"SAELEN!!! BANGUN UDAH TELAT!!!"
Saelen sontak terperanjat dari tidurnya mendengar suara yang menusuk telinganya.
Hesti, ibunya Saelen, tampak berdiri di ambang pintu kamar sambil membenturkan centong besi pada pantat wajan berulang kali.
"Iya iya, Bu, ini udah bangun!" teriak Saelen sambil menutup kedua telinganya tidak membiarkan suara nyaring itu merusak indera pendengarannya.
Melihat putrinya sudah bangun, Hesti pun kembali menuju dapur untuk menyiapkan sarapan serta bekal yang akan Saelen bawa ke sekolah.
Saelen meregangkan otot-otot tubuhnya mencoba mengumpulkan nyawa yang masih tersisa di alam bawah sadar. Pergerakannya terhenti ketika matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh.
"ANJIR! HARUSNYA GUA UDAH PERGI!" seru Saelen dengan mata memelotot kaget.
Ia langsung terbirit menuju toilet yang berada persis di samping kamarnya. Menyalakan keran, membasuh mukanya lantas meraih sikat gigi untuk menghapus noda kuning serta aroma semerbak yang mengganggu indera penciuman.
Untuk mempersingkat waktu, terpaksa Saelen meliburkan aktivitas mandi. Saelen tidak merasa jijik atau risih karena hal tersebut sudah menjadi rutinitasnya dikala ia terlambat sekolah. Yang perlu Saelen lakukan untuk membodohi orang-orang hanyalah menyemprotkan parfum sebanyak mungkin ke beberapa bagian tubuh, terutama ketiak yang mudah berkeringat. Selanjutnya ia mengikat rambut hitamnya yang berantakkan tanpa disisir terlebih dulu. Bodo amat. Yang penting di hari kedua MOS ini Saelen tidak dihukum lagi.
"Bu, Saelen pergi ya! Udah telat nih!" ucap Saelen sambil memasukkan kotak makan ke dalam tasnya.
"Kamu sarapan dulu, Sa, biar nggak pingsan!" jawab Hesti yang sedang disibukkan dengan piring-piring kotor di dapur.
"Ah, nggak usah, Saelen kan bawa makan!"
"Kamu sih bangunnya susah sampai wajan ibu lecet."
Saelen tidak menggubris, ia segera menyalami tangan Hesti lantas berlari tergesa-gesa menuju halte bis yang terletak di depan gang rumahnya.
Perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu sepuluh menit sementara acara dimulai lima belas menit lagi. Kemungkinan Saelen datang tepat waktu sangat kecil, apalagi bis belum juga terlihat. Belum terbayang hukuman apa yang selanjutnya akan Saelen dapat gara-gara terlambat.
Perhatian Saelen teralihkan ketika sebuah mobil merah mengkilat tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Ia mendengus kesal. Tidak kemarin, tidak hari ini, pasti saja Saelen bertemu dengan mobil pembawa sial ini.
Kaca mobil diturunkan menampilkan sosok laki-laki berambut berantakkan duduk di kursi kemudi. Dari dalam mobil, ia menatap Saelen.
"Butuh tumpangan?"
Saelen melirik ke kanan dan kirinya memastikan apakah ada orang lain yang sedang Darren ajak bicara. Dirasa hanya ada dia seorang, ia pun menunjuk dirinya sendiri dibalas dengan anggukan kepala Darren.
"Nggak. Gue butuh bis," jawab Saelen seraya memalingkan pandangannya ke jalan raya berharap ada bis lewat.
Darren mengedikkan bahunya tidak peduli, sekilas ia melirik ke arah jarum jam yang melingkar di lengannya. "Sepuluh menit lagi lo udah harus ada di sekolah, kalau nggak lo gue hukum."
Mata Saelen membelalak mendengar penuturan Darren yang seenak jidat.
"Dih, apaan, emang lo siapa seenaknya main hukum?!"
"Gue? Bagian tata tertib," jawab Darren menyinggung Saelen bahwa terlambat merupakan salah satu contoh melanggar tata tertib. Dan setiap pelanggaran tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADAR
أدب المراهقينGalak, angkuh, licik, egois, menyebalkan, tukang mengancam. Itulah enam kata yang terbit di benak Saelen begitu mendengar nama Darren. Bagi Saelen, Darren bukan sekedar kakak kelasnya, melainkan benalu pertama yang mengacaukan hari-hari Saelen di se...