01: Choise

5.9K 524 58
                                    

Sebelum ini, biasanya aku hanya berpikir dan berpikir. Terus begitu berulang-ulang sampai pikiran tersebut hanya menjadi faset dari salah satu memori simpananku kemudian lenyap tanpa ada realisasi yang berarti. Berkutat dengan rutinitas awal seperti tidak pernah terjadi pergolakan.

Sebelum ini, aku memang begitu. Bersemayam di taraf terendah dari hierarki lelah, tetapi enggan menyerah. Masih mau berharap menemukan sedikit cercah pada sebuah kesemuan.

Namun, setelah ini, ketika memandangi langit tenang yang mempunyai petak-petak awan hitam lalu berpindah ke jalanan senyap di bawah sana, rasanya aku mau sudah saja. Lelahku semakin buas dan menyerah pun telah kuterima tanpa syarat.

Seraya memejam, aku mengembus payah.

Mati. Jika hujan datang, aku mau mati.

Merasakan tetesan lembab jatuh di wajah, lekas aku menarik sudut bibir. Katakanlah aku curang karena sudah mengakurasikannya. Tapi, astaga, aku betulan tidak ingin lagi meneruskan hidup dengan napas tersendat-sendat semacam ini. Yang di tiap partikelnya saja mengandung duri dan kerap mampir guna mengisik; mati saja sana, kau tidak diinginkan, tidak berguna, dasar hina.

Aku tahu. Berada di lingkungan yang selalu saja mencekik. Punya ayah tiri yang gila dan ibu yang menampik semua kegilaannya. Semua. Semua yang bahkan tak bisa lagi terjabarkan lewat ucapan. Aku, sudah tahu.

Makanya, untuk ke sekian kali, aku akan berbaik hati dan tidak mencoba apatis lagi. Aku merangsek ke pinggiran pembatas gedung, berdiri sambil mengedarkan padangan. Ah, kenapa pemandangan yang sedang diterpa gerimis jadi seindah ini? Kuturunkan irisku kembali ke jalanan. Teras toko dekat pertigaan ujung sana ada tiga presensi yang sekali lihat dengan mata jernih saja pasti tahu, mereka satu keluarga gembira. Lantas aku tersenyum kecil.

Mari lihat apresiasi apa yang kuperoleh, jika aku melakukan tepat di jangkauan pandang mereka.

"Hei, Nona."

Kontan aku terkesiap lantaran suara asing menggema cukup tegas di telinga. Manik kembarku berpendar mencari presensi pemilik suara. Sejauh ingatan, atap gedung tidak terpakai ini kosong tatkala aku menapakinya. Kuseka mataku menggunakan punggung tangan. Pemilik suara itu tidak kunjung tertangkap.

"Posisikan kepalamu di arah jam satu lalu tengoklah ke atas."

Dengan implusif, kupatuhi instruksi itu. Aku menyipit. Benar, ada seseorang berdiri menjulang di atap bangunan berskala kecil sambil berkacak pinggang. Namun, siapa pun dia, sungguh, tak ada singgungannya denganku. Secuil pun. Tidak mengindahkan tangga yang tersedia, pemuda itu turun bersama sedikit aksi, melompat sampai bunyi tapakan antar lantai dan air agak terdengar. Bahkan kala ia telah mengikis jarak kami pun, aku masih menatapi tanpa mengasihi bentuk desibelku.

Orang itu memakai kaos putih terbalut jaket kulit berwarna hitam dengan jeans robek di bagian lutut dan sepatu senada. Setidaknya, di jarak sedekat ini, aku dapat menyimpulkan dia memiliki bentuk wajah yang bagus, sinkron dengan senyuman cerah. Tipikal-tipikal menimbulkan impresi betapa menyenangkan hidupnya bagi makhluk semacam aku ini yang entahlah, aku tidak paham. Napasku beringas tercekat sendiri.

"Pulanglah. Aku berani jamin hujan akan semakin deras. Mungkin juga menjadi badai."

Pulang? Aku ingin tertawa sebesar mungkin, tetapi tidak sedikit nada pun tercetus. Lagi-lagi, aku diam menatapnya seraya menunggu gerakan apa lagi yang bakal ia lakukan. Karena kalau sampai menginterupsi lebih jauh, maka aku yang bertindak. "Kamu saja," balasku.

Dia kembali mengikis jarak kemudian menggantungkan satu tangan kepadaku. Irisku menembus lurus tanpa niat meraih, sedangkan alisnya mulai menjengit tidak santai. "Turun."

"Tolong jangan campuri urusan orang lain," peringatku dingin dan menekan. "Dan tolong pergilah."

Sedikit jeda sebelum ia menarik lengan supaya bertengger di pinggang lalu berkata, "Baiklah." Dia tersenyum lebar. Aku lantas mengandai, alangkah menyenangkan dan menghangatkan kalau aku sedang di keadaan normal. Namun, sekarang aku tidak butuh lagi rangkulan semacam itu. "Tapi, mari kuberi pilihan. Melompat ke bawah sana atau—" Ia mengorek sesuatu di balik jaket hitamnya. Saat berhasil meraih, ia lekas memamerkannya padaku. "—tertembak oleh pistolku?"

Bukan pada moncong pistol teracung congkak persis ke wajah yang membikin aku terkesiap, tetapi pada sikap kalem dan isi penuturannya yang tidak selaras; sama-sama menawarkan pilihan mati dengan nada dan senyum bersahabat. Sehingga memacuku untuk menampilkan senyum miring.

"Melompat."

"Baiklah."

Dan terakhir yang kutahu adalah peluru pistol itu mencicipiku dan semua gelap.[*]

Hoseok lagi hoseok lagi. Gapapa saya cinta hoseok *laflaflaf* Spesial ultah? Bisa jadi, karena dari taun lalu, ultah hobi memang bikin anak orang produktif :v dan tenang saja, ini hanya short fic. Chapternya mungkin 10-karena di draf ada sepuluh sih ngoahaha.

ps: apdet tiap hari mulai hari minggu :v

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang