Rutinitas bangunku di pagi hari umumnya tidak begini. Segar, nyaman, dan semauku. Begitu keliru, tetapi menyenangkan.
Jika bertanya biasanya aku seperti apa, aku akan sedikit memberi gambaran. Di kedipan pertama, pintu digedor kesetanan. Di kedipan kedua, pintu didobrak. Di kedipan ketiga, besi gagang sapu menghantam tubuhku sampai tidak sadar lagi sudah berapa banyak kedipan berlalu bersama untaian kasar dari dua mulut itu keluarkan.
Rutinitas bangunku di pagi hari umumnya sakit, sakit dan hanya sakit. Aku terbiasa, tapi benci sakitnya.
Sehabis menyibak tirai, mataku lekas disusupi jutaan cahaya lembut khas pagi hari. Tidurku tak pernah senyenyak ini. Jangankan nyenyak, tenang pun tidak. Bayang dan bermacam gema ribut di luar kamarku kerap mengusik. Tidak cukup bertengkar berdua, mereka ikut menyeretku ke lingkarannya. Sungguh, aku tak mengerti. Jika hendak saling membunuh, maka matilah detik itu juga. Bukan malah mencari pelampiasan.
Aneh.
Menyudahi pandanganku pada lingkungan tempat tinggal Hoseok yang tidak jauh beda dengan rumahku-kecuali suasana hangatnya-aku berjingkat keluar dari kamar bernuansa kelabu. Semalam aku telah menyusuri apartemen Hoseok, oleh karenanya, untuk pemandangan dinding di luar kamar Hoseok, aku tidak kaget lagi.
"Oh, Miyoo. Sudah bangun? Bagaimana tidurmu?"
Sosok Hoseok menyembul di balik pintu masuk apartemen dengan dua kantong putih berukuran besar di depan kaki. Selagi Hoseok mengganti alas, aku mengucap salam, "Selamat pagi."
"Itu dia." Seraya tersenyum puas, telunjuk Hoseok teracung padaku. "Mengucapkan Salam kepada Jung Hoseok adalah alasan ketigamu. Bagus, Miyoo."
Aku tidak tahu mesti menampilkan air muka apa. Alasan yang Hoseok berikan terdengar sepele, bukan? Bahkan semalam, Hoseok mengultimatum dua alasan yang setara; Memakan Makanan Buatan Jung Hoseok dan Berterima Kasih kepada Jung Hoseok. Ketiganya terindikasi aneh dan sangat gampang. Namun, hingga detik ini, belum tertanam di sanubariku alasan-alasan itu. Korelasi dan fungsinya sedikitpun belum bisa kurcerna.
Ya, mungkin belum.
Mati tetap dijunjung tinggi oleh keinginanku. Akan tetapi, aku berterima kasih padanya sebab telah repot-repot untukku. Ingat, aku dan Hoseok sejatinya orang asing.
Aku menghampiri Hoseok, bermaksud meraih salah satu belajaan. "Biar kubantu."
"Tidak usah, Miyoo. Membawa barang berat ialah tugas laki-laki," Hoseok menolak. Ia menyeringai jenaka. "Agaknya dalam sehari kamu akan mendapat banyak alasan. Pergilah, bersihkan dirimu. Setelah itu, kita obati lukamu." Dia berjalan melewatiku kemudian menengok seketika. "Ah, astaga. Aku lupa membelikanmu pakaian. Bisa gunakan punyaku dulu?"
Kupandangi hilangnya punggung Hoseok dengan terburu-buru. Jika dia mau tahu, tidak berganti baju pun tidak masalah. Aku akan nyaman-nyaman saja memakai pakaian sama sehari-harinya. Namun, tinggal di tempat orang yang begitu cinta kebersihan semacam Hoseok, aku mesti tahu diri. Memang aku tidak minta ditampung olehnya, tapi seperti yang kubilang, aku harus memberi sikap setara atas Hoseok yang repot-repot untukku.
Segera kuturuti arahan Hoseok membersihkan diri. Di tempat ini hanya memiliki satu kamar mandi dan letaknya di dekat dapur. Hoseok ada di sana dengan celemek cokelat tua tergantung di leher, seakan siap bertempur bersama bahan pangan beliannya. Aku belum bisa membantu Hoseok, karena ia selalu menolak. Mengatakan kepadaku agar mengikuti omongannya. Mau tidak mau, aku mengangguk setuju.
Kugiatan dalam mandiku tidak banyak hanya bersampo, menyikat tubuh dan gigi. Khusus gigi, Hoseok sempat memberi tahu ada sikat gigi baru di belakang cermin petak kamar mandi. Dan untuk menyikat tubuh, aku curiga sarafku mati rasa, padahal sekitar lukaku sedikit tersenggol.
Menuntaskan urusan jasmani dan sudah terbalut rapi oleh pakaian Hoseok yang kebesaran dan nampak baru, aku keluar dari kamar mandi sambil memastikan rambutku tidak meneteskan air. Aku melirik ke arah dapur. Rupanya, Hoseok tidak sendiri lagi, melainkan ditemankan sesosok lain yang sudah pasti asing bagiku.
"Kemari, Miyoo." Hoseok menginstruksiku mendekat lalu duduk di salah satu kursi tepat di depan orang itu. Kelima jari Hoseok mengarah padanya. "Dia karibku, Namjoon."
"Perkenalkan, aku Kim Namjoon," ucap Namjoon seraya melintakan tangannya guna berjabat.
Mungkin tidak baik memiliki kebiasaan menilai rupa seseorang. Namun, Namjoon punya bentuk wajah yang kecil, dengan mata bergaris datar juga tajam, bibir juga alis tebal, hidung bangir, dan punya lesung pipit dalam di kedua pipinya. Secara keseluruhan, Namjoon memiliki kesan bahwa dia orang jenius atau mungkin, memang demikian. Segera kusambut uluran itu. "Song Miyoo," balasku singkat. Jabatan kami terlepas.
"Dia yang mengobati lukamu," celetuk Hoseok, mengambil tempat duduk di sebelahku.
Cepat-cepat aku bangkit, menunduk seraya mengucap terima kasih. Kendati hanya formalitas, mustahil aku bilang, "Kenapa aku diobati, biarkan saja infeksi dan menimbulkan penyakit lain. Aku ingin mati!" sambil menyerang Namjoon membabi buta.
Gila, ya.
"Senang berkenalan denganmu, Miyoo. Maaf atas kegilaan Hoseok yang bahkan aku pun tak paham. Tapi begitu-begitu, aslinya dia anak baik," untai Namjoon santai seolah dia tidak heran mengapa Hoseok bisa memboyong gadis tidak di kenal ke huniannya. Namun, bisa jadi Hoseok telah bercerita. Tentu, tidak masalah.
Tanpa Namjoon tanamkan pandangan juga semua tahu, Jung Hoseok orang baik.
Di lain pihak, Hoseok tertawa enteng menganggap ucapan Namjoon lelucon pembuka hari. Mereka mulai berbincang macam-macam hal, dan tak luput mengajakku ikut bicara. Kadang mereka tertawa, serius, kemudian tertawa lagi. Dulu aku pernah bermimpi, terlibat dalam percakapan tanpa hinaan serta kesakitan. Sekarang terjadi, hangat sekali rasanya.
"Ah, Miyoo." Hoseok mencondongkan badan sehingga menghimpitku. Aku tidak bergerak, hanya diam di tempat sambil mendengar kelanjutannya. "Tolong tambahkan Berinteraksi dengan Orang Terdekat Jung Hoseok di urutan keempat jurnal alasanmu."[*]
Ada sedikit perubahan panggilan di chapter sebelumnya, karena terlalu unyu untuk diabaikan /apaansihnjir/ Bagi yang ga ngerasa juga bagus deh. H-7 nihhh :v (dan masih stagnan).
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons for Life
Fanfiction[COMPLETED] Aku berdiri untuk meluncuti kehidupan, tetapi Jung Hoseok datang bersama dua penawaran; melompat atau ditembak. Dan ketika aku memilih, tepat saat itulah semua dimulai. "Tapi mari kuberi pilihan. Melompat ke bawah sana atau ... tertembak...