Semakin hari, Pria Jeruk itu semakin gencar menggangguku. Sama seperti sekarang. Aku yang seharusnya duduk tenang di bawah pohon oak yang ada di taman belakang fakultas, malah jadi sasaran empuk rayuan Jimin yang tidak ada habisnya.
Kami benar-benar hanya berdua di sini. Entah kemana perginya mahasiswi lain yang biasa duduk di sekitar taman.
"Seul, ayo ke rumahku sepulang kuliah nanti. Aku janji akan memasak makanan kesukaan mu."
Ucap Jimin dengan gaya khas seorang bocah yang meminta permen pada ibunya. Menggandeng tanganku dan digoyangkan ke kanan juga kiri.Hei, dia ini sudah dewasa, lho. Dia bahkan satu tahun lebih tua dariku. Tapi kenapa perilakunya jadi seperti bocah begini?
"Memangnya kau tahu apa makanan kesukaan ku?"
Jimin berhenti menggoyangkan tanganku. Ia diam, dahinya mengkerut menandakan ia sedang berpikir dan bibirnya dimajukan. Kekanakan sekali.
Ia menggeleng dua kali, "Tidak. Tapi kau bisa beri tahu aku nanti saat kita sudah di rumahku." Tangannya berulah lagi, kembali menggoyangkan tanganku yang sudah dibuat pegal olehnya. "Ayolah, Ahn Yeseul."
"Sekali tidak, ya artinya tidak. Lagi pula kau masih ada kelas sampai malam 'kan? Aku tidak suka menunggu, Park jimin."
Jimin melepaskan tautannya, bibirnya kembali maju dan tangannya ia lipat di dada. Merajuk.
"Kau marah?"
Ia tidak menjawab, masih asik dengan bibirnya yang maju seperti bebek. "Yasudah."
Aku ingin bangkit, tapi Jimin menahan tanganku. Akhirnya aku diam, menatap Jimin dengan pandangan yang menunjukkan bahwa aku sebal padanya.
"Seul, ku mohon. Ayo main ke rumahku."
Aku menghela napas, melepaskan tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku. "Jim, aku tidak bisa."
"Tidak bisa 'kan, bukannya tidak mau. Itu tandanya kau mau ikut bersama ku tapi kau berusaha menutupinya."
Kau benar, Jim.
"Kenapa memangnya? Kau tidak suka, ya jika dekat-dekat denganku?"
"Tidak. Eh, maksudku bukan. Aku... aku suka. Tapi-"
"NAH 'KAN KAU SUKA!" Ucap Jimin seraya menepuk tangannya sekali. Dan tentu aku terlonjak karena teriakannya itu.
Aku menggeleng membuat Jimin kembali merajuk. Ia bangkit, menepuk bokongnya beberapa kali guna membersihkan tanah dan daun yang menempel di celananya.
"Terserah mu saja. Aku marah."
Heh?
Aku tidak menjawab, membiarkan Jimin pergi dengan gaya sok angkuhnya. Beberapa kali Pria Jeruk itu menoleh ke arahku lalu kembali berjalan lurus ke depan.
'Kan aku yang sejak awal berniat pergi dari sini, kenapa pula ia yang menjalankan niatku?
Jimin hampir keluar dari area taman, beberapa langkah lagi ia memasuki lantai koridor belakang gedung. Tapi sejenak ia berhenti kala kepalanya menengok ke arah samping. Aku mengikuti arah pandangnya, seekor kelinci.
Jimin mendekat ke arah kelinci gembul berwarna abu itu dan aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Perlahan ia membungkukkan badannya, tangannya menyentuh tanah. Ia merangkak dan tepat beberapa detik sebelum si kelinci gembul itu pergi, Jimin lebih dulu menerkam kelinci itu kuat-kuat.
Apa ini?
Aku yang masih diam memperhatikan Jimin, tiba-tiba saja tersentak kala Jimin membuka mulutnya lebar-lebar seakan ia siap menyantap kelinci itu hidup-hidup.
"JIMIN!"
Hampir saja kelinci itu bersarang di dalam mulut Jimin kalau saja aku tidak segera berteriak memanggil namanya.
Aku berlari secepat mungkin. Perasaanku tidak enak, sejak awal pria Park itu memang aneh.
"Y-Yeseul, aku-"
Aku merebut kelinci itu dari Jimin, membiarkan buntalan berbulu itu lari ke arah semak belukar yang ada di samping taman. "Apa-apaan kau, Jim?"
Aku marah. Tidak suka jika seseorang menyakiti hewan lucu seperti itu.
"Hei, tenang lah." Jimin bangkit, menepuk kedua tangannya yang kotor lalu berdiri tepat di depan ku.
Aku sudah terlanjur kesal dengannya. Membuang muka ku asal agar tidak menatap manik cokelatnya itu.
Jimin terkekeh padahal ia tahu pasti aku marah dengannya. "Aku hanya latihan drama. Kau ingat kalau aku ada tugas akhir? Nah iya itu tugasnya. Aku dapat peran jadi serigala."
Damn!
Aku kembali menatap Jimin. Tidak bisa sepenuhnya percaya pada Pria Jeruk itu. "Yang benar saja Jimin. Tadi itu kau benar-benar seperti ingin memakannya."
Jimin malah tersenyum. Aku tidak mengerti dengan pola pikirnya, sungguh ini tidak lucu bagiku.
Ia menepuk pelan pucuk kepalaku beberapa kali lalu berhenti dan membiarkan tangannya itu berada di atas kepalaku. "Aku hebat, ya? Itu tandanya aku bisa berperan dengan baik saat pentas nanti."
Aku mundur selangkah. Tidak mau menjawab Jimin lagi. Terlanjur kesal dibuat olehnya sampai moodku hancur. Sepulang dari sini, aku akan ke cafe dulu untuk menyesap segelas caramel macchiato agar moodku kembali baik.
Aku benar-benar pergi dari hadapannya. Mengambil tas dan buku yang berserakan di bawah pohon oak tanpa sedikit pun menoleh pada Jimin yang tetap geming pada posisinya.
Tingkahnya itu aneh. Suka-suka dia saja lah mau bagaimana.<>
•••••
Iya Yeseul itu emang adik tingkatnya Jimin. Kenapa dia ga mau manggil Jimin dengan sebutan Oppa? Karna Jimin itu imut kayak anak kecil hehe.
Yaaa udah, itu si Jungoo hampir jadi santapannya Jimin haha. Kata Jimin sih cuma latihan drama, benar tidak yaaa??
KAMU SEDANG MEMBACA
BETOVEREN | √ |
Fanfiction[COMPLETED] Betoveren; Pesona Ahn Yeseul telah jatuh ke dalam jurang pesona yang Jimin punya dan ia tak dapat bebas dari hal itu.