Saelen merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Menghembuskan napas panjang setelah seharian menghabiskan waktunya di sekolah. Ia melenguh merasakan pegal pada kakinya akibat berdiri terlalu lama saat upacara, naik turun tangga tiga lantai, dan tidak kebagian tempat duduk di bus selama perjalanan pulang. Kata lelah tidak cukup mendeskripsikan keadaan Saelen sekarang.
Namun ada yang lebih membuat Saelen kesal daripada itu semua, apa lagi kalau bukan kakak tata tertib menyebalkan yang telah menjadikannya pacar pura-pura.
Jujur saja, selama lima belas tahun Saelen hidup dia sama sekali belum pernah berpacaran. Kalau ditanya kenapa dia setia pada status jomblonya? Saelen akan jawab tiga point. Pertama, orang tuanya melarang dia berpacaran. Kedua, dia belum menemukan apa itu tujuan dari pacaran. Ketiga, dia belum siap disakiti.
Dan sekarang, sekalinya dia berpacaran malah pura-pura. Saelen tidak mengerti apa yang harus ia lakukan untuk mendalami perannya, terlalu menggelikan untuk membayangkan itu semua. Apalagi pasangannya Darren, laki-laki yang telah menjerat Saelen ke dalam banyak kesialan hari ini.
Tiba-tiba saja pintu kamar Saelen terbuka, menampilkan sosok laki-laki bertelanjang dada yang hanya memakai dalaman boxer.
Saelen menoleh dan mendesis melihat kakaknya nyelonong masuk.
"Lain kali ketuk pintu dulu kali, Bang! Kalo gue tadi lagi ganti baju gimana coba?"
"Idih orang dari tadi gue ketok-ketok pintu gak ada yang nyaut, gua kira lu mati."
Saelen tidak memperdulikan Barack, ia lebih memilih memainkan ponsel yang baterainya masih penuh akibat seharian menganggur.
"Lo abis dari mana aja sih lagian, kok baru pulang jam segini?" tanya Barack sambil melirik jam dinding yang menunjuk pukul setengah enam sore.
"Ya dari sekolah atuh Bang, masa dari Arab," jawab Saelen masih dengan mata tertuju pada layar ponsel.
"Masa iya lo MOS sampai sore banget gini? Gue aja dulu paling telat jam empat sore."
Sebenarnya Saelen juga pulang jam empat sore, hanya saja kejadian tadi di mana Saelen menemui Darren membuatnya pulang terlambat.
"Masih mending Bang bukan tengah malem."
"Ya tetep aja kasian dong sama yang rumahnya jauh. Ntar gua tanya dah sama temen gua, dia anak OSIS juga di sekolah lu."
Saelen yang semula sibuk bermain hago berhenti, mengalihkan pandangannya pada Barack dengan satu alis terangkat.
"Lah? Lu ada temen di SMA Atlantas, Bang?"
"Iya ada temen SMP gua. Dulu kita punya cita-cita masuk SMA Atlantas bareng, eh taunya cuma dia doang yang keterima," jelas Barack diakhiri dengan curhatan singkat.
"Bersyukur aja lah, Bang, kalau lu keterima di SMA Atlantas mungkin nggak akan ketemu Kak Lisa."
"Iya juga, sih. Terus lo sendiri, di SMA Atlantas ketemu siapa noh?"
Saelen berdehem singkat sebelum menjawab. "Ketemu temen baru, kakak OSIS, pak satpam, gur-"
"Ya elah bukan itu, maksud gue gebetan lo," potong Barack, matanya mendelik malas.
"Dih, nggak ada lah! Baru juga masuk."
"Masa iya? Bukannya cowok di sana ganteng-ganteng ya kayak gua?"
Ganteng-ganteng? Saelen tidak terlalu memperhatikan tingkat ketampanan para siswa SMA Atlantas, jadi dia tidak bisa menilai seberapa ganteng anak cowok di sana.
Satu-satunya wajah yang pernah Saelen lihat dari jarak dekat dalam kurun waktu lama hanyalah Darren. Dia memiliki sepasang mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, serta garis rahang yang tegas. Sebenarnya Saelen tidak terlalu jeli memperhatikan setiap inci wajah kakak tata tertib galak itu, namun itulah hal yang pertama kali muncul dalam bayangan Saelen begitu mengingat Darren.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADAR
Novela JuvenilGalak, angkuh, licik, egois, menyebalkan, tukang mengancam. Itulah enam kata yang terbit di benak Saelen begitu mendengar nama Darren. Bagi Saelen, Darren bukan sekedar kakak kelasnya, melainkan benalu pertama yang mengacaukan hari-hari Saelen di se...