Jimin dan Taehyung sama sekali tidak kenal lelah untuk merayuku. Membuat rona merah di kedua pipiku, debaran jantung yang makin menggila, ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutku, semua itu sudah seperti hal wajib yang harus mereka lakukan saat bertemu denganku.
Melemparkan kalimat manis yang mampu membuatku mabuk kepayang. Namanya juga pria.
Tapi yang menjadi pertanyaanku, kenapa aku?
Maksudku, hei, aku ini hanya gadis biasa yang tidak mampu bergaul dengan pria. Jangankan pria tampan seperti mereka berdua, pria kutu buku dengan kaca mata bulat yang selalu bertengger di batang hidungnya saja aku tak berani mengajak berkenalan duluan.
Sampai sekarang aku masih tak mengerti kenapa dua makhluk tampan itu selalu melontarkan rayuan padaku. Aku hanya seonggok kuman yang mengganggu. Setidaknya itu yang dipikirkan beberapa orang di kelas tentangku.
Penghujung senja dan sekarang hampir malam, tapi aku malah berjalan santai menuju kedai ramen yang berlokasi di dekat toko buku persimpangan jalan.
Satu kelokan dan aku hampir sampai. Namun sebelum aku merangkai langkah sekali lagi, aku melihat seseorang di ujung gang sempit dekat tempat sampah. Cahaya temaram dari lampu jalan membantuku untuk melihat lebih jelas siapa orang yang berbalut hoodie itu.
Park Jimin.
Tubuhnya menghadap tempat sampah, kepalanya agak menunduk juga tangannya yang... berada di mulutnya.
Sedang apa Pria Jeruk itu?
Ku hampiri Si Surai Oranye dengan tanda tanya yang menggantung di kepalaku. "Jimin?"
Ia menengok, aku tak salah, dia memang Jimin.
Ku lihat mata sipitnya itu agak membulat saat menangkap presensi ku yang berdiri dua langkah di depannya.
Ia segera melepas tautan tangan dan mulutnya. Aku melirik sekilas ke arah tangannya, ada bercak darah dan bekas gigitan.
"Sedang apa?" Tanyaku pada akhirnya karena Jimin tetap geming menatapku.
Ia mengerjap, menurunkan arah pandangnya ke sepatu putih yang ia kenakan. "Tidak ada."
"Kau itu suka sekali berbohong, ya." Aku mencibir.
Kadang Jimin itu bisa kelewat manis dan imut saat aku bertemu dengannya. Tapi ia lebih sering terlihat aneh dan berbohong di waktu yang bersamaan.
"Lanjutkan saja jalanmu. Tinggalkan aku." Nadanya datar sekali. Apa benar dia Jimin yang sering merayuku belakangan ini?
"Kau tahu, Jim? Kau itu aneh. Apa yang kau lakukan tadi, huh? Tanganmu berdarah."
Aku meraih tangannya, namun Jimin langsung menepisnya begitu saja dengan kasar. "Ku bilang pergi. Jangan ikut campur urusanku."
"Kau terluka, Jimin! Biarkan aku mengobatimu!"
Aku berusaha meraih tangannya lagi. Dan tetap saja gagal, yang ada sekarang malah tanganku yang di tangkup olehnya. Menubrukkan punggungku ke dinding hingga tubuhku terkunci oleh tubuh kekar Jimin.
"Dengar, jangan ganggu aku dulu. Aku sedang dalam keadaan yang tidak baik."
Hei! Yang selama ini mengganggu adalah dirimu, Park!
Ingin ku semprot saja rasanya wajah tampan yang ada di hadapanku ini. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu padaku.
"Oke kalau itu yang kau mau. Tapi beri tahu aku, apa yang sebenarnya kau lakukan?"
Ia menatapku nyalang sesaat. Benar-benar sesaat hingga dia merubah tatapannya itu menjadi begitu lembut, kembali pada Park Jimin si perayu ulung.
"Aku hanya sedang lapar. Jadi aku menggigit tanganku yang aku kira tadi sebagai makanan. Aku tidak sadar kalau aku menggigitnya begitu kuat sampai berdarah seperti ini." Ia menatap tangannya yang terluka. Bekas gigitan masih tercetak jelas di sana.
Apa bekas gigitan yang waktu itu juga disebabkan oleh dirinya sendiri?
"Tuh 'kan kau aneh. Mana ada orang lapar sampai sebegitunya?"
Ia tersenyum, garis matanya terbit lagi. "Ada. Aku orangnya."
Aku mendengus, "Terserah kau lah."
Ia mengangguk, melepas kurungannya sehingga aku bisa bernapas lega dan jantungku kembali berdetak dengan normal. "Mau kemana? Aku ikut."
Sudah biasa. Jimin pasti akan ikut aku ke mana pun aku pergi walaupun aku menolaknya mentah-mentah. Sebenarnya aku ingin, sih pergi dengan Jimin. Tapi jantung dan pipiku itu tidak bisa ku kontrol dengan baik. Mereka pasti akan bekerja ekstra saat aku berada di dekat Jimin.
"Kedai ramen. Kau lapar 'kan? Yasudah ikut saja. Daripada kau makan tanganmu sendiri."
Jimin terkekeh lalu mengacak lembut rambutku, jangan lupakan matanya yang hanya sisa segaris itu. Gemas sekali, sih.
"Gadis baik. Aku jadi semakin suka dengamu."
Mulai lagi rayuan klasiknya itu yang sayangnya selalu mampu membuat aku berada di ambang kesadaran.
Tak aku balas perkataannya itu. Aku melangkah lebih dulu ke kedai ramen yang beberapa langkah lagi bisa aku pijaki lantainya.
Namun saat kami berdua sampai di sana, Jimin tidak memesan apa pun. Ia malah berkata, "Tidak jadi, Seul. Kau saja yang makan. Melihatmu makan dengan baik sudah membuatku kenyang."
Sudah berapa kali ku katakan bahwa Jimin itu aneh? Ya dia benar-benar aneh.
Park Jimin itu aneh, tapi aku suka. Eh? <>
KAMU SEDANG MEMBACA
BETOVEREN | √ |
Fanfiction[COMPLETED] Betoveren; Pesona Ahn Yeseul telah jatuh ke dalam jurang pesona yang Jimin punya dan ia tak dapat bebas dari hal itu.