11: Finally

2.7K 343 95
                                    

"Dasar curang!" sergahku usai membiarkan jeda dirampas kesenyapan dalam beberapa menit.

Mencapai tempat ini butuh waktu terbilang cukup, itu pun memakai jasa taksi, satu-satunya transportasi yang masih tersedia apabila sadar akan pukul berapa sekarang. Di tiap perpindahan sekon, kognisiku carut-mencarut baku hantam dengan emosi bahkan tatkala kudapati presensi Hoseok yang berdiri tenang di atas pembatas—ingin aku berlari memeluk kaki kemudian membantingnya ke belakang.

Ketenangan yang kuharapkan mengetahui dia masih menyimpan nyawa di dalam daksanya tidak kunjung hadir, atau malah tenggelam karena terinjak mutlak oleh esensi suatu benda menggantung kaku di sebelah tangannya. Sebenarnya, berapa banyak lagi sejanta yang ia punya tanpa kuketahui?

"Dasar curang," ulangku dengan intonasi lebih rendah, dan di ritme sama, Hoseok reposisi punggung. Pupil yang mengecil mengindikasikan dia amat terkejut atas kedatanganku yang mungkin tidak sejenak pun terlintas dalam akurasinya hal-hal berpotensi menginterupsi. Namun, keterkejutan di sini bukan hanya milik Jung Hoseok seorang, aku juga punya. Kantung di bawah mata, air muka kacau balau, sorot lelah, dan aura jengah akan kehidupan. Kepunyaan Hoseok itu serta-merta mengalirkan tegangan tepat ke jantungku.

"Mi-Miyoo? Kenapa kamu ada di sini?"

"Kamu memberiku satu di antara dua pilihan untuk mati yang pada ujungnya tidak betulan mengantarkanku padanya. Akan tetapi, lihat. Kamu menyimpan banyak cara untuk kamu cobai sendiri. Mengonsumsi obat tidur secara berlebihan, menyerahkan diri guna dilumati hujan. Bukankah itu namanya curang?"

Bibir Hoseok lantas mengatup rapat, tetapi sirat di atensinya bergelagat lain. Menggamblangkan bahwa ia tengah tersudut.

Sementara itu, aku berupaya mengajukan perdamaian, setidaknya mendapatkan tenang kendati singkat dan penuh drama. Merasa sedikit efisien, aku menarik napas panjang supaya mampu melumpuhkan jarak kami sampai tersisa satu langkah. Seperti sihir berjudul kebetulan, kugantung tangan kanan di udara.

Hoseok menelisik maksud dari uluranku lalu ia menggeleng. "Tolong kemb—"

"Ajak aku," Lekas aku memotong mantap selaras dengan air muka yang kupampangkan. Aku tidak akan memberi celah pada Hoseok melarikan diri sendirian. "Jika kamu benar akan melakukanya, maka ajak aku."

Mata Hoseok berjengit tak senang terhadap cetusanku. "Jangan bicara seperti itu. Kamu harus hidup, karena ini tidak ada korelasinya denganmu. Pulanglah, Ibumu pasti menunggu."

"Terus hidup? Ketika inti dari sembilan puluh empat alasanku dipastikan bakal hilang selamanya kalau aku memilih pulang, bagaimana bisa aku terus hidup?" Aku mengehela payah bersama tuntutan bergelimbang harapan. "Kamu sadar tidak, bahwa sedari awal aku hidup hanya karenamu? Karena kamu repot-repot untukku, sehingga merangkai banyak alasan yang kemudian membikinku sadar bahagia bisa digapai dan dirasakan dengan cara sesederhana itu. Lantas, jika kamu menghilang, bagaimana mungkin aku mempertahankan eksistensiku di muka dunia? Buat apa? Tersenyum? Cekakakan? Bahagia? Tanpamu? Mustahil."

Berkat celoteh panjangku, alhasil Hoseok gelagapan. "Itu, itu memang murni kesalahanku. Mencampurtangani partikelku ke dalam alasanmu." Napas dan tingkah sengaja dibuat teratur. "Namun, kendati demikian, kumohon teruslah hidup. Kamu, kamu masih punya jalan kehidupan yang panjang."

"Lalu, kamu? Bagaimana dengan kamu? Jangan bicara seolah-olah kamu tidak memiliki tanggung jawab yang sama," hardikku menurunkan lengan untuk dikepali. Menjejalkan kuku-kuku tajam di permukaan telapak tangan. Aku juga enggan didebat. "Kita lahir di tahun yang sama, berpijak di dunia yang sama, dan mengirup napas di udara yang sama. Jadi, di antara segelintir persamaan ini, bagaimana mungkin aku memiliki jatah hidup lebih panjang dari kamu, sedangkan saat ini pun jantung kita masih berdetak?"

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang