Chapter 6

86 3 0
                                    


Holy Rood Cemetery. 2126 Wisconsin Ave NW, Washington DC.

Pagi ini lagi-lagi langit memotret gambar duka di ujung selatan Glover Park Washington D.C. Betul adanya jika semua yang bernyawa akan menghadap pada kematian. Jadden percaya hal tersebut walau imannya tak sekuat Sr. Teresa. Namun rasa-rasanya lelaki tampan itu gelisah berdiri diantara Gwen dan Tom, bukan karena ia takut mati tapi beberapa suara sumbang sedari tadi begitu menggelitik kupingnya.

“Kau harus menuntaskan perkara ini lebih cepat Tom. Jika tak ingin bualan mereka menjatuhkan harga diri kita,” ucap Jadden.

Kepala Tom tidak berpaling arah. Ia tetap melihat satu titik didepannya, sambil tertawa pelan nyaris tak terdengar. Harga diri? Tom benar-benar tidak percaya bawahannya akan berkata seperti itu seolah-olah memposisikannya menjadi anak buah. Memangnya Jadden sendiri punya harga diri? Tom tersenyum kecut.

“Kau menghilang selama dua hari tanpa menghasilkan apa-apa, itukah alasan kau menyuruhku?” Sindir Tom.

“Satu persatu Dewan mati tak wajar, apa kau ingin membiarkannya?” jawab Jadden membalas dengan pertanyaan.

“Kau sudah tahu ini tidak mudah, lalu kenapa kau sendiri menghilang kesana kemari?”

“Aku sedang mencoba men...” Jadden menutup mata karena hampir saja mengungkap sesuatu yang belum saatnya Tom tahu.

“Apa? Kau mencoba lari lagi?” tanya Tom penuh selidik.

Gwen yang tidak tuli menghela napas gusar. Di pemakaman pun, dua pria itu tetap saja bertengkar. Padahal prosesi penguburan sedang berlangsung. Apa mereka tidak tahu tata krama? Mustahil. Tapi kelakuan mereka menunjukkan, bahwa mereka memang tak punya sopan santun.

“Jangan membahas itu disini, Jadden,” tegur Gwen.

“Tom yang duluan memancingku.”

“Apa kau bilang bocah tengil?!”

“SHUT UP PLEASE!!”

Wanita itu mengamati sekelilingnya, syukur jeritannya sedikit tertahan jadi tidak terlalu memicu perhatian orang sebab tempat ini begitu ramai dengan agent intelijen dan juga beberapa Dewan Kongres USA yang ikut menghadiri upacara pemakaman Robert Wudson. Salah satu anggota Parlemen, yang mati mengenaskan karena pem-bom-an kemarin.

Ya. Jadden membenarkan omongan Gwen. Belum saatnya membahas ini. Jadden merobek sebuah bungkusan gula-gula lalu memasukkan isinya ke dalam mulut. Rasa melon memenuhi indera pengecapnya. Dia menikmati setiap isapannya pada benda manis tersebut, wajar saja karena memang lelaki itu suka sekali dengan melon, tapi ia lebih suka lagi saat seseorang yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri.

“Celine...” lirih Jadden.

Wanita itu hadir. Sesuai dengan apa yang dibilang Anna. Rambut coklatnya diikat setengah namun gelombang asli rambutnya tetap kelihatan. Dress hitam polos dengan v neck tanpa motif  yang ia kenakan membuat Jadden kagum karena selalu sesuai dengan minat lelaki itu. Cantik. Celine memang mempesona.

Meski begitu, ia lumayan terganggu dengan pria yang mengekor dibelakang Celine. Rahang Jadden bergerak menghancurkan permen dengan giginya. Dia cemburu? Tidak. Lantas apa? Mungkin hanya terkejut. Exel dan Celine ternyata saling kenal. Exel. Lebih tepatnya Exel Jacob Warrent. Laki-laki berdarah Australia dan Amerika. Jadden kembali ke dimensi yang mengingatkannya pada memori kejadian delapan tahun lalu.

Exel adalah mantan pasukan militer USA yang dipecat karena dianggap pro dengan Pasukan Bersenjata Taliban yang saat itu berhasil menghancurkan Kamp Bastion, sebuah lapangan terbang militer di barat daya Afganistan, mengakibatkan enam jet tempur Harrier milik marinir AS raib oleh Taliban, termasuk perlengkapan tempur lainnya. Entahlah rumor itu benar atau hanya sebagai ajang untuk menjatuhkan Exel, karena setahu Jadden lelaki tersebut akan di promosikan menjadi perwira sepulang dari penugasannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LIGHTS OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang