04: Them

1.9K 359 33
                                    

Ini bayaran lain atas alasan nomor empat Song Miyoo untuk hidup dari Jung Hoseok.

Berkunjung ke studio tempat di mana Hoseok berkumpul dengan enam karibnya termasuk Kim Namjoon, setelah melakukan sesi perkenalan dan terima kasih pada seorang nenek di unit atas apartemen yang kata Hoseok, Nenek Shinlah membantunya mengganti pakaianku ketika itu.

Aku hampir menyembur tawa. Bukan. Ternyata bukan Hoseok, tapi Nenek Shin. Saat itu, aku dapat menangkap sirat khawatir Nenek yang berlebihan saat memandangiku, sehingga aku berterima kasih kembali pada Nenek untuk alasan baru pertama aku dikhawatirkan sebegitunya.

Sisihkan soal Nenek Shin dan kesalahpahaman mengganti pakaian, karena Hoseok juga sudah membelikan aku beberapa potong. Sebetulnya aku merasa tidak enak hati, tetapi nanti kupikirkan lagi cara membalas repotnya Hoseok ketika otak dan jiwaku sudah mulai waras. Sebab, sungguh, sepuluh alasan yang Hoseok berikan belum memberikan dampak begitu signifikan, kecuali nomor empat ini.

Kalau tidak salah kira, gedung studio berjarak sepuluh menit ditempuh dengan motor Hoseok. Tiga blok dari perempatan dan didempet oleh satu gedung bertajuk kafe. Studio apa ini, aku juga tidak tahu. Mungkin musik, tari, atau sekadar nongkrong-nongkrong sambil mengobrol sampai mulut kering, entahlah. Aku menunggu Hoseok menyelesaikan parkiran motornya di samping pintu masuk.

"Nanti santai saja, ya. Jangan terkejut," ujar Hoseok, ia tersenyum sekilas. "Ayo masuk."

Aku menangguk, lantas mengekori Hoseok memasuki gedung studio. Baru di pintu, Hoseok menerima beragam bentuk sapaaan, seperti hei, pelukan sampai ke pukulan. Aku enggan heran, percuma Hoseok memang begitu. Menebar kecerahan sehingga menjadikan ia faset terpenting di golongan mana pun.

Tadi adalah tangga terakhir di lantai dua. Hoseok dan aku masuk di ruangan sayap kanan, dan di situlah berbagai presensi melesak di retinaku. Mereka bertukar sapa, bahkan tiga di antaranya melompat ke pelukan Hoseok membuat mereka tumbang bersama. Kendati demikian, mereka tetap menggelakkan tawa.

"Wah, siapa ini yang datang?"

"Gadisnya Kak Hoseok?"

"Yang diceritakan Kak Namjoon, Kak Miyoo? Wah!"

Semua terjadi begitu cepat, tiga anak itu mengerumuniku. Menghujani pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kuhitung jumlah dan kukendalikan. Aku memicing persis ke Hoseok, ia tak mencoba melerai justru tersenyum sambil mengangguk. Ah, jadi ini maksud teguran Hoseok. Makhluk-makhluk kelewat cerah, Hoseokkah pendoktrinnya?

"Kak Miyoo, tolong jadilah Kakak-ku!"

"Tidak, Kook. Dia Kakak-ku!"

"Sudah, sudah, Taehyung, Jungkook. Kak Miyoo adalah Kakak kita bertiga. Adil, 'kan?"

Aku berusaha bernapas tenang di tengah perseteruan mereka yang enggan surut, walaupun si merah muda berpipi gempal itu menengahi. Kaki sialanku lantas gemetar. Aneh betul, ketika dia sanggup berdiri kokoh di pembatas gedung menjulang, tetapi lembek di depan orang-orang ceria tersebut.

"Hei, hei. Bukan memberi salam, malah ribut-ribut. Ada apa, Jimin, Taehyung, Jungkook?"

Sesosok lain stagnan di sebelahku menegur, tetapi tidak menaruh efek besar. Mereka masih berdebat yang topiknya tidak lagi berkaitan denganku. Menyadari koar mulutnya tidak berguna, sosok itu mendengus lalu tersenyum masam. Dia menoleh padaku. "Terserahlah. Nanti diam sendiri."

Berbarengan resonasi pintu terbuka, ketiga mulut tersebut kontan bungkam lalu dengan gesit, mendudukkan diri ke sofa. Wajah mereka kalem, seakan mengencangkan urat leher tadi tidak pernah terjadi. "Benar, 'kan?" bisikan tersua di sebelahku.

Kuseret pandanganku menuju Hoseok, astaga, dia terkekeh geli sekali. Iris Hoseok terpatok lurus mataku. Dia membikin pola tambah dari jarinya kemudian telunjuk itu melayang ke tiga bocah tadi lalu berakhir kepadaku disertai kerlingan. Kendati sukar, aku paham. Aku dititahkan agar mengukir nama mereka di daftar alasan hidupku. Tenang dan Menenangkan Tiga Bocah Teman Jung Hoseok, kiranya begitu.

"Kudengar ada keributan. Kenapa Kak Seokjin—oh, selamat datang kembali, Hobi." Warna suara rendah dan dingin melesak ke gendang telingaku. Aku tidak merotasi kepala, sebab si pemiliknya sudah melewatiku guna meraih pelukan Hoseok. Tadi aku dengar Hobi, mungkin panggilan akrab buat Hoseok.

Aku refleks menegang selepas presensi si berkulit mengkilap apabila diterpa sinar melempari atensi datarnya yang tertancap tajam. "Song Miyoo, benar?"

Aku mengangguk tiga kali. Sedikit tidak adil, mereka tahu aku, sedang aku tidak.

Yang selanjutnya terjadi di luar dugaan, sosok itu tersenyum kaku, tapi terukir tanpa paksa, di artian, tulus. Aku mendadak kikuk.

"Tambahkan lagi," Hoseok menginterupsi, intonasinya terdengar penuh ketertarikan. Dia menyenggol sisi tanganku pelan. "Nomor dua belas, Mendapat Senyum Langka Min Yoongi Karibnya Jung Hoseok."[*]

H-6, yorobun c:

p.s: iya, alasannya memang sesederhana itu.

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang