Bab 9

3.6K 271 33
                                        

Setiap hari aku selalu rindu Ibu, hingga pagi ini Mas Rizal kembali mengantarku sebelum ia berangkat kerja, tentunya ke rumah Ibu mertua tercinta.

Aku bersyukur dalam hati, Mas Rizal akhirnya mau menyentuhku kembali, walau kekakuannya masih sedikit menempel di dalam diri.

"Rey, terima kasih." Aku tersenyum sambil memasukkan bekal ke dalam tas ranselnya yang berwarna hitam.

"Mas, ada banyak sekali pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalaku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menuangkannya. Hati-hati di jalan, ya?"

Mas Rizal mengangguk, senyum tipis terlihat menghiasi bibirnya yang manis.

"Ayah berangkat dulu, ya?" Mas Rizal mengecup kening Rahman yang berada di troli bayi, menyusul adiknya yang berada di pangkuanku.

"Bener gak mau ketemu Ibu dulu?" tanyaku memastikan.

"Sudah siang,"

Aku menurut saja, kemudian menyalaminya seperti biasa di depan gerbang usang yang kucintai ini.

"Mas!" Aku menahannya untuk pergi.

"Ya?" Mas Rizal memutar tubuh.

"Hmmm," Aku memberi isyarat dengan manja.

Ia tersenyum, lalu mengacak-acak rambutku yang tertutup kerudung.

Hal yang paling kusukai adalah ketika Mas Rizal mengusap-usap kepalaku dengan sayang.

Terima kasih ya Allah, sudah mengembalikan ia seperti biasa.

***

"Cup ... cup ... cup ... " Rahman sangat rewel hari ini, suhu badannya juga terasa menghangat.

"Apa sebaiknya kita bawa ke dokter saja, Rey? Tidak biasanya Rahman begitu,"

Drrrt...

"Hallo?" Ibu menempelkan ponsel yang berdering di samping telinganya.

Tak terdengar jelas siapa yang berbicara di seberang sana, namun ekspresi wajah Ibu membuatku penasaran.

Wajah teduh Ibu terlihat penuh kekhawatiran, "Bu?"

"Rey, cepatlah ke kantor Rizal! Sekarang!" kata Ibu panik setelah berhasil mematikan sesi telpon.

"Kantor? Untuk apa?"

"Cepatlah! Bawa KTPmu sebagai akses masuk ke dalam gedung! Cepat, Rey! Rahman dan Raihan biar Ibu yang jaga!"

"I-iya, Bu." jawabku segera menurut, wajah Ibu yang terlihat panik membuatku berlari begitu saja tanpa mempertanyakan alasannya terlebih dahulu.

Terlalu lama jika aku harus memesan kendaraan berbasis online, dengan panik pula aku mencari kendaraan yang bisa segera aku tumpangi.

Setelah berhasil meminta bantuan kepada tukang ojeg di pangkalan, kamipun melesat menuju alamat gedung yang kuberikan melalui ucapan.

Lampu merah membuatku semakin kesal, jantungku berdebar tak menentu ketika teringat kembali raut wajah Ibu.

Ceklis.

Mas Rizal tidak dapat dihubungi, jiwa lemahku datang kembali, khawatir yang berlebih membuatku meneteskan air mata lagi.

"Hati-hati, Bu!" kudengar ojeg yang baru saja kuberi lembaran uang itu berteriak.

"Pak ... " aku kembali lagi bertemu dengan security di depan gedung.

"Ibu istrinya Mas Rizal? Ayo, segeralah masuk!" perasaanku semakin tak karuan, beruntungnya security itu selalu dijadwalkan menjaga di depan saat kami harus kembali bertemu.

The Untouchable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang