Konflik dan Sebuah Kenangan

291 11 4
                                    

"Ardi..."
Nyaring seseorang memanggil namaku. Membuatku menoleh ke arah suara itu berasal. Aku mengerutkan dahiku mencoba untuk mengingat - ingat wajah seseorang yang tengah berjalan ke arahku. Cewek. Tak terlalu tinggi. Mungkin sebahuku. Memakai kacamata bulat dan tersenyum simpul kepadaku.
"Ardi kan?" Tanyanya lagi.
"I...iya, kenapa ya?" Jawabku masih mencoba mencari tau siapa cewek ini.
"Masih inget aku nggak Kak?"
Kak? Bentar bentar, siapa sih cewek ini.
"Emmm siapa ya maaf aku agak pelupa kalau soal nama hehe"
"Kak Ardi mah, masa lupa sama aku. Ini aku Khilya. Adik kelas kakak dulu pas SMA. Kelas X IPA 3. Anak OSIS. Inget ga Kak?"
" Ouh Dek Kil, inget - inget sekarang. Apa kabar sekarang? Kuliah dimana? Sampe pangling aku"
" Udah cantik kali kak jangan di panggil dekil mulu huhu"
"Kuliah di HI Jogja kak, ambil kebidanan. Sekarang masih libur makanya pulang. Kakak apa kabar?"
"Haha iya dah cantik sekarang sampe pangling"
"Ouh calon bu bidan. Alhamdulillah baek dek. Udah makan belum? Ikut makan yuk aku lagi mau cari makan"
"Udah makan kak aku"
"Udah ikut aja ayo sekalian lanjutin ngobrol lagi"
"Iya deh"
Aku dan Khilya akhirnya berjalan menyusuri foodcourt untuk mencari makan. Khilya adalah adik kelasku dulu. Sebenernya nggak terlalu dekat juga aku sama dia. Dulunya emang agak kluwus dekil anaknya makanya aku lebih sering memanggilnya "dekil" daripada Khilya. Makanya aku pangling dia secantik ini sekarang. Tapi yah maklum juga sih. Udah kuliah juga. Di luar kota pula. Pastinya udah kenal perawatan wajah dan lain - lain lah. Namanya juga cewek. Uang makan sama uang buat perawatan pastinya lebih banyak buat perawatan.
Aku dan Khilya duduk disalah satu foodcourt. Khilya hanya memesan minum karena dia memang masih kenyang katanya. Aku melanjutkan ngobrol dengan Khilya. Tentang kuliahnya. Jogja. Dan juga mengenang masa - masa SMA dulu. Padahal aku sudah hampir melupakan masa - masa SMA ku. Karena terkadang bisa menjadi menyakitkan untuk mengenang masa lalu. Apalagi jika masa lalu itu pernah melukai mu. Sakit. Tapi tak berbekas.
Satu hal yang kuingat waktu SMA adalah aku pernah jatuh cinta. Tapi cinta itu pergi dan hanya membuatku jatuh. Dia pergi karena aku yang terlalu pengecut. Ya aku memang pengecut. Pengecut yang hanya memandangnya pun sudah bahagia. Pengecut yang hanya bisa memendam perasaannya.
"Kak Ardi" ujar Khilya melambaikan tanganya di depan wajahku. Membuatku tersadar dari lamanunanku.
"Kok ngelamun sih kak. Nglamunin apa coba?"
"Eh maaf, nggak apa - apa kok. Habis ini rencana ngapain kamu dek?"
"Emm nggak ada rencana apa - apa sih kak. Palingan pulang."
"Temenin nyari buku yuk ke gramed. Mau ga?"
"Hm boleh"
"Kamu kesini naek apa dek?"
" Motor kak"
" Ya udah ntar motornya titipin aja di tempat temenku. Kamu bonceng aku aja."
"Eh, bonceng kakak?" Khilya nampak kaget dengan tawaranku. Samar - samar pipinya nampak semakin memerah.
"Iya, kan aku minta temenin. Kalau bawa motor sendiri - sendiri susah to dek"
Akhirnya Khilya menyetujui tawaranku. Ia mengganguk pelan. Wajahnya nampak tersipu malu. Ntahlah apa yang ia pikirkan. Yang penting aku ada teman untuk mencari buku. Karena Arfa aku ajak tidak bisa. Masih di luar kota katanya.
***
"Oey anjing!"
Aku berjalan santai menuju kelas. Tapi suara berisik itu nyaring terdengar lagi dan seseorang menarik bahuku dari belakang ketika aku baru hendak masuk ke kelas.
"Woy gua manggil lu Njing"
Apaain sih orang.
"Aku punya nama ya, kalau manggil orang yang bener"
"Anjing, malahan nyolot lu"
"Dih sapa yang nyolot. Dateng - dateng marah - marah. PMS?" Ujarku santai dan berjalan ke arah kursi tanpa menghiraukannya.
"Eh bangsat. Gua lagi ngomong ma elu"
" Ngomong ya tinggal ngomong aja"
Seisi kelas memandang kearahku dan Dimas. Orang yang dari tadi rusuh manggil - manggil. Karena nada bicara Dimas yang tinggi.
"Elu kan yang kemarin jalan sama gebetan gua kan?"
"Gebetan elu? Gebetan yang mana. Orang baru gebetan belum pacar kan. Sensi banget jadi orang"
"Anjing lu malah nyolot. Pas itu tugas kelompok nama gua kagak lu tulis sekarang nyari gara - gara lagi lu jalan ma gebetan gua"
" Siapa emangnya gebetan elu?"
"Ilya. Kemarin temen gua lihat lu ma dia di gramed. Ada yang ngelihat kalian juga di foodcourt."
"Weeeh banyak juga yang kenal gebetan elu. Padahal baru gebetan tapi udah di kenal - kenalin ke orang banyak. Wkwkw. Kagak malu kalau nggak jadi pacar tuh." Candaku.
Ternyata anak kampusku yang Khilya bilang sedang dekat dia orang ini ternyata. Baru kenal di facebook aja songong nih anak satu. Panasin aja sekalian lah. Bakar. Bakar. Hihi.
"Terus kenapa kalau aku jalan sama Dekil?"
"Dekil, dekil. Namanya Ilya bangsat. Dia gebetan gua jadi jangan macem - macem lu"
"Baru gebetan kan? Belum ada status"
"Bangsat lu malah makin nyolot jadi orang"
Wajah Dimas semakin merah marah. Tangan kirinya mencengkeram kerahku dan menarik ke arahnya. Beberapa anak cewek mencoba menenangkan Dimas yang marah. Sementara gerombolan temen - temen Dimas malahan semakin ngomporin buat ngehajar aku.
"Ada kamu dah ketemu dia? Belum kan. Kamu juga baru kenal dia lewat chat doang. Ga usah sok - sok an bilang dia gebetan kamu. Nggak ada hak kamu buat ngelarang Khilya jalan ma siapa aja."
Bukk... Sebuah pukulan mendarat di pipiku. Beberapa anak cewek menjerit melihat BB kami.
"Makin nyolot lu jadi orang. keturunan tukang tikung elu ya. Jangan - jangan bapak lu juga nikung pacar orang. Oh ato nikung istri orang."
Ini anak semakin kelewatan.
"Apa? Marah. Berani elu sama gue?!?. Anak cupu kaya elu berani sama gua?!?. Ngaca! Dari pada babak belur elu."
Buk... Dimas kembali memukulku. Darah menetes dari ujung bibirku akibat pukulan Dimas barusan.
Aku menepis tangan Dimas yang mengcengkeram kerahku dan berdiri. Dimas mundur beberapa langkah dan seakan memasang kuda - kuda bersiap menyerangku.
Aku menghela nafas panjang. Sebenernya aku tak ingin kepancing emosi seperti ini. Tapi Dimas sudah menyinggung hal yang nggak seharusnya ia singgung. Menghina orangtuaku.
"Silahkan kalian hina aku, caci aku sepuas hati kalian. Aku takkan menanggapi serius hinaan kalian. Tapi satu hal. Sekali kalian menghina orangtuaku, keluargaku, atau orang - orang yang ku sayang. Itu akan jadi terakhir kali kalian berani bicara seperti itu padaku" ujarku geram dengan sikap Dimas.
"Alah ngebacot doang lu. Sini maju kalau berani. Dasar anak tukang tikung. Hahaha"
Dimas memberi kode kepada dua temannya. Cih keroyokan.
"Dimas udah! Jangan berlebihan, ini kampus. Inget!" Ujar Sayfi
"Diam lu lonte! Ga usah ikut campur"
Mata Sayfi terlihat berkaca - kaca mendengar ucapan Dimas. Sakit hati pasti dia di sebut lonte ( pelacur ) oleh Dimas. Tapi ia hanya bisa diam tak bisa membalas apa - apa lagi dan terduduk.
Maaf Fa, sepertinya aku harus melanggar janjiku lagi kali ini. Ya, aku pernah berjanji dengan Arfa untuk tidak berkelahi lagi. Karena Arfa tau seperti apa sifatku ketika aku benar - benar marah.
Aku sedikit mengatur nafasku. Mempersiapkan diri untuk yang akan terjadi selanjutnya.
" Jika terjadi apa - apa dengan kalian, bukan salahku ya" ujarku.
"Halah diam lu, ngebacot doang!. Hajar!" Suruh Dimas kepada dua temannya, Anji dan Leo.
Leo yang terlebih dahulu menyerangku. Ia mencoba memukulku. Aku menghindari pukulannya dan sedikit mendorong tubuhnya membuatnya kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke arah kursi. Anji mencoba menendangku tapi aku lebih cekatan. Aku tangkap kaki kananya lalu menariknya ke atas dan ke belakang. Breettt.... Suara robek celana Leo terdengar keras. Tepat di selangkangan. Seisi kelas tertawa. Hahaha. Sebagian cewek menjerit dan menutupi matanya tapi tetap tertawa. Reflek Leo langsung menutupi selangkangannya dengan wajah memerah. Buukk. Dimas menendangku saat aku lengah. Aku memang tidak terlalu serius dengan kedua orang itu karena mereka tak punya masalah denganku. Tapi orang ini, setidaknya harus ku beri pelajaran.
Dimas kembali memukulku secara bertubi - tubi. Aku mencoba bertahan dari pukulannya. Satu kesempatan aku menepis pukulannya dan menyerang cepat ke rahang bawah Dimas. Bukk. Dimas terhuyung ke belakang. Aku menyerangnya kembali. Membuatnya terjatuh. Dimas meringis kesakitan. Ia menangkupkan tangannya menutupi kepalanya dan meringkuk.
Aku masih tetap menendang dia. Berkali - kali.
" Mana omong besar mu yang tadi hah! Mana! Mana! Mana!"
"Ampun... Ampun... Ampun..."
Aku tak pedulikan teriakan minta ampun Dimas. Aku masih tetap menendang tubuhnya.
"Udah Ar udah" Naim mencoba melerai dengan memegang tubuhku dibantu Umam. Tapi mereka masih kalah kuat. Aku masih tetap menendang Dimas berulang - ulang.
"Ar sadar Ar udah, udah " Naim menarikku kembali dengan lebih kuat. Hanif dan Dion ikut membantu menarik dan menahanku. Itupun mereka masih kesusahan. Sementara Anji dan Leo mendekati Dimas yang mencoba berdiri, masih dengan meringis kesakitan.
"Apa - apaan ini!" Semua orang memandang ke arah suara. Pak Pur berkacak pinggang di depan pintu. Wajah marahnya membuat semua orang terdiam dan tak berani melakukan kontak mata dengan Pak Pur.
Naim, Umam, Hanif dan Dion yang memegangku pun ikut melepaskan kekangannya.
"Ini kampus bukan sasana tinju. Mau jadi jagoan kalian!" Suara Pak Pur menggelegar mengisi ruang kelas. Ia berjalan mendekat ke arahku.
"Mau jadi jagoan kamu!" Ujarnya lantang dengan menunjuk ke mukaku.
" Yang laen silahkan duduk semua. Kecuali kalian berempat."
"Coba jelaskan sama saya ada masalah apa kalian sampe berantem di kelas?!?".
Semuanya hanya diam tertunduk. Kelas yang berisi 20an mahasiswa terdengar sunyi. Hanya suara deru AC yang terdengar.   Hening. Pak Pur kembali bersuara lagi.
"Masih nggak ada yang mau jelasin. Kalau begitu kalian semua saya kasih nilai C untuk mata kuliah saya"
"Waaaa....jangan pak" kompak seisi kelas protes.
"Ya udah sekarang jelaskan sama saya!"
"Dia pak yang mulai duluan"
Ujar Dimas membuka suara dengan menunjuk kearahku. Aku mendengus kesal. Masih berani dia cari gara - gara denganku.
"Eh, nggak pak. Orang dia dulu yang mulai"
" Nggak pak, dia yang mulai. Lihat nih saya yang babak belur" ujar Dimas.
Cih, sialan ni anak.
"Sudah jangan saling menyalahkan. Haaah" Pak Pur menghela nafas panjang. Suaranya sudah tidak setinggi tadi.
"Kalau ngelihat dari yang babak belur mungkin iya kamu yang jadi korban, tapi saya nggak bisa mengambil keputusan sepihak menyalahkan salah satu pihak hanya melihat dari siapa yang terluka paling banyak"
Wah, ternyata dibalik galaknya Pak Pur beliau bijaksana juga dalam mengambil keputusan. Salut.
"Kalian berempat salah karena sudah berkelahi di kampus. Melanggar aturan. Bapak tetap akan memberi sanksi buat kalian berempat. Tapi bapak ingin mengetahui lebih jelas apa yang terjadi".
Lanjut Pak Pur.
"Ardi coba kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi"
" Begini pak sebenernya..."
Dimas menatapku kesal. Aku menjelaskan apa yang terjadi kepada Pak Pur. Di tengah - tengah aku menjelaskan Dimas beberapa kali menyanggah omonganku. Hingga dia di tegur oleh Pak Pur.
"Benar apa yang di jelaskan oleh Ardi?" Pak Pur bertanya kepada seisi kelas.
"Iya pak" jawab mereka.
"Baiklah kalau begitu, semuanya sudah jelas duduk perkaranya. Kalian berempat ikut saya ke kantor. Yang lain, lanjutkan perkuliahan. Ini jamnya siapa? Panggil dosennya jangan malah pada main"
"Lah, kan ini jamnya bapak..." Ujar Naim.
"Apa iya?"
"Iya....." Ucap seisi kelas.
"Walah, saya lupa. Tinggal berapa jam? Wah ga nyukup kayanya. Ya udah kalian belajar mandiri. Minggu depan bapak adakan kuis."
"Yaaaaaaaaaaaaaaaaaaah" ucap seisi kelas dengan nada kesal.
Aku berjalan mengikuti Pak Pur ke kantor, dengan masih menatapku kesal Dimas mengikuti di belakangku. Dengan memegangi pipinya uang lebam. Hahaha. Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Tong kosong emang ya nyaring kalau di pukul. Cuma banyak omongannya tapi ga da isinya yang di omongin. Udah kaya caleg aja cuma kebanyakan membual. Meskipun hanya diam seperti kucing, singa tetaplah singa walaupun ia memang keluarga kucing dan sebanyak apapun anjing menggong, anjing tetaplah anjing. Marahnya orang pendiam itu bisa lebih menyeramkan dari marahnya orang pemarah. Jadi jangan menganggap seorang pendiam, cupu, itu nggak bisa marah. Mereka juga bisa marah. Ingat lagu si doel anak betawi? Si sidoel anak betawi asli, kerjaannye sembayang mengaji, tapi awas jangan bikin diye sakit hati, dia beri sekali beeeh, orang bisa mati. Seorang yang yang pendiam, terpelajar, alim, kalau dia sakit hati ia pun bisa bertindak. Apalagi bila orangtuanya dihina. Kata ampun pun mungkin ga akan membuatnya mengampunimu.
**
Di tempat dan waktu yang lain...
Khilya senyum - senyum sendiri di kamarnya. Diiringi lagu 11 Januari dari band Gigi. Berulang kali ia membuka buku yang ia peluk, membacanya lalu memeluknya kembali. Sebuah novel. Disana tertulis pesan di balik sampul bukunya.

Hadiah,
Untuk Dekil.
Semoga buku ini menginspirasi,
Semangat kuliahnya...
Gramedhia, 11 Januari 2015.

"Kamu suka baca novel?" Tanya Ardi mengagetkan Khilya yang tengah membaca sipnosis sebuah novel.
"Eh, ga terlalu sih kak kalau ceritanya bagus baru baca - baca. Gimana udah nemu buku yang di cari?"
"Udah kok. Itu yang kamu pegang bagus kok ceritanya. Cukup menginspirasi kalau menurutku"
"Ceritanya tentang apa kak?"
"Em, kalau itu aku nggak bisa ceritain"
"Koh gitu..." Protes Khilya.
"Kalau aku ceritain isi novel itu ke kamu, sama aja aku merusak imajinasimu tentang cerita di novel itu. Dan aku nggak ingin merusak imajinasi seseorang akan suatu cerita karena dunia imajinasi seseorang itu berbeda - beda. Membaca buku itu memberikan banyak imajinasi karena saat kita membaca kita pasti membayangkan apa yang kita baca."
"Ouh begitu yah, ya udah deh kalau begitu. Aku mau lihat - lihat yang lain dulu kak. Siapa tau ada buku tentang kebidanan"
Khilya menaruh novel yang ia pegang dan pergi ke arah rak  buku kesehatan. Ardi memandang sebentar novel yang Khilya tadi pegang. Novel yang ia sarankan tadi. Ia lalu mengambilnya dan pergi ke arah kasir.
"Ini buat kamu, hadiah terimakasih buat kamu karena udah mau nemenin aku ke toko buku" ucap Ardi memberikan sebuah buku ketika mereka telah sampai ke tempat kos temen Ardi.
"Eh buatku kak?"
"Iya buat kamu"
"Makasih kak, ini kan buku yang tadi kak. Wah makasih banget kak"
"Baca sampe habis ya, hati - hati pulangnya. Sekali lagi makasih ya de'kil"
"Iya kak pasti aku baca. Oh iya kak. Anu... E..."
"Kenapa dek?"
"Anu..  e... Boleh minta nomer kakak nggak?"
"Lah kalau nomer kakak di minta ntar kalau ada yang menghubungi kakak susah dong?"
"Hii kakak, nggak gitu. Ya maksudnya kasih tau nomer kakak. Sapa tau aku perlu bantuan kan jadinya bisa ngehubungi kakak."
"Ouh bilang dong, ya udah catet 085..."
Khilya masih saja senyum - senyum sendiri membayangkan kejadian tadi siang. Makan bareng kak Ardi. Jalan bareng. Meski hanya ke toko buku. Di boncengin. Curhat. Khilya jadi melupakan cowok di kampus Kak Ardi yang tengah dekat denganya. Saat ini baginya 2 jam 15 menit 40 detik bersama kak Ardi adalah waktu yang paling membahagiakan untuknya.
Ah kak Ardi...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Catatan Mahasiswa Calon PerawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang