08: Back

1.5K 280 21
                                    

Memacu kecepatan langkah seperti kesetanan itu bukan hal bagus. Yang dipoleh hanyalah kelelahan, kesesakan, ketakukan dan segala tetek bengek kerugian lain. Namun, jika aku waras, aku akan sangat mempedulikannya. Sekarang aku tidak, dan kapan aku pernah merasa di keadaan sangat waras?

Aku tak berani merotasi kepalaku ke arah mana pun, apalagi ke belakang. Aku takut kembali terperangkap kalau aku membengal. Sialan. Aku tidak mau. Sungguh, aku sangat-sangat menyesali keputusanku yang dengan pongahnya mengajukan diri agar membeli kecap dan beberapa bahan makanan instan di toserba dekat area apartemen tanpa ditemani.

Akan tetapi, yang terjadi, aku malah ketakutkan setengah mati ketika kakiku baru menginjak bibir toko hanya karena retinaku tak sengaja menangkap atensi yang begitu akrab sepanjang hidupku. Jarak aku dan wanita itu enam langkah besar, maka dari itu mudah baginya melumatiku lewat tatapan sendu yang terlampau menjijikkan. Membikin persendianku dan jiwaku melemah.

Sialan. Mengapa harus sekarang?

Tidak berhenti kumengutuk kecerobohan dan nasib sialku usai berhasil menarik diri secepat mungkin sebelum dia sempat mencetuskan percakapan lebih jauh. Kepalaku nyaris meledak seiring reka ulang memori pahit menyeruak kompak dalam sekali gerakan. Seraya mengumpati kenapa jarak kembaliku ke apartemen malah lebih terasa lama daripada kala aku berangkat, kuseka air mata yang lolos dengan kasar.

Aku harus segera mendapatkan catatan kecilku yang tertinggal di atas nakas. Aku harus segera membaca ulang seluruh alasan-alasan hidupku, karena emosi takut merapas ingatan suka citaku. Aku harus segera bertemu Hoseok. Harus. Aku membutuhkan dia, semuanya, alasanku. Sebelum aku berputar jalur lantaran termakan rayuan hitam yang setia bersemayam di jiwaku.

Tiba di area apartemen lalu terus melaju hingga melalui bibir lift tidak memberiku secercah ketenangan. Tanganku enggan menang dari gemetar tatkala menekan tombol berangka yang mengantarkanku lokasi persisnya apartemen. Pintu lift bergesit menutup, sedangkan aku mundur ke salah satu sudut lalu mengambil posisi meringkuk memeluk lutut.

Hoseok. Hoseok. Hoseok.

Aku hanya mampu mencetus nama Hoseok salayaknya kaset rusak akibat serbuan ingatan kelewat sialan yang kian menambah robekan pada lukaku. Tentang Ibu dan laki-laki bajingan kepunyaannya, serta anak perempuan yang dititah tunduk oleh keadaan. Kepalaku bertambah menelusuk saat potongan memori yang paling berkontribusi menyakitiku terlintas. Aku bahkan meremat kuat sisi tangan sampai kuku-kukuku menembus lapisan kulit.

Perih di kesepuluh tusukan kuku bukan apa-apa, malah esensinya tidak terecap sama sekali. Stimulus itu absolut kalah jika dipadankan dengan sakit yang mendera relung dan sukmaku. Leksikal mati menguasai kepala, sementara Hoseok memdominasi bibir. Mereka beradu argumen, dan aku yakin pantulan refleksiku di sekujur dinding lift sedang menertawa itu mati-matian.

Aku tidak suka, aku benci ini. Benci sebab begitu terperdaya oleh kegamanganku, padahal Hoseok sudah repot-repot mendedikasikan waktunya yang sibuk guna menyelamatkanku, repot untukku, dan merangkai berpuluh alasan hanya buatku. Persis kala laju lift terhenti lalu membukakan pintu, aku berdiri dalam sekali sentak.

"Hoseok!"

"Oh, Miyoo! Baru saja aku hendak menyusu—"

Ucapan Hoseok terputus oleh aku yang lekas berlari ke hadapan kemudian menyengkram sisi kardigan oranye kesayangannya erat-erat. Aku berupaya meraup oksigen sebisa mungkin demi menyuarakan untaian-untaian yang sudah di ujung lidah. "Di-dia ... aku bertemu dengannya, Hoseok! Aku bertemu dengan dia!" Nada bicaraku melengking kalut.

Tangan bebas Hoseok lantas menarikku keluar teritori lift lalu mengenggam pundakku lembut seiras sorot matanya. "Tenang, Miyoo. Bernapaslah dengan santai, baru katakan perlahan," bujuk Hoseok kentara selektif. Aku menirui apa yang Hoseok instruksikan. Menarik napas dan mengembus santai, berulang-ulang sampai dirasa paru-paruku bebas dari cekikan. Hoseok mengangguk satu kali. "Nah, sekarang bilang, dia yang kamu maksud itu siapa?"

"Dia—" Aku menelan saliva penuh paksa disusuli mengirup napas panjang. Kepala Hoseok menjengit, pandangannya seolah mendorong kalimat; lanjutkan, tidak apa, ada aku. "—Ibu. Aku bertemu Ibu. Dia menemukanku." Pasokan kata di ujung lidah bertabur duri itu lolos. Aku menjatuhkan pandangan dan memejam paksa. "Hoseok ... bagaimana ini?"

Alih-alih meladeni, Hoseok meliputi sebelah tanganku dengan genggaman. Hoseok menuntunku supaya menciptakan langkah sama halnya dia. Menuntunku melewati jalur untuk masuk ke unit miliknya. "Duduklah," suruh Hoseok saat kami berhenti di sebelah sofa. Dalam gerakan lambat, aku beringsut patuh dan waktu bersamaan penggangan Hoseok terlepas. "Tunggu di sini."

Tatkala Hoseok berbalik guna melesak sampai hilang punggungnya, dua tanganku atas pangkuan kukepalkan kuat-kuat. Jejak penenang Hoseok habis begitu cepat, jika entitasnya tidak ada.  Namun, tidak boleh. Aku tak boleh paranoid lagi. Jadi, sebisa mungkin aku menekan emosi jelek ini dalam-dalam dengan menanamkan keyakinan, bahwa aku telah berada di tempat yang aman.

Dia tidak akan menyusulmu. Kamu sudah ada di sini. Ini rumah Hoseok. Tempatmu mengukir banyak alasan, sehingga kamu mulai mencicipi kebahagiaan.

Keyakinan itu beranjak efisien, kepalan mengendur dan napasku sudah lebih normal. Atensiku yang mendongak lantas mempotreti kedatangan Hoseok bersama segelas air di tangan. "Minum dulu," katanya. Segera kuraih gelas tersebut lalu meminumnya. Hoseok yang bersimpuh di depanku menyematkan senyum. "Sudah baikan?"

"Hm, ya. Terima kasih."

"Mau menceritakan kronologisnya? Ah, tidak juga tak masalah. Jangan dipaksakan."

Dengan sigap, aku menggeleng tegas. Kendati tidak integral, Hoseok sudah tahu segelintir problema kehidupanku. Dia tahu aku memiliki ayah tiri yang gila dan ibu demikian serasinya. Bagaimana ada seorang ibu yang apatis saja tatkala anaknya telah mengadu betapa sinting sosok yang kerap dipanggili Ayah. Padahal, bukti konkretnya telah kujinjing tinggi-tinggi, tetapi Ibu masih menampik lantaran dibutakan oleh amor menjijikkan mereka. Alih-alih membela, Ibu malah menuding. Semakin menambah daftar kelam ketakutanku.

"Aku akan cerita," pungkasanku tersebut lantas membawa bibirku mencetuskan susunan kalimat sesuai runtutan kejadian yang menjadi titik terlemahku beberapa jam lepas. Diawali pertemuan tak sengaja antar dua atensi dan ditutup langkah kesetanan setelah menyerapi arah obrolan serta pandangan sendu Ibu yang sama sekali bukan karakternya.

Potongan kejadian sebenarnya tidak sepanjang itu, tetapi gelegak emosiku menyelingi inti pembicaraan. Namun, Hoseok telaten menyiapkan teliga buat menampung juntaian keluh-kesahku, dan menimpal tatapan di konteks pengertian hingga usai.

"Miyoo." Intonsasi Hoseok yang melesak rendah dan berat begini menyentil ulu. Mencuatkan prasangka tak mengenakan. "Ingin bertemu dengannya?"

Kontan aku terpejam getir. Sial. Kenapa harus benar. Kupikir dia yang paling pengertian. "Kamu mau aku mati?" lirihku sambil memandangnya penuh ironi.

"Tidak. Justru sebaliknya," Hoseok menyanggah. "Aku ingin kamu menemui Ibumu setidaknya supaya kamu paham maksud sebenarnya dari pertemuan kalian serta perkataan Ibumu. Menurutku, kamu dan Ibumu sudah mesti membincangkan hal ini."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Hoseok. Ibu sendiri yang menyudutkanku memutuskan benang merah kami, maka aku melakukannya."

"Banyak yang harus kalian bahas, Miyoo. Banyak. Kamu bilang, Ibu mencarimu bersama air muka khawatir dan sorot sendu yang kamu anggap mengerikan karena tak pernah sekalipun dia tunjukan padamu, bukan? Berawal dari sana saja, harusnya kamu sadar kemungkinan dinamika Ibumu mengarah ke mana." Hoseok mengambil napas pendek. Aku menyaksikan perubahan emosi di galaksi kembarnya yang di waktu bersamaan nampak sedikit redup. "Kamu ingat alasan nomor tiga puluh tujuh? Sekarang kutambahkan nomor sembilan puluh empat, Memperbaiki Relasi yang Rusak dengan Orang Terdekat untuk Jung Hoseok. Maaf, Miyoo. Di sini aku memang mutlak memaksamu. Namun, sebagai kompensasi, aku akan menemanimu menemuinya."[*]

H-2 💜

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang