302 Burbank ST SE, Washington, DC. August. 1993
Rumah besar bergaya Eropa berdiri kokoh dalam kemilau pagi sang mentari. Halamannya yang luas dipenuhi binatang peliharaan yang asik menikmati sarapannya, ditambah lagi dua anak kecil yang saling memburu dan tertawa ketika salah satu dari mereka tertangkap.
“Hahaha!! Perutku geli!! Stop it!! Please!!” pinta seorang anak laki-laki yang sudah berguling-guling di teras.
Seolah tidak mengindahkan permintaan tersebut. Yang dipinta pun terus menggelitik. Tidak peduli baju lawannya akan kotor karena menyapu lantai dengan tubuhnya yang terus bergerak seperti parutan keju.
“Katakan kalau kakakmu ini cantik! Maka aku akan melepasmu! Ayo!”
“Baik! Akan kukatakan! Kau jelek!” anak perempuan itu membelalakkan mata mendengar ucapan adiknya.
“Baiklah! Kalau begitu rasakan ini!”
Mereka hanyut dalam canda hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tegap membuka pagar yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Sam. Anjing kesayangan keluarga tersebut menggonggong menyambut tuannya yang baru saja datang.
Wanita bergaya vintage dengan gaun bermotif kembang dan setelan rambut bouffant yang bergelombang manis, juga mengekor dibelakang. Tanpa bersuara dia langsung mengelus kepala Sam diikuti oleh balita yang digendongnya.
“Ayah dan Ibu pulang!”
Teriakan itu berhasil menghentikan aktivitas gurauan kedua kakak beradik tadi. Mereka saling menatap kemudian tersenyum sumringah lalu berlari memeluk Ayah dan Ibunya dengan penuh kerinduan.
“Hei baby! Apa kau bahagia telah meninggalkan kami berdua?”
Bocah lucu yang menunggangi Sam seperti kuda, tertawa cekikikan. menampakkan dua gigi bawahnya yang baru saja tumbuh.
“Dia tidak menjawabmu. Minggir! Aku akan mencium pipinya yang bulat sampai kempis,” sela si anak perempuan cepat.
“Enak saja! Aku yang bertanya. Artinya aku duluan yang menciumnya!” protes adik lelakinya itu.
Diam-diam sang Ibu melengkungkan senyum. Sungguh. Pemandangan ini membuat hatinya bersyukur telah memiliki anak-anak yang menggemaskan.
“Akh!! Belakangku!!”
Rintihan yang terdengar aneh dikeluarkan secara tiba-tiba oleh sang Ayah. Istrinya kaget mendapati anak panah menembus jantung suaminya. Sam menggonggong namun dengan nada brutal. Tubuh suaminya perlahan tersungkur dengan darah yang mengalir deras.
Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Kepalanya mondar mandir mencari siapa pelakunya. Tapi tidak ada siapapun. Dipeluk erat-erat ketiga anaknya dengan ketakutan.
Ssstt!
“No!!! Ibu!!! Sam!!!!”
Gadis kecil yang melihat Sam terkapar, menunjuk kaget kearah pandangannya karena mendapati anjingnya sudah tak bernyawa. Ia segera menarik adiknya bersembunyi dibalik punggung ibunya.
“Ayo masuk! Cepat!” titah sang Ibu.
Belum sempat melangkah dengan hitungan tiga. Ibunya berhenti. Lututnya menempel ditanah. Gendongan pada anaknya mengendor.
“Ibu!!!”
Diamati kelopak mata Ibunya yang menyipit, irisnya yang kecoklatan mulai redup. Cahaya itu sedikit demi sedikit menghilang. Kematian senantiasa mengiri mereka.
“Pe-pergilah dari si-sini.”
“Tidak! Kita akan pergi bersama, bu. Aku akan memberimu napasku,” ucap anak tertua.
“Ma-maafkan Ibu, nak. Kelak kau a-akan tahu seberapa pe-penting napasmu itu,” jelas sang Ibu terbata-bata.
“Adik membutuhkanmu. Kita akan ke-Netherland minggu depan bersama Ayah.”
“Ma-ma-maafkan Ibu.”
Kakak beradik itu meraung dengan tangis mendengar kalimat tersebut adalah ucapan terakhir dari orang yang telah melahirkannya.
“Ibu!!!!!!! Ayah!!!!!!!”
Tubuh ibunya diguncang-guncangkan namun tidak ada respon. Ibunya tidak bergerak sama sekali. Mereka memeluknya dengan hati yang hancur. Sedangkan adik bungsunya terus menangis dengan suara yang melengking. Kedua orang tua mereka meninggal dunia dengan tragis.
-o-o-o-
Ruang duka, MedStar Washington Hospital. August 1993.
Bocah laki-laki berumur kira-kira enam tahun, mematung menggenggam permen yang baru dibelinya tadi di supermarket. Beberapa kali benda itu keluar masuk di saku jasnya. Tampak nyalinya panas-dingin untuk memberikan kemasan bergambar itu pada anak perempuan yang tengah menangis tersedu-sedu.
Seisi ruangan merapatkan barisan untuk menenangkan anak perempuan tersebut. Termasuk Ayah dan Ibunya. Ia mengenali orang yang sedang meneteskan air mata saat ini, tapi ia sendiri bingung harus berbuat apa. Mungkin lain kali saja ketika keadaan sudah tenang. Pikirnya.
“Are you okay, son?” sosok wanita menegurnya. Bocah itu terkejut Ibunya sudah berlutut memegang pipinya.
“Sure, Mom.”
“Temanmu sedang berduka. Tidakkah kau mengucapkan sesuatu padanya?” ia mencerna pertanyaan Ibunya.
“Aku mau memberinya permen, tapi aku takut dia tidak suka rasa melon.”
Jawaban polos itu berhasil membuat Ibunya tersenyum menahan tawa. Anak laki-lakinya sangat peka dengan sekitarnya namun sedikit pemalu. Meski begitu, dia sadar buah hatinya tulus.
“Mana tahu jika kau belum mencoba memberinya,” balas Ibunya.
“Aku takut ditolak, Mom.”
Ia menggoyangkan bibirnya kekiri kemudian kekanan dan secara spontan memeluk Ibunya seolah meminta kekuatan.
“Aku hanya ingin menjadi penjaganya saja, boleh Mom?” sambung si bocah lelaki kemudian.
“Dia memang membutuhkanmu,” bisik Ibunya lirih.
-o-o-o-
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN BIAR AUTHOR SEMANGAT MENULIS UNTUK READERS SEKALIAN:*
KAMU SEDANG MEMBACA
LIGHTS OUT
RandomTiga orang bersaudara berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan kematian Ayah dan Ibunya yang dibunuh secara diam-diam. Kira-kira bagaimana mereka akan menemukan titik terang? Jika pada akhirnya mereka harus hanyut dalam intrik politi...