Chapter 5

98 8 0
                                    

Awan yang bergelayut di Kentucky Horse Park, memekik derma manusia-manusia disana. Cuaca begitu cerah. Maklum hari sudah menjelang siang. Namun bagi Jadden, waktu semuanya sama, tidak ada yang signifikan meski terbagi. Apalagi jika sudah berkaitan dengan pekerjaannya.

Tampil beda dengan pengunjung lain. Pria itu telah menguasai seluruh daerah Kentucky Horse Park. Tidak butuh pemandu, apalagi kompas untuk menemaninya menyusuri lokasi tersebut. Sekitar 30 menit ia berdiri tanpa ekspresi. Memandang wanita yang sedang berlaga di arena pacuan kuda.

Helaian rambut halusnya tergerai bebas diterpa angin dan debu. Tak mau kalah, crop top putih yang digunakan juga menampakkan bahunya yang putih nan mulus. Sejenak adegan itu menyuntikkan imaji kotor dalam otak Jadden. Sayang, seketika redam karena penunggangnya tiba-tiba terjatuh dan berguling di tanah.

“What the fuck! Ada dua biji mata melihatku. Tapi enggan menolongku?”

Jadden mendengar itu namun ia enggan bergeming dari posisinya untuk menolong.

“Hantu memang tidak berguna,” sindir perempuan itu lagi.

“Bukannya kuda itu lari karena ditunggangi oleh hantu?” balas Jadden.

Wanita tersebut tersenyum sinis. Tangannya perlahan membuka pengait yang menempel di dagunya. Jadden menarik alisnya keatas, prihatin dengan nasib helm yang dibuang asal oleh lawan bicaranya.

“Apa yang membawamu kemari, Tuan Jadden Haquin yang terhormat?”

“Aku penasaran dengan keadaan adik iparku,” jawab Jadden spontan. Namun sialnya mendapat tertawaan.

“Sejak kapan kau mulai perhatian padaku?” tanyanya pada Jadden kemudian.

“Saat aku tahu kau dan Gwen kembali unjuk ketangkasan.”

Skak mat! Anna menatap takjub lelaki didepannya. Jadden mirip anjing pelacak, mampu menemukannya kurang dari 12 jam dan mengetahui kejadian yang menimpanya seperti sebuah CCTV berkaki dua. Instingnya kuat, sama dengan profesinya.

Dalam langkah nyaris sadar, ia merasa bukan hanya perkelahiannya dengan Gwen yang akan dibongkar Jadden tapi juga lain hal. Jika Anna tidak mampu menghipnotis dengan kata-katanya maka habislah dia.

“Katakan apa yang kau inginkan?”

Diikutinya jejak Anna dari belakang. Jadden tak menyangka nada bicara gadis cantik itu mulai hangat padanya.

“Aku ingin bertemu Celine.”

Satu nama yang selalu terbesit dalam benak Jadden. Celine. Ya, hanya Celine. Dengan stadium fly setingkat pemakai ganja, dirinya betul-betul sakaw dan membutuhkan Celine.

Anna mematung dengan keraguan. Terdapat banyak kontradiksi antara Jadden dan kakaknya. Haruskah keinginan Jadden kali ini ia penuhi? Tapi Jadden tampak tak bohong bahwa dirinya memang mencari Celine.

“Aku butuh sandera jika kau ingin bertemu dengan Celine,” ucap Anna. Jadden berpikir.

“Katakan saja.”

“Baiklah. Berikan padaku bayi-bayi yang bersembunyi di jaketmu.”

Jadden membatin. Lelucon macam apa itu. Bagaimana bisa seorang Ayah dan anak dipisahkan? Pria itu paham betul ‘bayi’ yang dimaksud Anna adalah senjata api dan ponselnya. Dia ingin merebut hak asuh buah hatinya dengan paksaan? Jadden jelas tak bodoh untuk pasrah begitu saja.

Anna menunggu respon Jadden. Namun tak jua memberi kode apapun. Padahal dia bukan seorang ratu jahannam yang akan mengambil hak asasi rakyatnya. Kenapa Jadden harus takut? Jika mereka sudah sama-sama memegang kartu masing-masing. Jangankan mereka berdua, satu earth-pun jelas tahu apa yang mereka sembunyikan sejak dahulu kala.

“Ayo! Berikan padaku.” Anna mengarahkan kelima jarinya pada Jadden.

