak OSIS, gue nggak enak aja nyamperinnya."
Saelen mengangguk setuju. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya cara agar ponsel Saelen kembali. "Yaudah Raw, lo tunggu sini aja, biar gue yang ke sana."
"Eh lo serius Sa?" Saelen tidak menjawab pertanyaan Rawnie. Dengan langkah sedikit ragu ia pun menghampiri ruang OSIS yang pintunya tampak terbuka lebar.
Ia meneguk ludahnya susah payah begitu langkahnya sampai di depan pintu. Tampaknya mereka tidak menyadari eksistensi Saelen sehingga ia harus menginterupsi dengan mengetuk pintunya pelan. "Permisi..." ucap Saelen sopan membuat beberapa orang di dalam langsung melayangkan tatapan intimidasi.
Saelen tersenyum kikuk, hawa dingin mencekam tubuhnya mendapat tatapan tidak mengenakan seperti itu. Seolah dia adalah mangsa yang dikerubungi puluhan macan.
"Iya, ada apa ya?" sahut perempuan berkerudung dari dalam sana yang Saelen ketahui bernama Rima.
"Maaf Kak, ada Kak Darren?" tanya Saelen canggung berharap Rima menjawab iya dengan lantang.
"Oh, lo yang tadi hapenya disita ya? Darren nggak ada di sini." Jawaban Rima berbanding terbalik dengan harapan Saelen. Kalau dia tidak ada di sini, lalu kemana Saelen harus mencarinya? Masa iya Darren sudah pulang sementara dia yang memberi janji.
"Biasanya sih dia lagi ada di rooftop, coba cari aja ke sana. Lo lurus aja ke gedung kelas dua belas, terus naik tangga sampai lantai tiga. Di pintu pojok warna ijo itu rooftop," celetuk seorang laki-laki berambut ikal yang menjadi partner tatibnya Darren.
Saelen mengangguk sopan sebelum pamit dari hadapan mereka. "Oh, oke deh kalau gitu. Makasih Kak."
Dengan lesu ia berbalik menjauhi ruang OSIS. Rawnie yang sedari tadi menunggunya di tepi lapangan langsung menghampiri Saelen dengan pandangan bertanya. Sepertinya tanpa Saelen beritahu, Rawnie sudah dapat membaca raut wajah Saelen yang menggambarkan kekecewaan sekaligus kekesalan, yang berarti dia tidak menemukan Darren.
"Nggak ada, Sa?"
Saelen menggeleng. "Katanya sih ada di rooftop. Aduh males banget nggak sih? Ini tatib nyebelin niat ngerjain gue apa ya?!"
"Ya udah kita coba cari ke sana aja?"
"Ya udah yok!" Baru saja dua langkah mereka berjalan, tiba-tiba ponsel Rawnie bergetar pertanda ada telefon masuk. Rawnie langsung menghentikan langkahnya untuk mengangkat telefon sejenak. Sementara Saelen berdiri tak jauh dari Rawnie menunggunya menerima telefon.
Tak berselang lama sambungan telefon pun terputus. Rawnie memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam sambil berjalan menghampiri Saelen.
"Sa, maaf banget, gue nggak bisa nemenin lo. Gue udah dijemput nih sama Papah. Gimana dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SADAR
Teen FictionGalak, angkuh, licik, egois, menyebalkan, tukang mengancam. Itulah enam kata yang terbit di benak Saelen begitu mendengar nama Darren. Bagi Saelen, Darren bukan sekedar kakak kelasnya, melainkan benalu pertama yang mengacaukan hari-hari Saelen di se...