Chapter 1

405 19 1
                                    

Sebuah apartmen kumuh bercat biru yang dindingnya mengelupas kini menjadi sorotan seorang gadis. Ayunan kakinya lemah menaiki satu demi satu anak tangga. Ia sesekali mengetatkan topi di kepalanya agar rambutnya tak berantakan seperti kondisinya. Kulit wajahnya buram namun masih terlihat jelas oleh cahaya rembulan luka memar di sudut bibir dan pelipisnya.

“Cuih,” ia meludah.

Keadaannya cukup memprihatinkan namun ia masih kuat berjalan. Tapi saliva-nya terasa asin ditenggorokan ketika menelan, mungkin karena air liurnya bercampur dengan darah segar.

Crek!

Tidak seperti apartmen mahal nan canggih ditengah kota Washington, pintu apartmen disini semuanya terbuat dari kayu. Sekali tendang saja akan rubuh. Wajar. Tempat ini diperuntukkan pada orang-orang yang terkucilkan dan cuma bisa makan sekali dalam sehari.

 Tempat ini diperuntukkan pada orang-orang yang terkucilkan dan cuma bisa makan sekali dalam sehari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pemandangan tak asing menyambut kedatangannya. Ada siluet wanita dan pria dewasa sedang bercumbu, saling menikmati pelepasannya pada keindahan malam ini tanpa sehelai kain. Gadis itu tak ambil pusing dan langsung mengambil sisa rokok yang terbakar dimeja.

“Dunia ini memang dipenuh jalang.”

Dua sejoli yang sedang melakukan ‘aktivitasnya’ perlahan memisahkan diri karena menyadari ada seseorang diantara mereka. Perempuan yang berada dibawah si pria buru-buru memakai pakaiannya ketakutan.

 Perempuan yang berada dibawah si pria buru-buru memakai pakaiannya ketakutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apa hobimu memang selalu menjadi pengganggu, Anna?!”

Suara bariton menegurnya. Tidak terima gadis bernama Anna mengusik dia dan kekasihnya -oh bukan, lebih tepatnya wanita bayaran-.

Anna mendengus sambil melangkah ke dapur mencari sesuatu. Dibukanya satu persatu lemari yang ada. Tanpa putus asa ia terus mencari. Tenaganya masih tercas full meski fisiknya jelas layu.

“Aku menyesal tidak membunuhnya tadi,” gumam Anna.

“Maksudmu, Gwen?”

Pertanyaan kedua untuk Anna. Ia tersenyum kecut, merasa bahwa dirinya kini sedang bermain kuis. Sepatunya menekan lantai, menginjak habis puntung rokok yang dihisapnya tadi dengan sehancur-hancurnya. Ia betul-betul geram dan sedang naik pitam mendengar nama ‘Gwen’.

LIGHTS OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang