06: Warm

1.6K 313 29
                                    

The Truth Untold dari sananya memang sudah ramai. Namun, sore ini jauh lebih ramai. Tangisan hujan mendorong berbagai golongan yang niatnya sekadar berlalu untuk betulan mampir menghangatkan diri. Kopi dan pai apel adalah menu paling menanjak tingkat pesanannya, membikin intensitas wara-wiri kami meninggi. Nyaris kelabakan, bahkan.

Kami?

Iya, kami. Satu minggu lalu, ketimbang menunggui Hoseok selesai dengan serba-serbi urusan di Bulletproof meski aku diberi kebebasan memakai ruang tari mereka, aku mengajukan lamaran kerja di The Truth Untold, dan Seokjin pun lekas menerimaku. Kawan-kawan Hoseok memang baik, kelewat baik. Lumayan, mengganti modal Hoseok yang terbuang lantaran membelikanku berpotong-potong pakaian, termasuk bagian dalam. Khusus ini, Hoseok tidak terjun langsung.

Sewaktu kuberitahu aku bekerja di The Truth Untold, pandangan sempit Hoseok melebar dan tiga sekon kemudian dia tertawa bersama intonasi bangga. Hoseok bilang, "Bagus. Bagus sekali, Miyoo. Sekalian, tulis di nomor tiga puluh tujuh, Membangun Relasi dengan Orang Luar selain Jung Hoseok dan Karibnya." sambil menepuki puncak kepalaku tiga kali.

Arkian, aku membalas, "Nanti setengah gajinya kuberika padamu, ya."

Hoseok lekas menyentil dahiku pelan. "Nikmatilah sendiri. Itu hasil kerja kerasmu. Jika memang mau, cukup belikan secangkir latte dan semangkuk kue kenari."

"Tapi—"

"Selebihnya, anggap saja aku orang baik," potong Hoseok diselingi kerlingan kemudian.

Mau tidak mau aku mengangguk, tapi bukan berarti sepenuhnya menurut. Akan tetap kuberikan balasan lebih dari itu. Dan, hei, Jung Hoseok. Tak usah dijejalkan, kamu jelaslah orang baik. Bagiku dan semua orang.

"Tolong tiga cappuccino dan dua latte."

"Baik. Harap tunggu sebentar," ucapku sopan. Langsung kutulis pesanan pelanggan tersebut di buku catatan berukuran minimalis, kurobek kemudian kutempelkan ke sebuah papan kecil agar dijangkau oleh mata Choi Soobin, si pengracik berbagai minuman berunsur kopi. Selang beberapa waktu, Soobin selesaikan tugas bersama lima cup olahan kopi hangat di nampan sebagai bukti. Kepalaku naik-turun, ganti dari terima kasih, dan dia pun membalas demikian.

"Ini pesanan Anda, Nona," imbuhku seraya menyodorkan pesanan. Pelanggan tersebut menerima lalu tersenyum dan berterima kasih. Usai aku mengangguk, lantas dia melenggang ke tempat di mana dia tengah dinanti.

Begitulah siklus kegiatanku tiap detikan di The Truth Untold. Pembedanya mungkin di segi reaksi pelanggan atau interaksiku dengan pegawai lain, dan jangan lupa kejadian-kejadian tidak terduga. Selebihnya, lancar tanpa kendala. Semua karyawan Seokjin adalah orang menyenangkan. Mereka membikin komunikasi tidak sebatas teman kerja, tetapi menjurus ke betulan teman tanpa embel-embel. Termasuk kepadaku.

Namun, bohong kalau aku sudah jatuh
menyukai pekerjaanku ataupun tempat ini. Sebab, realitanya, tempat tinggal Hoseoklah yang terbaik buatku. Aku tahu, ini terindikasi tidak tahu malu. Tetapi rumah Hoseok adalah tempat yang pas untuk pulang. Di sana, aku merasa nyaman dan tenang. Membutakan dan menulikan keinginanku supaya terperangkap di jerat kata mati. Sangat kontradiktif apabila dibandingi dengan rumahku sendiri.

Tidak. Neraka itu bukan lagi rumahku. Untuk saat ini, aku tidak punya rumah. Aku hanya memiliki tempat untuk pulang. Di kediaman Jung Hoseok.

"Hei, Miyoo."

"Ah, iya?" Aku menyahut desis berkedok panggilan dari Ahn Haeyoung, sosok yang kupikir sedikit paling akrab denganku di sini. Karena kebetulan, dia gadisnya Kim Seokjin.

"Itu ...."

Haeyoung mentransfigurasi kalimat lanjut dengan guliran mata seolah mengisyarat supaya lekas kuikuti. Tidak hanya manik, kepala pun turut kuseret persis aba-aba Haeyoung. Atas alasan heran sekaligus lumayan penasaran, aku menyipit memastikan.

Ah, Jung Hoseok datang menuju kami. Rambut lepek yang dia usaki dan lapisan jaket kulit mengkilap-kilap, kutafsirkan tadi dia menerobos hujan. Tatkala menyisakan lima langkah guna melenyapi jarak, Hoseok tersenyum semringah. Persis seperti matahari yang merangsek di tengah hujan. Aku kurang paham, di sekian senyum yang kujumpai, hanya punya Hoseok yang hangatnya tersalur.

Manik Hoseok singgah sejenak pada presensiku sebelum pindah ke Haeyoung. "Hae, di mana mereka? Sudah datang?"

"Sebaliknya. Mereka sudah pergi, dan kamu tak usah menyusul. Mereka akan menuntaskannya, kamu hanya perlu meminta berkat semoga lancar."

"Yah. Telat sekali, ya?"

"Sangat, Jung Hoseok." Haeyoung mendengus jengah. "Lagi pula, kamu sedang apa sampai tidak bisa dihubungi begitu?"

"Benarkah?" Hoseok meneleng linglung. "Ponselku mati dan aku pun ikut mati—tidak, tidak. Jangan melotot—aku tertidur," jawab Hoseok sambil meringis lantaran menerima hujaman dari tatapan bengis Haeyoung.

"Oh—hei, kamu minum ob—"

"Ah, kuharap, semoga mereka berhasil. Kalau begitu, aku pinjam tempat istirahat kalian, ya? Mengeringkan diri," Hoseok menyela sambil menyibak rambut ke belakang lalu membuang atensi kepadaku. Ia mengepalkan tangan di udara. "Miyoo, semangat!" Kemudian berjingkat tergesah meninggalkan posisinya.

"Miyoo, kamu susul Hoseok. Beri dia handuk tebal di loker barisan ketiga."

"Tapi ini—"

"Ada aku dan Soobin. Lagi pula, sebelum kamu bergabung, aku juga berdiri di sini sendirian." Haeyoung nampak tak mau didebat atas keputusan finalnya.

Oke.

Setelah menghela singkat dan mengangguk pamit, aku lekas berderap ke tempat yang juga menjadi tujuan Hoseok. Ruang istirahat di The Truth Untold terletak di lantai tiga, dan itu secara integral. Gampangnya, lantai tiga ini khusus tempat istirahat. Alih-alih berdiri tegap sambil mengibas jaket serta rambut di depan kipas angin bertenaga maksimum, Hoseok justru duduk tertunduk dengan tangan menyangga di atas paha.

Mengabaikan kehendak segera mampir ke hadapan lalu menadah tetesan air dari ujung rambut Hoseok, terlebih dahulu kusinggahi loker urutan ketiga, mengambil satu handuk biru berukuran tebal. Cukup efektif, kurasa. Aku berbalik dan di langkah keduaku, Hoseok baru menyadari kehadiranku. Ia sedikit terlonjak seperti hendak kelabakan, tetapi cepat kembali bergelagat biasa.

"Tidak berjaga?"

Aku sengaja tak menampilkan air muka apa-apa dan tidak juga membalas pertanyaan kecilnya. Kulepaskan handuk tersebut dari lipatan kemudian membaluti kepalanya. Dia cengengesan tatkala kepalanya kuusaki secara benar. Tak kuizinkan dia menginterupsi, karena ini salah satu esensi balas budiku yang tentu sama sekali tidak sepadan.

"Jung Hoseok."

"Ya?"

"Kamu, sengaja menerobos hujan?"

Kepala Hoseok menjengit enteng. "Iya, karena aku suka hujan."

"Kamu, betulan tertidur?" Penggalan kalimat tergantung Haeyoung mengusikku, jujur.

Lagi-lagi, kepala Hoseok terangguk. "Iya, karena belakangan insomniaku kambuh."

"Kamu, tadi mengapa meringkuk?"

Dan menguarkan aura murung.

Pandangan Hoseok menengadah, hingga sekian sekon kemudian ia memejam masam. "Karena aku kedinginan."

"Baiklah." Aku menelan satu, dua, tiga pertanyaanku kembali ke dasar. Memilih fokus ke gosokanku di kepalanya. "Bagaimana sekarang?"

"Apanya?"

"Masih dingin?"

"Sedikit lebih baik," balas Hoseok sambil tersenyum simpul. Kami terdiam beberapa saat. Detikan benda pengira waktu mengambil alih keadaan, sampai Hoseok bersuara lagi, "Song Miyoo."

"Apa?"

"Nomor lima puluh dua, Mengkhawatirkan Jung Hoseok." Sekonyong-konyong tubuhku terjerembab ke depan lalu dilingkari dua lengan. "Nomor lima puluh tiga, Mendapatkan Terima Kasih dari Jung Hoseok."

Dingin menyerangku, tapi mengapa hangat justru menyelimutiku?[*]

H-4 hoho (゚∀゚ )

Reasons for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang