Sudah pukul lima sore, Rey baru menginjakan kaki dirumah megahnya.
Di dalam sudah ada Fery yang menunggu dengan tatapan seakan ingin membunuh. Di sebelahnya ada Maurin yang terlihat cemas, entah sedang mencemaskan apa.
"Dari mana saja kamu? Bagus ya bolos sekolah. Jadi ini kebiasaan kamu kalau saya tidak ada dirumah!" Rey enggan untuk menatap mata Fery. Fery terlihat sangat marah.
"Apa alasan kamu bolos? Sudah tidak mau sekolah lagi. Iya?" Fery bertanya sembari tangannya menampar pipi halus Rey.
Rey takut rasanya ingin segera berlari ke kamar.
"Sebagai hukumannya kamu harus ikut saya!"
Fery menarik tangan yang sudah bergemetar ke arah kamar mandi.
Brak!
Dibanting tubuh Rey kedalam kamar mandi sampai kepalanya terbentur pinggiran kloset.
"Ampun Yah." Ucap Rey meminta ampun. Ia tau apa yang akan terjadi setelah ini.
"Tidak ada ampun untuk anak nakal seperti kamu ini. Lihat Deon! Dia anak penurut, anak yang baik. Tidak seperti kamu!"
Dug!
Dirga memukul Kepala Rey dengan tangan kekarnya. Rey merasa dunianya berputar, sakit yang ia rasakan ketika kepalanya mencium pinggiran kloset kini kembali merasakan sakit yang bertubi akibat pukulan sang Ayah.
Tidak sampai disitu siksaan demi siksaan Rey rasakan di sekujur tubuhnya.
Byur!
Fery mengguyur tubuh Rey dengan brutal. Sakit dan dingin semua bercampur menjadi satu.
"Mas udah. Kasihan Rey kedinginan, kita bisa omongin ini baik-baik nggak dengan cara kekerasan seperti ini."
"Diam! Kamu jangan ikut campur. Rey anak aku, dia tanggung jawab aku. Kalau dia berbuat salah, dia patut dihukum." Maurin tertohok, baru kali ini ia melihat suaminya marah besar.
"Aku tau Rey bukan anak aku. Tapi aku seorang ibu, aku tau gimana perasaan Rey."
Rey menatap wajah Ayah dan juga Ibu barunya dengan bergantian. Rey tidak suka Maurin yang menggantikan sosok Bunda-nya. Dan Rey tidak suka dengan sikap Ayah-nya yang sekarang, pemarah, suka main tangan.
"Pergi!" Satu kata keluar dari mulut Rey dengan lantang. Membuat Fery dan Maurin diam lalu menatap Rey terkejut. Bukan hanya Mereka berdua yang terkejut, Rey pun sama terkejutnya. Kenapa dirinya bisa begiti berani teriak seperti itu.
Dengan berpegangan pada wastafel, Rey coba untuk bangun. Walau sempat gagal namun Rey tetap mencobanya. Kakinya lemas tak bertenaga. Jangankan untuk bangun, untuk berjalan pun Rey rasa tidak bisa.
"Kamu berani teriak di depan saya!" Bentak Fery tidak terima. Namun Maurin mencoba menenangkan Fery.
"Udah Mas, cukup." Maurin membawa Fery yang sudah sangat marah, terlihat dari wajahnya yang merah padam. Maurin membawanya kedalam kamar agar Fery tenang dan Rey bisa pergi ke kamarnya.
Rey melangkahkan kakinya dengan tertatih seluruh badannya terasa tidak mempunyai tulang. Untuk berpijak pun rasanya sedang melayang. Seluruh badannya sakit dan juga dingin.
"Venus, tolong aku." Ucap Rey lirih, Rey menitihkan air matanya.
"Aku pengen mati aja Venus." Rey terjatuh ketika hendak menaiki anak tangga pertama. Pandangannya memburam dan terasa berputar.
"Rey!" Hanya itu yang dapat Rey dengar dan semuanya menjadi gelap. Rey tidak merasakan apapun lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Leave Me (HIATUS)
Teen FictionSeberapa berat masalahmu, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri dalam kegelapan itu.