Tanpa aba-aba Jadden menarik uluran tangan itu. Great! Anna berhasil terkunci dalam dekapannya. Menawan. Tak ada yang berubah dengan gadis ini. Jadden mampu merasakan diri Anna masih sama seperti terakhir kali ia lihatnya terpuruk mati-matian.

Disentuhnya dengan lembut ukiran wajah Anna yang nyaris sempurna. Melaju perlahan di alisnya yang melengkung, lalu ke bulu matanya yang lentik, kemudian hidung mancung dan berhenti pada bibir gadis itu. Sensual dengan pahatan yang minimalis. Jadden tertarik untuk melakukan lebih dari sekedar sentuhan.

“Kumohon berhenti dari semua ini, dendam menyesatkan kalian,” pinta Jadden.

“Kenapa aku harus patuh denganmu?”

“Karena aku bisa saja memenjarakanmu detik ini jika aku mau.” Anna mendelik mendengar ucapan Jadden yang begitu angkuh.

“Apa karena kau seorang Agent FBI?”

Dalam hati Jadden memberi tepuk tangan yang meriah, sebab Anna masih bisa bercicit. Jadden tersenyum namun tubuh Anna bergetar memandang lelaki itu. Ia mencoba keluar dari sekapan tubuh Jadden. Namun gagal. Kekuatannya hanya 0,03% dari 100% kekuatan Jadden.

“Jalan yang kau pilih salah, Anna.” Jadden kembali memperingati.

“Yang akan mati pada akhirnya hanya aku, kau tak perlu pusing-pusing memikirkanku.”

Jakun Jadden naik turun. Yang dilontarkan Anna memang benar. Pada akhirnya yang akan terbakar adalah orang-orang yang pertama kali bermain api. Namun bisa saja berbelok pada orang yang mencoba memadamkannya. Dunia selalu punya kejutan bukan?

“Hidup saja kau sudah menyusahkanku apalagi saat kau mati,” tutur Jadden.

Anna menatap lekat lelaki itu. “Aku memang suka jika kau susah Jadden.”

“Kalau begitu tetaplah hidup. Usahakan jangan mati.” Jadden melepas Anna. Hingga langkahnya mundur menciptakan jarak diantara mereka.

Kata-kata Jadden sangat menggedor hati Anna. Ia tidak masalah jika darahnya harus mengalir untuk membayar semuanya. Ia juga tidak marah jika harus dikuliti hidup-hidup. Tapi timing-nya tidak tepat jikalau dilaksanakan dekat-dekat ini.

Sebagai manusia yang lahir dari sel sperma. Anna memaknai pilihannya sebagai suatu kutukan untuk dirinya dan ia sadar jiwanya kosong meski telah hidup selama lebih dari dua puluh lima tahun. Ya. Setidaknya ada bakti yang sedang ia cicil satu-persatu untuk menjadi bukit kebahagiaan. Entahlah itu kebahagiaan atau kesalahan. Anna punya idealisme tersendiri tentang dunianya.

“Celine akan menemuimu dipemakaman besok pagi.”

Anna mengalihkan pembicaraan. Sekilas diliriknya Jadden yang termangu pada lapangan hijau nan luas dihadapannya.

“Celine menitipkan ini,” sambung Anna lagi.

“Aku tidak mau menerima. Bisa saja itu remot bom, dan kau menjebakku atas apa yang kau lakukan beberapa jam yang lalu di Kasino Antlantic City.”

“Bajingan sombong. Apakah seorang agent mesti bersikap begitu pada masyarakat biasa?”

“Kau bukan masyarakat Anna. Tapi sampah masyarakat,” balas Jadden sengit.

Pupil Anna melebar. Terbangun kembali dengan amarah yang mrmbuncah. Tapi Jadden tetap relax, seakan tidak ingin menampakkan ketertarikannya secara terang-terangan. Meski lensa penglihatannya terus menyorot Anna yang memegang benda kecil berbentuk kotak dan berwarna hitam yang katanya diberikan Celine untuknya.

“Jika aku sampah sudah seharusnya kau membuangku dan Celine. Bukannya berjanji pada dirimu sendiri untuk melindungi kami berdua.”

“Kau benar Anna,” batin Jadden.

Sukmanya menerawang heran saat ditangannya kini barang itu berpindah tuan, bersamaan juga dengan kepergian Anna disampingnya. Jadden berharap niat tulusnya tidak menjadi kesalahan disuatu hari nanti.

-o-o-o-

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMRN BIAR AUTHOR SEMANGAT MENULIS UNTUK READERS SEKALIAN:*

LIGHTS OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang