Aku mengerjap lambat pada langit-langit kamar abu-abu Jung Hoseok. Meremas selimut senada lalu menyeka cairan sialan melesat keluar di ujung mataku. Hunian hangat dan ceria ini kelewat senyap, dibawa pergi oleh pemiliknya.
Hoseok menghilang tepat setelah dia melepasku untuk pulang ke pelukan Ibu.
Ketika kudengar kabar ini dari Haeyoung, aku melesat secepat mungkin menuju The Truth Untold dan Bulletproof demi menagih validasi. Seperti amat didukung untuk memperkilat aktivasi keterguncangan, aku mendapati Namjoon yang tergesah hendak memasuki Bulletproof. Lekas kuserukan namanya kemudian saling menyinggungi atensi.
"Namjoon. Hoseok, Hoseok. Katakan kabar itu tidak benar! Katakan Hoseok menghilang itu tidak benar," sergahku berlingkup getir sekaligus menaruh segenggam harapan kekeliruannya.
Namun, kepala Namjoon yang berjengit sebentar bersama air muka kentara mempertegas keadaan itu langsung membanting realitas. "Ini kedua kali dia menghilang. Benar-benar menghilang." Namjoon mengambil napas pendek. Dia tak seperti biasanya Namjoon yang kalem dan serba dewasa. "Kamu ingat hari di mana awal perjumpaan kita? Itulah yang pertama. Di saat kami ketar-ketir akan kelenyapan presensinya, dia kembali dengan membawa seseorang yang ia lukai dengan senjatanya. Ketika itu kami, aku, masih bersyukur, setidaknya bukan dia sendiri. Akan tetapi, bagaimana untuk kali ini? Jujur saja aku kalut kalau-kalau dia kembali hanya berupa nama dan abu di sebuah guci."
"Itu, itu tidak mungkin."
"Aku harap otak sialanku juga berpikiran demikian, Miyoo. Namun, Hoseok, makhluk super baik yang lebih pentingkan menyelamatkan orang lain ketimbang dirinya sendiri itu sedang sakit, Miyoo. Bukan hanya kamu ataupun kami berenam. Dia sudah tertekan karena ditinggal Ibunya di sebuah taman bermain persis ia berusia sepuluh tahun, dan terbunuh Ayahnya di tengah menjalani misi adalah cambuk yang semakin menambah keterpurukannya."
Ketika itu, aku gesit membantah pasal terbunuh dengan mengatakan, bahwasanya Hoseok bilang Ayahnya hanya dimutasi, bukan terbunuh. Niatku berdebat demikian adalah guna meyakinkan diri, tetapi faktanya aku justru terdekap erat atas skeptisme. Dan ungkapan lanjut Namjoon jelas-jelas memberi keakuratan gelegak yang menderaku itu;
"Ya, hanya mutasi. Tapi di waktu yang sama, dia juga kehilangan sosok Ayah, untuk selamanya."
Begitu.
Namjoon menjeda waktu sibuknya dengan mengungkap fakta yang tak sedikitpun kuketahui dari seorang Jung Hoseok.
Kututup rapat-rapat kelopak mataku, berupaya menghalau derasnya air mengalir melintasi pelipis. Astaga, mengapa aku selalu berpikir Hoseok memiliki kisah bagus tanpa celah sehingga mampu membuat cicitan iri pada siapa pun menyaksikan? Padahal nyatanya, dia hanya makhluk yang pandai bersembunyi di balik lengkungan bibir. Kehangatan Hoseok paripurna, bahkan mampu menutupi sesungguhnya dialah yang paling membutuhkan uluran tangan. Tanpa mementingkan diri dan berpikir dua kali, ia rela memberikan obat penyembuhnya kepada orang lain.
Namjoon, Seokjin, Yoongi, Jimin, Taehyung, dan Jungkook. Mereka adalah orang-orang yang berhasil Hoseok giring dari kegelapan. Tidak terkecuali aku dan mungkin di luar sana yang tidak kuketahui. Kami bebas lewat tarikannya, tapi berupa harga ganti dia stagnan di sana. Begelut bersama keseluruhan dirinya atas finalisasi hendak ke arah mana langkahnya berakhir.
Kisah sungguhan dari Jung Hoseok sama sekali tidak semanis simpul berlensung pipit kecil di sudut bibir. Di sepanjang untaian demi untaian Namjoon, aku merasakan cekikan yang sungguh bukan berkadar candaan. Hoseok yang ditelantarkan Ibu dan ditinggalkan Ayahnya, Hoseok yang memompa gelora hidup agar tidak redup melalui kerja keras, Hoseok yang selalu mengumbar senyuman hangat tanpa mengentarakan tafsiran di baliknya, Hoseok yang acap kali mendahului kepentingan orang lain ketimbang pribadi, Hoseok yang sejatinya rapuh serta gampang hancur hanya dengan sedikit menempelkan pori-pori ujung jari, dan Hoseok yang nyaris menemui mati.
Akhirnya aku sadar sikap orang-orang Bulletproof dan The Truth Untold ketika pertama menginjak di sana. Sikap suka cita lantaran Hoseok kembali sesuai prospek bukan praduga sialan, kendati tanpa ungkapan gamblang dan mengulur-ulur. Sedari awal, aku memang tak acuh dengan bekas luka di bahu kanan atasku, tetapi sama halnya Namjoon, aku turut bersyukur peluru itu ditembakkan kepadaku. Maka, tak perlu mampir ke salah satu organ intinya, sebab dia telah direpotkan untuk mengurusku.
Namun, di sudut lain, aku kalut terhadap enigma yang tanpa permisi merangkai mandiri lalu mencokol pongah di kognisiku. Cepat-cepat kutarik kembali kesadaranku akan realitas yang padahal tidak punya pembeda. Kemudian seperti orang tolol, aku menyelam lagi ke jurnal kehidupan Hoseok memalui rangkaian cipta libium Namjoon. Memang, lagi dan lagi sehingga untuk memutus, aku mesti berusaha sendiri.
Jadi, aku berkompromi bersama tulang punggung supaya menyudahi aksi cumbuan di atas kasur. Beringsut pelan ke pinggiran sampai bersebelahan nakas. Mengambil sebuah spidol merah dan benda berukuran buku berisi tanggal, hari, bulan dan tahun lalu meninggalkan jejak silang di dua angka berdampingan pada satu kotak kecil berhias gambar bintang sedang tersenyum bahagia.
"Mestinya hari ini kami juga bisa tersenyum bahagia, 'kan?" tanyaku lirih sambil mengelus pelan gambar si bintang kemudian kujebak ia dalam dekapan. Aku menunduk setelah membasahi bibir dan membutakan retina. "Ini harapan untukmu. Semoga kamu baik-baik saja, semoga kamu punya sisi yang akan mendorongmu menjauh dari kesakitan, dan semoga kamu segera kembali bersama senyum yang memiliki artian kamu benar-benar bahagia."
Semacam hadirnya Jung Hoseok di kehidupan bercorak misteri, kuharap misteri itu berbaik hati mengabulkan panjatanku. Maksudku, Song Miyoo yang seperti ini saja diberi kesempatan mengecap bahagia, lalu bagaimana Jung Hoseok yang selalu menebar kebahagiaan bagi tiap manusia sekitar merangkaplah aku, padahal jauh di lubuk terkecil, dia tengah tenggelam di telaga kelam sanubarinya?
Lebih dari siapa pun, Hoseok pantas bahagia. Dia harus bahagia. Jika tidak, terkutuklah seluruh semesta membiarkan representasi matahari kecilnya perlahan-lahan kehilangan esensi disebabkan tak sudi menjejali secuil kesuka citaan.
Aku menyibak indra penglihat dan lantas terpaku tepat di gagang laci teratas nakas. Ada suatu stimulus yang berevokasi agar aku mengintip hal tersembunyi di dalam sana. Seiring menjulur kemudian menarik tangan, aku bermonolog; "apakah ada?" tapi, ya, benda itu harus ada di sana. Dan sontak aku bernapas lega tatkala presensi benda tersebut masih tergolek lemah seperti yang lalu-lalu.
"Aku punya tempat rahasia, di mana aku menimbang segala perasaanku, untuk tetap disimpan atau dibuang. Nanti kuajak kamu ke sana-eh, sebentar. Kamu, 'kan, sudah pernah ke sana. Tidak jadi. Cukup sekali saja, ya."
Itu bukan suaraku, melainkan suara Hoseok yang bergema di benakku. Kala itu aku tak menganggap serius, sebab pembahasan kami memang tidaklah menjurus. Hoseok banyak bercanda, yang lain menimpali, dan aku hanya menyumbang tawa di sebelahnya. Lantas, di detik lanjut, aku teringat rangkai pertanyaan Namjoon; "Apa Hoseok pernah bilang dia menyukai suatu tempat secara implisit?"
Aku tidak menyumbang jawaban. Hoseok banyak mengumbar tempat kesukaan yang telah kupastikan tak kutemui dia di sana. Pandangan sengaja kusempitkan, dan berupa akibat dahiku turut berlipat. Di balik tempurung kepala, aku memeras otak sedemikian rupa supaya ia mengingat tempat mana saja yang pernah kukunjungi bersama Hoseok dalam satu kesempatan. Suatu tempat yang bahkan tidak mampu ditemukan oleh keenam karibnya.
"Ayolah," mohonku seraya meradu gigi kuat-kuat. Ingatanku sudah di ujung tanduk. Aku wajib merengek pada otakku sedikit lagi.
"... nanti keinginan teratasmu muncul lagi."
Suara Hoseok lagi.
"Ah."
Sekonyong-konyong aku berdiri lalu mengambil langkah secepat yang kubisa. Nyaris menyerah, tetapi aku lekas mendapatkannya, dan kuingin memang benar itulah tempatnya. Tidak perlu menengok memastikan pukul berapa sekarang, karena takut pada jalanan dini hari bukanlah padanan mengingat aku pernah menyerahkan diri pada antonimnya kelahiran.
"Bertahanlah sebentar lagi, Jung Hoseok."[*]
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons for Life
Fanfiction[COMPLETED] Aku berdiri untuk meluncuti kehidupan, tetapi Jung Hoseok datang bersama dua penawaran; melompat atau ditembak. Dan ketika aku memilih, tepat saat itulah semua dimulai. "Tapi mari kuberi pilihan. Melompat ke bawah sana atau ... tertembak...