09: Losing

1.4K 276 31
                                    

“Miyoo, kamu jadi pergi ke tempat Hoseok, ‘kan? Kalau begitu, bawa dan berikan ini padanya.”

Dalam tiga harian ini, perlahan aku mendapatkan semua yang kuharapkan sedari kecil. Di mulai presensi senyum hangat Ibu, nada suara berdenotasi afeksi Ibu, perlakuan lembut Ibu. Aku telah menerimanya. Bahkan seukuran ketidakhadiran laki-laki sinting itu di rumah yang kulabeli neraka sejak ada dia. Seumur hidup, kupikir aku tak mampu mengalahkan cinta menjijikkan milik Ibu untuknya, tetapi aku keliru sebab seluruh lekas patah di hari itu. Ibu mendepaknya ke tempat seharusnya dia berada; tahanan.

Seratus persen akurat. Finalisasi pertemuanku dan Ibu yang ditemani Hoseok kala itu adalah kepulanganku. Ibu banyak meruahkan tetesan air mata beserta ungkapan dan gestur penyesalan di hadapan kami membikin hatiku sedikit nelangsa dan serba salah. Beragam emosi menderaku saat itu, tetapi dominannya marah. Tentu, marah mengapa baru sadar setelah sekian lama. Mengapa baru sadar ketika aku sedang menarik ulur mati. Mengapa baru sadar saat aku telah menerima banyak rangkulan.

Alih-alih menata ulang kognisi ke depannya untuk menghadapi kehidupan idealku yang baru dimulai, tenyata yang kulakukan justru memanjat harapan bahwa Ibu akan melanggar syarat atasku dari Hoseok dalam waktu dekat sehingga aku dapat pergi ke mana pun kiranya Hoseok enggan menampungku lagi.

Jika boleh jujur, perubahan Ibu yang signifikan ini tidak serta-merta menyenangkanku. Hidup berdampingan dengannya masih membikinku kelesah, sesak dan lelah, bahkan di tengah awangan, rayuan menyudahi kembali menggelayuti diriku. Dalam lingkup integral, aku menerima Ibu itu hanya sebab ultimatum Jung Hoseok di pembawaan afeksi adalah hantaman absolut buatku, dan menolak godaan itu hanya karena jejalan bahwa aku punya seorang Jung Hoseok sebagai representasi kebahagiaanku.

Singkatnya, aku akan mati apabila Hoseok mengibarkan bendera hijau. Jadi, selama dia belum melakukan, kupastikan jantungku masih berdetak. Kecuali, takdir ingin aku demikian. Sebab siapa pun tahu, takdir suka bertindak seenaknya.

"Iya," membalas singkat sambil mengangguk, meraih boks sedang berisi masakan tersebut, lalu melenggang pergi. Jangankan kecup, peluk, atau melambai, untaian pamit saja tidak kucetuskan. Sepanjang tiga hari, hanya sebatas itu, tidak lebih.

Persetan dengan perasaan, karena baik Ibu maupun aku sama-sama harus belajar terbiasa.

Jarak yang kutempuh biar sampai ke unit Hoseok memakan dua puluh tujuh menit dengan menggunakan transportasi umum. Semilir hawa terendus di tempat ini seperti punya kekuatan magis, memecut gelegak supaya menikmati kehidupan. Sambil menutup mata, aku mengirup napas sebanyak-banyaknya bersama maksud mengedurkan kecakan asa berjudul kerinduan.

Ya. Aku rindu suasana bangun ini, aku rindu seluruh penghuninya, dan paling utama, aku rindu Hoseok dengan segala yang berasal darinya. Tiga hari tidak bertemu atau berkomunikasi bagimu mungkin bukan apa-apa. Namun, bagiku seperti di keadaan jantungmu hendak kolaps detik itu juga.

Telunjukku memilah tombol berisi kode apartemen Hoseok. Bunyi di balik sana lantas menghapus risau di hatiku atas pemikiran kalau-kalau Hoseok mengganti sandinya. Yang tak mustahil merangkai spekulasi sampah dalam rasioku, bahwa Hoseok telah membuangku. Kendati aku yakin, karakter itu sangat bukan Hoseok.

"Permisi," seruan ini mulanya rangka formalitas dan lambat laun menjadi kebiasaan, karena Hoseok kerap meladeniku dengan sikap setara ketika ia pulang lebih dahulu daripada aku. "Hoseok?" panggilku lagi.

Aku menanti beberapa sekon, dan tetap tak kunjung mendapat sahutan. Sepi. Mungkin belum pulang dari Bulletproof. Kuputuskan melesak sendiri. Berderap menuju dapur, menaruh boks makanan Ibu di meja agar aku dapat menjelajahi tempat ini selagi menunggui kepulangan Hoseok.

Terlepas dari tidak memiliki alat pribadi komunikasi jarak jauh, niatku tak memberi kabar lewat telepon rumah hanya untuk menghadiahi secuil kejutan. Namun, sampai matahari dibantai habis oleh ribuan bintang dan bulan sebagai komandannya dari lima jam lalu, hidung bangir serta senyum bagus Hoseok belum jua menampak di balik pintu masuk.

Dalam sekali gerak, kubangkitkan setengah tubuh dari kegiatan merebah di sofa. Tanpa sadar aku menghela payah seraya menekan dada. Mengapa jadi tidak enak begini, ya? Persis yang kurasakan tatkala menangkap Hoseok yang kehujanan dalam pelukan pada dini hari. Atas dasar enggan meneruskan prasangka karena dampaknya sungguh membikin lara bukan kepalang, aku menggapai gagang telepon rumah di sisi kanan kemudian bergesit memasukkan nomor ponsel Hoseok.

Baru tiga sekon aku menempelkan gagang telepon di telinga, lantunan pemberitahuan bahwa nomornya tidak terhubung lekas menyapa. Mengacuhkan alisku yang telah berjengit tak nyaman, lekas kucoba kembali menghubungi nomor Hoseok. Meskipun berkali-kali kulakukan, hasilnya masih sama. "Astaga, Hoseok. Kamu ke mana?" desahku menatap getir figura berukuran kecil sebelah telepon.

Denyut khawatir kentara menggerayang ke segala penjuru, bahkan otak dan hatiku tak ayal terinvasi. Sekonyong-konyong aku menggeleng sebelum amukan prasangka itu kian menjadi-jadi. Aku mendengus meyakinkan dan menyemangati diri. Jamariku menari lagi, tetapi dengan tujuan berbeda. Alih-alih Haeyoung, The Truth Untold merupakan target utama yang bagus. Dan aku juga tidak berani jamin jika menghubungi Bulletproof langsung, mengingat mereka hanya terima panggilan yang ada koherennya dengan mereka.

"H—"

"Oh, ya ampun, Hoseok! Akhirnya kamu menelepon juga! Dari mana saja kamu, hah?!"

Satu hurufku baru saja diputus oleh lengkingan Haeyoung yang berintonasi brutal. Seolah-olah hendak mencabik habis hingga ke jiwa si penerima. "Maaf, Kak. Aku bukan Hoseok, tapi Miyoo."

"A-ah, Miyoo?"

"Ya." Aku menyipit bingung kala resonasi Haeyoung meluruh lesu sekaligus kecewa. "Ah, ngomong-ngomong soal Hoseok. Apa dia masih ada di Bulletproof? Jika ada, bisa aku minta tolong ke Kakak untuk bilang pada Hoseok agar segera menelepon ke rumah kalau sudah selesai dengan kerjaannya?"

"Miyoo."

"Ya?"

"Kamu harus tahu satu hal, dan tolong kendalikan dirimu setelah mengetahuinya."

Entah mengapa, aku jadi menahan napas. Sejak awal memasuki libium pintu Hoseok, hatiku seperti ada batu tidak diidentifikasi yang mengganjal. "Baiklah."

"Hoseok. Dia menghilang."[*]

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang