03. Ponsel Saelen

468 178 207
                                    

Berbagai sorot mata iba menghujani Saelen yang sedang menjalani hukumannya di depan kelas. Dua seri push up berlalu, Saelen harus menyelesaikan tiga seri lagi. Walaupun melelahkan, tapi Saelen cukup bersahabat dengan yang namanya push up karena olahraga adalah salah satu hobinya. Ditambah lagi saat masih SMP, setiap minggunya ia latihan taekwondo.

Sebenarnya para anggota tatib sudah keluar kelas dari lima menit yang lalu karena harus mengevaluasi ke ruang gugus lainnya. Hanya saja tadi Darren menitipkan pesan pada Arkan dan Mahesa untuk mengawasi Saelen hingga masa hukumannya berakhir.

"Cukup Dek, lo bisa balik ke kursi," ucap Arkan tepat pada hitungan push up yang ke-25. Dia tidak tega melihat wajah lelah Saelen yang bercucuran keringat. Apalagi acara MOS masih berlanjut hingga sore, Saelen harus menabung tenaganya agar tidak pingsan di pertengahan acara.

"Tapi Kak, belom lima seri?" tanya Saelen disela-sela push up-nya.

"Nggak apa-apa, lagian tatib udah nggak ada ini. Ntar kalo ditanya, bilang aja udah lima seri."

Setelah Arkan berkata, Saelen pun menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai sambil menghembuskan napas kasar. Sial sekali Darren telah menjadikannya bahan tontonan anak-anak kelompok empat! Dia pun segera bangkit dari atas lantai menuju bangkunya tanpa menghiraukan pandangan iba sekitarnya.

"Lain kali yang sopan sama tatib ya, Dek," celetuk Mahesa begitu Saelen mendaratkan pantatnya ke atas kursi.

Saelen tidak merespon apapun. Memang laki-laki itu pantas untuk dikasari, kalau disopanin yang ada makin besar kepala dan semena-mena. Napasnya berderu tak beraturan memompa jantungnya untuk berdetak lebih cepat lagi.

"Sekarang kalian keluarkan air mineral dan roti yang sudah diperintahkan kakak OSIS untuk dibawa, saya kasih waktu sepuluh menit pada kalian untuk menghabiskan roti itu."

Seisi kelas pun mematuhi perintah Arkan dengan memakan roti yang mereka bawa. Anggap saja ini sarapan, kebetulan ada jam menempel di dinding ruang gugus sehingga Saelen dapat mengetahui sekarang pukul sembilan.

Dengan penuh dahaga Saelen meneguk sebotol air mineral untuk mengusir kering kerontang di tenggorokannya. Selanjutnya ia memakan roti rasa coklat dengan rakus. Membayangkan bahwa yang sedang dikoyaknya adalah Darren.

"Lo berani banget sih tadi," ucap Rawnie yang berbeda dari Saelen, dia mengunyah roti dengan pelan tanpa menghilangkan image perempuannya.

"Gue nggak akan gitu kalau dianya nggak kurang ajar!" sergah Saelen masih dikuasai hawa panas bercampur kesal.

"Emangnya yang tadi lo omongin itu maksudnya apa? Seragam lo kotor gara-gara dia?"

Saelen mengangguk mengiyakan. Dia pun menceritakan secara singkat kejadian pagi tadi bagaimana Darren mencipratkan genangan air kotor kepadanya. Walau tidak disengaja, tapi minta maaf nggak ada salahnya kan. Dan yang fatal, dia malah memberi Saelen hukuman atas ulahnya sendiri!

"Tapi kalau gue jadi elo, lebih baik diem daripada dihukum kayak tadi. Dengan jabatan dia sebagai tatib dia bisa seenaknya, makanya mending cari aman."

Saelen terdiam, tidak menanggapi komentar Rawnie. Apa yang Rawnie katakan benar, tapi tidak semudah itu menahan emosi ketika melihat wajah menyebalkan Darren. Justru dia akan semakin ditindas jika tidak melawan, walau semuanya akan sia-sia.

Seketika bayang-bayang uang seratus juta menghantui pikiran Saelen membuat bulu kuduknya merinding. Tidak apa-apa dia dihukum push up, daripada mengganti rugi biaya kerusakan mobil laki-laki itu. Sekarang dia tidak tahu apakah harus senang atau menderita bersekolah di SMA Atlantas, sekolah impiannya sejak dulu.

SADARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang