Part 8

1.6K 186 28
                                    

Setelah dibukakan pintu oleh Pak Malik, Rey langsung berlari ke arah parkiran untuk mengambil mobilnya. Namun, sialnya lagi Rey merasa ada yang aneh dengan mobilnya. Kedua ban mobil depannya bocor.

"Ah, gimana caranya aku pulang. Jam segini gak bakal ada kendaraan umum yang lewat." ucap Rey yang tidak tau harus melakukan apa.

"Loh, Nak Rey kenapa belum pulang?" tanya Pak Malik.

"Gimana aku mau pulang, kalo ban mobil aku bocor." tunjuk Rey ke arah ban mobil yang nampak bocor itu.

"Astagfirullah, kenapa bisa? Ini mah pasti ada yang jahilin Nak Rey."

"Apa iya?" tanya Rey dalam hati.

Bisa jadi orang yang menjahili Rey itu adalah orang yang sama mengunci Rey digudang. Deon, siapa lagi kalau bukan anak itu.

"Terus Nak Rey mau pulang pake apa?" Pak Malik bertanya melihat Rey yang tengah kebingungan.

"Saya juga gak tau pak. Handphone saya mati," ucap Rey lirih.

"Gini aja, gimana kalo Nak Rey pakai sepeda saya." Rey tampak berpikir. Masalahnya sepeda yang Pak Malik tawarkan adalah sepeda tua yang sudah usang. Tapi, dari pada Rey tidak bisa pulang apa boleh buat.

"Ehm, apa boleh pak?"

"Tentu saja boleh, sebentar saya ambil sepedanya dulu." ucap Pak Malik lalu meninggalkan Rey di area parkir sendiri untuk mengambil Sepedanya dibelakang.

Tidak menunggu lama, Rey melihat Pak Malik membawa sepedanya dengan dituntun.

"Ini Nak sepedanya, soal mobil kamu tenang aja, biar saya yang jagain." ujarnya dengan tawa yang menghias wajah penuh kerutan karena sudah menua.

"Apa gak papa saya pinjam sepeda bapak? Saya gak enak pa,"

"Ya gak papa. Udah cepat, kemaleman nanti kalo terus ngobrol sama bapak," ucap Pak Malik terkekeh.

"Makasih ya pak, saya gak tau lagi harus gimana kalo gak ada bapak."

"Iya, sama-sama. Sebaiknya kasus ini segera dibicarakan kepada kepala sekolah, supaya yang menjahili kamu ini mendapat hukuman."

"Iya pak, makasih sekali lagi. Saya pulang dulu, assalamualaikum." Rey mengkayuh sepeda tua itu keluar.

***

Rey baru saja sampai dirumahnya sambil menuntun sepeda tua milik Pak Malik, Rey membuang nafas lelah. Tubuhnya yang sudah kucel ditambah dengan wajah yang memucat karena lapar dan juga pusing.

"Loh, Den Rey kok baru pulang? dari tadi Bapak menunggu Den Rey di dalam. Sebenarnya Den Rey habis dari mana? Sepertinya Bapak marah Den," kata Pak Bagas, supir dirumahnya. Rey hanya menganggukan kepala lalu memilih pergi meninggalkan Pak Bagas.

Rey sudah tau apa yang akan Fery lakukan setelah ini. Ia pasti akan marah besar, apalagi Rey tidak diperbolehkan keluar sampai larut malam jika tanpa seijin Fery.

Dengan langkah tertatihnya, Rey membuka pintu utama yang bercat putih. Di dalam nampaklah Fery yang sedang berdiri menggulung tangan di depan dada.

"Habis dari mana kamu, jam segini baru pulang. Habis main iya?!" teriakan Fery  menggema, sampai membuat Rey ketakutan.

"Ma-maaf..." gumam Rey lirih.

"Bolos les, pulang telat. Apasih yang harus saya banggain dari kamu? Lihat Deon! Dia anak baik, selalu menurut apa kata Ayah, dan dia juga anak yang baik." Rey menatap ujung sepatunya, giginya mengeretak menahan amarah, bisa-bisanya anak nakal itu diperlakukan baik di depannya, sedangkan ia tidak. Ayahnya kini bukan Ayahnya, orang yang ada dihadapannya kini hanyalah Ayah Deon.

"Ma-maaf" bibir  Rey bergetar ketika mengucapkan kata maaf.

"Apa kamu bilang! Maaf? Tidak ada kata maaf untuk orang yang berani melanggar aturan saya! Sekarang juga sebagai hukumannya, kamu harus ikut saya." di tariknya lengan kurus Rey, Rey berusaha memberontak. Ia tau apa yang akan terjadi, jangan lagi. Ia tidak mau dikurung lagi, sungguh tidak nyaman berada di tempat gelap itu.

"Ayah, aku mohon jangan." ucapan Rey sama sekali tidak di gubris. Aneh, ayahnya tidak membawa dirinya ke gudang seperti biasa, melainkan ke kamarnya. Rey mengernyitkan dahinya, sebenarnya apa yang akan Ayahnya lakukan.

"Masuk!" Fery mendorong Rey sampai kepalanya terhantuk pinggiran ranjang.

"Kali ini saya mungkin sedang berbaik hati sama kamu. Tapi nanti kalau kamu berani melanggar lagi, kamu pasti tau apa yang akan terjadi setelahnya." Rey tetap menunduk, tidak berani menatap wajah Fery yang sedang marah.

Fery berbalik badan untuk meninggalkan kamar anaknya.

"Oh iya satu lagi. Mulai sekarang kamu tidak boleh membawa mobil, pulang sekolah langsung les, dan kemana-mana harus di antar oleh Pak Bagas." Fery menutup pintu kamar Rey dengan begitu keras, sampai poster di balik pintu Rey copot.

Setelah Fery keluar dari kamarnya, Rey menyenderkan punggungnya yang lelah di ujung ranjang, tangannya memeluk kakinya yang ia tekuk. Tidak ada niatan untuk membersihkan diri atau sekedar mengganti bajunya yang kotor, ia malah menangis. Kali ini hidupnya akan menjadi seperti burung yang terkurung.

Pintu kamar yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka dengan hentakan yang keras, Rey miris melihat pintunya yang selalu di buka dan di tutup dengan kasar. Rey kira Ayahnya kembali, namun ternyata bukan. Orang yang tidak ingin ia lihat sekarang ini malah datang ke kamarnya.

"Gimana? Lo suka kan Gue tinggal di gudang? Enak loh di sana, banyak temen Lo yang pada lucu." Ucap Deon dengan sambil tertawa.

Rey bangkit dari duduknya dan langsung menarik kerah baju Deon, sampai siempunya merasa sesak.

"Apa yang Lo mau dari Gue, bangsat!" ucap Rey dengan giginya yang bergemelutuk menahan emosi yang sudah di ujung tanduk.

"Lo tanya mau Gue apa?" Deon berdecih meremehkan sosok yang ada di hadapannya saat ini.

"Mau Gue, banyak. Salah satunya, Lihat Lo menderita." Tarikan Rey sedikit mengendur akibat perkataan Deon barusan. Melihat Rey yang sedang lengah, Deon menghentakan tangan Rey.

"Gue benci liat Lo bahagia, dari dulu Gue gak pernah ngerasain punya Ayah. Dan sekarang Gue seneng akhirnya keinginan Gue terwujud, tapi sialnya Gue harus punya adik kayak Lo! Dan Gue juga gak suka liat Lo deket sama Venus, Gue suka sama dia." Ucap Deon. Rey menatap nyalang wajah Deon yang menurutnya menyebalkan.

"Gue gak akan pernah biarin Venus deket sama Lo! Emangnya Gue sudi jadi adek Lo. Gak! Gue gak pernah sudi." Rey mendorong kasar pundak Deon sampai Deon terjungkal kebelakang. Dan sialnya saat mendorong Deon, Fery melihat semuanya.

"Rey. Apa-apaan kamu ini! Apa maksud kamu mendorong kakak kamu?!" Fery menatap Rey marah. Rey gelagapan, dia ingin berbicara yang sebenarnya, namun tiba-tiba mulutnya serasa terkunci tidak bisa berbicara.

"Jawab Ayah! Berani kamu berlaku kasar sama kakak kamu. Iya?!" Fery mengguncang-guncangkan pundak Rey yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa.

"Arghhh... Diam! Pergi... Aku tidak suka kalian. Pergi!!" Tiba-tiba Rey berteriak dan kedua tangannya menutup kedua telinganya sambil berjalan mundur menghindari Fery dan Deon yang diam mematung.

"Pergi!!" Rey meraung ketakutan, meminta semua yang ada di kamarnya keluar. Maurin dan Bi Retno yang sedang berada di bawah langsung bergegas ke atas karena mendengar keributan.

***

Eh kenapa Rey kok teriak gitu

Hah apa Rey?

Oh, katanya para readers suruh vote sama coment guys.

Vote & coment

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Don't Leave Me (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang