Bab 7

3.9K 263 25
                                    

"Mungkin hanya orang iseng, Rey."

Orang iseng? Jika ia kenapa bisa seniat itu? Sampai menghancurkan CCTV di depan rumah sampai rusak total.

Apalagi bayangan kardus berisi bangkai ayam dengan darah segar itu terus menghantui pikiranku.

"Tidurlah, sudah malam."

"Mas!" Aku menarik lengannya, mencoba menahan agar ia tak beranjak dan tidak tidur di luar kamar seperti biasa.

"Tidur di sini ..." aku memelas, sepertinya ekspresi wajahku benar-benar membuatnya iba, hingga Mas Rizal mengangguk menyetujui permintaanku malam ini.

Lega rasanya, apalagi saat melihat Rahman dan Raihan sudah tertidur pulas.

Kutarik selimut hingga menutupi seluruh anggota badan, kecuali wajah yang menghadap langit-langit kamar.

"Mas, apa semua ini ada hubungannya dengan perjanjian yang Mas minta?"

"Tidak ada," jawabnya singkat, membuatku tak perlu lagi berharap.

Aku menoleh ke samping, memandang wajah polos Rahman dan Raihan.

Malam ini aku tak membiarkan anak-anakku tidur di ranjang biasa, melainkan membiarkan terlelap di sampingku juga di samping Ayahnya, Mas Rizal.

Srak!

Suara ranting pohon tersapu angin membuat jantungku melompat.

"Mas, aku takut ..." bisikku yang kini memegang lengan Mas Rizal dengan erat.

"Tidak apa-apa Rey, tidurlah." seolah mengerti rasa takut ini, Mas Rizal tak menyuruhku untuk melepaskan genggaman.

Allah, aku benar-benar takut.

***

Semburat lelah terpampang jelas di wajah suamiku, kuperhatikan tubuhnya sedikit kurus, matanya yang dingin kini berubah menjadi mata panda.

Apa Mas Rizal memang selalu terjaga setiap malam? Buktinya, saat Raihan merengek meminta ASI tadi malam, Mas Rizal masih membuka mata.

Apa yang dia sembunyikan dariku? CCTV dan terjaga semalaman seolah menandakan ia benar-benar tengah menjagaku juga kedua buah hatinya.

Bahkan pagi ini, sebelum berangkat kerja ia mengantar aku dan sikembar ke rumah Ibu terlebih dahulu.

"Bu, titip Rey dan sikembar."

"Nginep, ya?"

"Insya Allah, Bu."

"Hati-hati di jalan, Zal."

Ada rasa was-was saat Mas Rizal berlalu meninggalkan kami yang mematung di depan gerbang usang ini.

Aku tak mungkin bercerita pada Ibu, takutnya kondisi beliau akan menurun jika mendengarkan hal yang terjadi kemarin.

Biarlah masalah ini hanya Allah dan kami berdua yang tahu.

***

"Sebentar lagi udah bisa berdiri, nih!" rona bahagia memenuhi wajah Ibu yang teduh, melihat kedua cucunya semakin berkembang dengan pesat.

"Hidungnya mereka mirip sekali ya dengan Rizal, kening dan alisnya juga, sedangkan matanya hangat seperti kamu, Dek ... bibirnya juga manis, perpaduan antara kalian berdua." ucap Ibu panjang lebar, aku hanya tersenyum tulus.

"Rizal, kemarin Andi teman kamu di kantor bilang, katanya kamu akan diangkat jadi staff? Apa betul?"

Aku ikut melirik Mas Rizal, penasaran dengan jawabannya, selama ini aku tak pernah mendengar kabar tersebut dari siapapun.

The Untouchable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang