Chapter 3

166 13 0
                                    

Kota indah yang identik dengan kuda dan kegiatan perkudaan. Sekarang Jadden berada di sana. Lexington. Ia rela jauh-jauh meninggalkan kota Washington untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah terjawabkan dari isi kepalanya.

Dengan hati yang dipaksa bersabar. Jadden menunggu waktu ibadah selesai dengan mendengarkan pastur menyampaikan pujian-pujiannya dan ikut berdoa. Seumur hidupnya lelaki itu tidak pernah menjadi hamba yang taat kecuali hari ini. Apalagi terjebak dalam Ibadah minggu anak dibawah umur. Konyol? Sedikit.

Jam yang berdenting seolah memburunya dengan belati. Waktunya begitu berharga. Ingin sekali ia mengusir orang-orang disitu tapi bisa saja dia yang akan dibakar hidup-hidup. Lucu sekali membayangkannya. Jadden menarik napas berat namun ada kelegaan karena sedikit demi sedikit jemaat mulai meninggalkan gereja.

“Ibu! Sr. Teresa membagikan ini.”

“Wah.. banyak sekali, nak.” balas sang Ibu.

Jadden berdiri dari posisinya. Ciutan anak kecil dengan jemari yang mengudara, memamerkan apa yang baru saja didapatkan. Dibawah mimbar, inderanya menangkap sosok yang disebut tadi. Suster Teresa.

“Kami! Sr. Teresa! Kami belum dapat!” teriak seorang anak kembar perempuan.

“Terima kasih, Sr. Teresa,” ucap anak berkulit albino yang memeluk Biarawati itu dengan sayang.

Meski berjarak tidak jauh,  pemandangan kebahagiaan itu jelas terpancar. Hanya melihat wanita tua itu membagikan coklat, mampu mengembalikan mood Jadden kembali netral.

“Casey dan Casa. Ini terakhir untuk kalian si kembar yang cantik,” suster Teresa menyodorkan empat bungkusan berwarna gold yang terikat pita.

“Terima kasih suster. Tuhan menjagamu,” balas sang anak bersamaan. “Kami pulang dulu. Bye, Sr. Teresa.”

“Tentu, nak. Hati-hati dijalan. Tuhan memberkati kalian.”

Kepergian little twins membuat tatapan Suster Teresa dan Jadden saling beradu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepergian little twins membuat tatapan Suster Teresa dan Jadden saling beradu. Kali ini Jadden ingin dekat pada wanita tersebut. Membunuh kecanggungan yang ada diantara mereka dengan duduk bersama meski tanpa secangkir kopi dan sepiring roti.

Jadden sudah menyusun redaksi kalimatnya agar mampu sampai pada topik inti. Dia tidak mau dicap terburu-buru. Wibawanya harus selalu terjaga walau otaknya sudah mau pecah menahan jutaan pertanyaan yang terpendam.

“Dia gadis yang baik.”

Suster Teresa membuka pembicaraan. Jadden menegakkan posisi duduknya. Dia cukup menegang sebab potret perbincangan Suster Teresa sesuai dengan tujuan awal Jadden.

“Dia membantu banyak peternak,” Suster Teresa menunduk. “Menyantuni anak kecil yang sudah yatim,” tangannya kali ini mengelus kalung salib yang melingkar di lehernya. “Dan sering berdoa dengan tangis saat malam hari,” sambungnya.

“Aku datang kemari tidak berniat buruk,” jujur Jadden yang akhirnya bersuara.

Suster Teresa menoleh ke Jadden. “Kau yang paling tahu bagaimana dia.”

Jadden menerawang kebenaran dari ucapan Suster Teresa. Benarkah hanya dia yang bisa mengerti Celine? Jadden tidak percaya diri akan hal tersebut. Gadis itu punya sisi lain yang tidak semua orang dapat terima. Termasuk Jadden.

Lelaki itu menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia seperti tersudutkan dan di mode bisukan. Apa yang harus dijelaskannya kini tertahan dilangit-langit mulutnya. Namun Jadden tak mau bungkam. Ada lentera yang diberikan padanya. Akan sayang jika tidak digunakan sebaik-baiknya.

“Setiap hari kau yakin pada Tuhan yang memberi keselamatan untuk umatnya. Kali ini yakinlah padaku yang tidak akan mengecewakanmu, Sr. Teresa,” tutur Jadden.

Air wajah Suster Teresa semakin melembut. Jadden sudah tenggelam ke dasar yang paling dalam dan bisa naik kepermukaan berkat Biarawati tua ini. Jelas saja omongannya tidak akan pernah bermakna dusta. Meski secuil saja.

“Kau selalu datang seperti pahlawan. Entah karena pekerjaanmu atau apa, aku tidak mengerti. Tapi aku selalu percaya padamu.”

Suster Teresa tersenyum simpul. Tatkala mengingat puluhan orang yang menjadikannya tempat berkeluh kesah dari problematika kehidupan. Sedangkan kerisauan untuk dirinya sendiri beliau hanya sampaikan kepada Tuhan saja. Dia senang bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Tak peduli ia akan bahagia atau tidak. Yang jelas sekitarnya bisa tertawa itulah inti dari kebahagiaannya.

“Padamkan lampu itu dihatinya, Jadden. Kau pasti bisa melakukannya,” pinta biarawati berusia senja tersebut.

Untuk Jadden. Ia mendapatkan kedamaian yang diidam-idamkan. Question dalam sudut memorinya perlahan berkemas untuk segera pergi. Ada jalan yang dibuat Suster Teresa untuk dirinya. Jalan yang mampu menembus ketenangan dalam batinnya. Seperti menemukan hal menakjubkan dalam hidup lewat diri Biarawati ini.

“I’m promise. I can, Sr. Teresa.” ketus Jadden.

-o-o-o-

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN BIAR AUTHOR SEMANGAT MENULIS UNTUK READERS SEKALIAN:*

LIGHTS OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang