Bip. Bip. Bip. Bip. Bip.
Ponsel ber-casing batman tidak hentinya berdering diatas nakas. Pemiliknya perlahan terusik dan merasa jengkel. Ia menutup telinganya menggunakan bantal, gelisah. Namun sepertinya dia tidak bisa mengabaikan panggilan tersebut walau bersikeras untuk tidak peduli.
Pada akhirnya benda tersebut berhenti berbunyi sebelum terjawab. Sebuah nama yang tak asing muncul dilayar handphone. Pikirannya kalam dengan ribuan pertanyaan.
From : 01 Tom
Urgent! Ke kantor sekarang brengsek!!!Satu pesan masuk. Pria itu melihat jam yang menempel didinding. Pukul tiga pagi. Ia baru saja pulang pukul satu dini hari. Bahkan sepatunya masih melekat sempurna pada kedua kakinya. Sedangkan sekarang ia harus kembali ke kantor untuk hal mendadak yang ia tidak ketahui asal usulnya.
Pasti ada kejadian penting sehingga Tom mau repot-repot membangunkannya dengan makian pula. Kejanggalan semakin membuatnya penasaran. Kota Washington belum tidur, jalanan masih ramai dengan lampu kerlap-kerlip. Meski begitu lelaki tersebut tetap melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak ingin ketinggalan berita.
Seorang pria dengan perawakan mirip dengan Barrack Obama, menyambutnya dengan wajah panik. Bola matanya menatap sinis. Lelaki itu bingung harus bersikap bagaimana pada Tom.
“Jangan berharap tidurmu akan nyenyak, Jadden. Sebab pekerjaan kita akan bertambah.”
“Ya. I’m Sorry Tom.”
Perlahan lelaki bertubuh atletis itu menutup pintu mendengar Tom menyindirnya. Dia sadar datang paling lambat. Dengan keberanian, Jadden kemudian duduk menggabungkan diri. Wanita berponi miring disebelahnya terlihat berbeda, kelopak matanya membiru. Jadden tahu itu bekas pukulan tapi ia mengurungkan niatnya untuk melontarkan pertanyaan.
Tangan Tom menekan remot, menyalakan layar pada ruangan tersebut. Terpampang sebuah kejadian pem-bom-an disalah satu kasino terbesar yang ada di Atlantic City. Bangunan megah itu hancur tanpa sisa. Puing-puing yang terekam, menghidupkan ketidak-terimaan terhadap orang yang menontonnya. Bahkan korban jiwa diperkirakan lebih dari ratusan orang.
Tuuttt.
Seisi ruangan menghela napas gusar saat berita yang dibagikan Tom berakhir. Namun tidak untuk Jadden. Dia seperti menahan gejolak emosi yang sudah naik kepermukaan. Bahkan gadis yang berada disampingnya seolah merasakan aura Jadden yang berubah memanas.
“Kapan kejadian itu?” tanya Jadden dengan nada dingin.
“Setengah jam tadi.” jawab Tom melempar map pada Jadden.
Dibukanya dengan seksama kertas-kertas tersebut. Pandangan Jadden betul-betul hanya fokus pada isi dokumen.
“Aku curiga bahwa ini adalah kejadian yang saling terkait pada pembunuhan Mr. Peter dua minggu lalu.”
Jadden menoleh kearah suara wanita disebelahnya. Kepalanya mengangguk membenarkan meski samar-samar. Tom mencoba menganalisa penuturan tersebut.
“Aku juga berpikir seperti itu, Gwen.” tutur Tom.
“Ada apa dengan muka cantikmu?” tanya Jadden akhirnya.
“Tidak perlu menanyakan hal lain, Gwen bukan istrimu kenapa kau harus tahu segalanya,hah?!”
“Ya Sudah. Kau berutang penjelasan padaku Gwen,” ucap Jadden mengalah dan kembali membaca.
Boots Jadden menghentak lantai beberapa kali. Menciptakan nada yang cukup menarik. Ditariknya lengan jaketnya untuk melihat waktu. Dia tahu bagaimana menyelesaikan semua ini.
“Jangan menghubungiku seharian. Aku akan mencari tahu semuanya.”
“Damn! Kau ingin pergi sendiri?!” Tom meninggikan suaranya. Tidak terima dengan apa yang baru saja diucapkan Jadden.
“Oh ya. For you Gwen, aku tidak suka melihatmu terluka, kau bisa memakai es batu untuk mengurangi bengkaknya,” pamit Jadden tanpa basa-basi lagi.
“Jadden! Duduk kembali ditempatmu! Jadden!”
Ini bukan kali pertama pria itu selalu meninggalkan Gwen dan Tom setiap kali mendapatkan kasus baru. Tom menganggap sikap Jadden tidak menghargai dirinya sebagai kepala tim. Selalu saja ia bertingkah sesuka hatinya tanpa menyadari bahwa ada dua manusia yang berada dalam dunianya.
“Lihatlah bajingan itu! Selalu membuat onar.”
“Tenanglah, Tom. Jadden tahu apa yang harus ia perbuat.” Gwen coba menenangkan Tom yang kini tampak geram sendiri.
“Yes. Anyway, tengil itu ada benarnya. Jangan lupa kompres lukamu dengan es batu,” Tom meninggalkan ruangan.
-o-o-o-
Disisi lain. Jadden mengendarai mobilnya dengan tergesa-gesa. Sebelum matahari terbit dia sudah harus berada pada tujuannya. Bahkan dirinya tidak memberi jalan bagi siapapun. Seluruh lampu merah dilihatnya seperti lampu hijau. Great! Dia sampai kurang dari dua jam.
Embun pagi hari menusuk kulitnya yang putih bahkan terasa hingga ke pori-pori terdalam. Tempat ini sungguh sejuk. Tapi sayang, Jadden tidak punya banyak waktu untuk menikmatinya. Sebab ada hal penting yang harus segera diselesaikan.
Jadden berdiri kaku di depan pintu yang sangat tinggi bahkan melewati ukuran badannya. Sekalipun dia tahu bahwa tempat ini tidak pernah terkunci, tetap saja terselip keraguan untuk membukanya. Didorongnya kuat-kuat pintu itu seperti membuka gerbang.
Cahaya dari langit langsung menyergap masuk. Suasana hening. Hanya ada seseorang yang berdiri menghadap patung yesus. Busananya berwarna hitam menjuntai panjang kebawah dan ia mengenakan penutup kepala berwarna putih. Jadden berlari kecil mengampiri. Satu persatu bangku kosong dilewatinya. Pria itu mematung dengan jarak yang tak jauh dari posisi wanita tadi lalu berkata.
“Sr. Teresa. Kumohon beritahu aku dimana Celine.”
-o-o-o-
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN BIAR AUTHOR SEMANGAT MENULIS UNTUK READERS:*
KAMU SEDANG MEMBACA
LIGHTS OUT
RandomTiga orang bersaudara berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan kematian Ayah dan Ibunya yang dibunuh secara diam-diam. Kira-kira bagaimana mereka akan menemukan titik terang? Jika pada akhirnya mereka harus hanyut dalam intrik politi...