Sebuah tas hitam tersampir di bahu kanan Darren, sementara sang empunya berjalan di sampingnya mengikuti langkah kaki Darren menuju tempat parkir.
Walau tubuhnya sedang tidak sehat, namun Saelen senang karena berkatnya ia bisa pulang lebih cepat. Tidak perlu ikut andil panas-panasan di bawah sengatan matahari bersama peserta MOS lain.
Tak berselang lama mereka pun sampai pada tempat dimana banyak mobil berjajar rapi. Berkah di balik kata terlambat, selain Saelen bisa pulang lebih dulu, ia pun bisa menghemat uang saku karena Darren akan mengantarnya pulang.
Awalnya Saelen menolak, tidak terbayang bagaimana hanya ada mereka berdua dalam satu mobil, namun Darren tidak mau bertanggung jawab kalau-kalau Saelen pingsan di tengah jalan. Meskipun Saelen tahu alasan Darren ingin mengantarnya hanya alibi agar dia bisa keluar dari sekolah, merehatkan sejenak tubuh serta otaknya dari masa orientasi. Terlebih lagi dia harus menguras banyak emosi ketika memarahi para junior, termasuk Saelen.
Langkah mereka terhenti di samping sebuah mobil merah yang mana kaca belakang mobilnya sedikit retak, akibat tangan Saelen, dan Saelen tidak yakin kerusakan hanya seujung jari itu senilai seratus juta.
"Kenapa?" tanya Darren melihat Saelen malah melongo mengamati bagian kaca belakang mobilnya.
"Gue kok nggak yakin kerusakan cuma secuil gini seratus juta?"
Bola mata Darren terputar mendengar pertanyaan Saelen. "Ini bukan angkot," jawabnya lantas mengayunkan tas milik Saelen yang secara spontan langsung Saelen tangkap.
"Sembarangan lempar-lempar tas orang!"
"Nggak ada guci kristal ini kan?" tanya Darren yang dibalas Saelen dengan desisan. Memang iya tidak ada barang penting di dalamnya, namun tetap saja, ini tas satu-satunya Saelen. Kalau sampai kotor, ia tidak ada gantinya untuk dipakai besok.
Setelah kunci mobil terbuka, Darren pun masuk ke dalamnya tanpa mengacuhkan Saelen yang masih berdiri di luar. Saelen bukan anak kecil lagi yang segala sesuatunya harus dilayani, dia punya cukup tenaga untuk membuka pintu mobil sendiri, begitu pikir Darren.
Namun Darren rasa sia-sia, melihat Saelen masih berusaha menarik pintu mobilnya dari luar. Dalam hati Saelen mengumpat, apa senior ini sengaja menguncinya dari dalam? Kenapa rasanya susah sekali membuka pintu mobil yang seolah menolak untuk ditumpangi Saelen. Jangan-jangan mobilnya ikut marah karena sudah dibuat lecet.
Tidak menyerah, dengan mengumpulkan sekuat tenaga, Saelen kembali menarik gagang pintu mobil tersebut dan tersentak kala pintu mobil terangkat ke atas seperti sayap kupu-kupu yang hendak mengepak.
Saelen melongo antara kaget dan takjub. Kaget karena ia kira pintu mobilnya patah hingga terangkat ke atas, namun terganti dengan rasa takjub ketika sadar ini bagian dari kecanggihan mobil sport yang Darren miliki.
"Cepetan, nggak usah norak," celetuk Darren dari dalam mobil.
Menghembuskan napas kesal, Saelen pun mendaratkan pantatnya di atas kursi samping kemudi. Percayalah, ini kali pertamanya Saelen menaiki mobil sport yang ditaksir bisa mencapai milyaran rupiah. Kendaraan Saelen sehari-hari hanya bus itu pun ia harus berdesakan dengan penumpang lain.
"Gue nggak bisa tutupnya," jujur Saelen, dia takut merusak mobil Darren lagi hanya karena salah menutup pintu.
Memutar bola mata, Darren pun menekan sebuah tombol yang membuat pintu mobilnya tertutup secara otomatis. Kalau tahu begitu, kenapa dia tidak membukakan pintu mobil untuk Saelen dengan tombol itu? Dia sedang mengerjai atau apa?
"Kenapa nggak dari tadi aja sih pake tombol itu? Kan jadinya nggak nyusahin gue."
"Terserah gue lah," balas Darren sambil memundurkan mobilnya, berusaha keluar dari jajaran mobil yang lain. Lantas berbelok menuju gerbang keluar SMA Atlantas yang tampak terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADAR
Teen FictionGalak, angkuh, licik, egois, menyebalkan, tukang mengancam. Itulah enam kata yang terbit di benak Saelen begitu mendengar nama Darren. Bagi Saelen, Darren bukan sekedar kakak kelasnya, melainkan benalu pertama yang mengacaukan hari-hari Saelen di se...