Chapter 4

13 0 0
                                    

Raibnya Mika secara tiba-tiba dari kehidupanku membuatku terguncang dan gamang. Aku ingin menelponnya, entah untuk memohon atau memaki-maki, namun harga diriku menahanku. Aku tak ingin terlihat lemah didepannya. Aku tak akan terlihat membutuhkannya. Aku bertekad untuk tidak memikirkannya lagi.

Aku bangun sesiang mungkin supaya hariku berlalu dengan lebih cepat. Sekitar jam sepuluh aku bangun, lalu sarapan. Setelah itu aku mendengarkan lagu, menonton drama korea kesukaanku, membaca novel, pokoknya apapun yang dapat membuat pikiranku teralih dari Mika. Tapi yang menyebalkan, tiba-tiba saja nama Mika muncul dimana-mana. Di novel tua yang sudah lama tidak aku baca, ternyata nama tokohnya Mika. Aku jadi malas melanjutkan, karena setiap kali melihat nama itu aku jadi berjengit sendiri. Kututup novelku dengan kesal dan memilih untuk menonton TV. Ada FTV norak yang akting pemainnya mentah banget. Tapi setidaknya FTV berdurasi dua jam, jadi lumayan untuk membunuh waktu. Ehh, Tiba-tiba keluarlah kakak si pemeran utama. Nama kakaknya Mika. Langsung kupencet tombol Switch off di remote.

Dan yang paling parah, setelah mendengarkan lagu dan membaca novel, baru empat jam terlewatkan. Hari ini masih panjang, terbentang kosong didepanku. Dan setelah hari ini masih ada esok, esok, dan esoknya lagi. Bagaimana caranya aku dapat bertahan melewati detik-detik yang terasa menyiksa ini?.

Tapi tenang! hari ini aku masih punya satu acara, Anniversary orang tuanya Dika, ingat kan? Lumayan untuk mengurangi waktuku yang sangat membosankan ini. Aku membuka lemariku lebar-lebar, berusaha menemukan baju yang akan kupakai malam ini. Buru-buru aku mandi dan mengenakan baju yang tadi telah kupilih. Dress putih tanpa lengan dengan pita besar di depannya lalu aku padukan dengan cardigan lace. Aku memang kurang pede mengenakan baju tanpa lengan jika tidak dilapisi apa pun. Satu setengah jam kemudian aku menatap bayangan ku dicermin dan berputar-putar untuk melihat dari segala sudut.

"Ih gue cakpe juga ya". Ujarku mengagumi diri sendiri. Rambutku dikeriting natural dengan hair-curler babyliss. Tak lupa aku memakai maskara dan blush on dan memulaskan eyeliner dan eye shadow. Sepatu hak tinggi membuatku terlihat lebih anggun. Dengan penuh semangat aku mengeluarkan ponselku dan memotret diriku di cermin dengan berbagai pose sampai terdengar suara Mama memanggilku.


**********

Aku menggandeng lengan Ka Rendy menaiki tangga restoran. Aku belum begitu terbiasa memakai sepatu hak tinggi. Daripada jatuh ngusruk dan bikin malu, lebih baik aku berpegang pada Ka Rendy.

"Siapa aja sih ka yang diundang?". Tanyaku.

"Paling keluarganya Dika, sama temen-temen bokap-nyokapnya kali". Jawab Ka Rendy.

"Yah", Aku kecewa, "Gak bisa cuci mata dong. Gak ada cowok cakep".

"Kecentilan banget sih lo". Kata Ka Rendy.

"Halo semuanya". Suara berat Om Danu, Papanya Dika menyambut kami semua. Bergantian aku dan keluargaku memberikan selamat kepada orang tuanya Dika.

"Ayo, Ayo duduk". Tante Monica, Mamanya Dika mempersilahkan. Aku sangat menyukai dekorasinya, kuperhatikan sekeliling restoran ini. Banyak sekali hiasan bunga yang sangat cantik dan ditambah beberapa lilin menghiasi disetiap meja, membuatnya terlihat romantis. Dan.... Ada seorang cowok bersandar pada pagar pembatas balkon sedang menelpon. Posisinya memunggungiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi postur tubuhnya dari belakang terlihat menawan. Seketika jantungku berdegup kencang, sosok cowok tersebut mengingatkanku dengan Mika. Bahkan potongan rambutnya terlihat persis dengan Mika.

"Haiiii Nat". Suara Fanny yang melengking tinggi mengagetkanku. Rupanya sudah sejak tadi Ia berada disini. Fanny yang mengetahui kondisiku saat ini sedang tidak baik langsung memelukku. Ku sambut hangat pelukan Fanny.

Sampai Kapan? [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang