Jam 5 sore, Galang duduk di kursi teras rumah, ia memandangi kotak kecil yang tadi pagi ditemukan tergeletak di dekat motornya. Kotak itu seukuran kotak jam tangan, berwarna putih polos, berisi plester dan betadine. Tanpa harus berpikir keras, Galang sudah tahu siapa yang mengirimnya walau tanpa nama ataupun secarik pesan. Pasti dari cewe gila yang kemarin.
"Kenapa, lang?" Bagas muncul dari dalam rumah, ia membawa gelas yang berisi kopi hitam. Bagas duduk samping Galang dan menaruh kopinya di atas meja kaca yang terletak di antara mereka.
"Gue lagi kepikiran sama cewe yang suka liatin rumah kita, bang." Galang mengedarkan pandangannya ke tempat terakhir kali ia melihat seorang gadis berdiri mencurigakan.
Aroma kopi hitam mulai menyebar, harum kopi yang khas dan membuat candu. Kepulan asap mengaburkan pemandangan Galang.
"Orangnya kurus, putih, rambutnya sebahu?" tanya Bagas. Fokus matanya masih ke arah kopi yang sudah tidak sabar ia kecap.
"Lah iya kok tahu?" Galang menoleh ke arah Bagas.
"Itu sih si Bella." Bagas beralih menatap bola mata Galang yang tergurat sedikit rasa penasaran di sana. "Rumahnya dekat rumah pak rw, emang Galang gak kenal?"
"Gak," tegas Galang.
"Sibuk sih jadi sama tetangga sendiri gak kenal."
Galang memang sibuk. Di sekolahnya saja, ia mengikuti ekstrakulikuler modern dance, volly dan OSIS. Di luar sekolah, ia juga bergabung dengan komunitas dancer. Selama dua tahun bersekolah di SMA Nuki, Galang sangat aktif bahkan harus mengekos dekat sekolah.
Anisa, ibu Galang yang mulai khawatir anaknya sekarang kelas tiga, mulai membatasi kegiatan Galang. Anisa tidak mengizinkan Galang mengekos lagi, dan menyuruh Galang mengikuti les persiapan UNBK.
"Abang tahu gak kenapa si Bella itu suka liatin rumah kita terus?" tanya Galang.
Bagas menoleh ke kiri dan ke kanan mengamati keadaan sekitar, merasa cukup aman Bagas lalu mendekatkan mukanya ke telinga Galang. Rasa penasaran dalam diri galang semakin terpacu, ia serius menunggu kata apa yang akan keluar dari mulut kakaknya.
"Naksir Galang mungkin, hahaha." Bagas tertawa puas menggoda adiknya.
Galang mendorong bahu kakaknya, ia mendecak sebal, tidak terima dirinya telah ditipu dengan mudah.
"Hahaha." Ulang Galang dengan nada yang datar, baginya itu tidak lucu.
Galang mengambil betadine dari kotak, ia mengoleskannya ke bekas cakaran. Galang menjaga ekspressinya supaya tetap datar ketika betadine menyentuh lukanya, ia tidak ingin terlihat cengeng di depan kakaknya.
"Tangan lo kenapa?" Bagas melirik bekas cakaran yang lumayan panjang di tangan adiknya.
"Dicakar fans tadi pagi." Adu Galang.
"Si Bella?"
Galang mengangguk, mulutnya langsung sibuk meniup-niup cairan betadine encer yang mengalir kemana-mana dengan cepat, menjalar ke permukaan kulitnya yang sehat.
"Jangan kasar sama cewe ntar ga ada yang mau, lang." Bagas menyeruput kopinya
"Kaya abang ya gak ada yang mau." Ledek Galang sambil tersenyum mengejek.
"Uhuk..."
Serangan Galang membuat Bagas tersedak, Bagas menepuk-nepuk dadanya, Galang menyeringai melihat kakaknya kalah telak.
"Uhuk."
"Yah.. yah bengek kan, bentar lagi ini mah gak nyampe ashar, hahaha."
Bagas adalah bujang lapuk yang sudah melajang selama 30 tahun dia hidup dibumi. Bukan karena bagas jelek, bukan! Hanya saja Bagas adalah seorang polisi yang kompeten, ia terlalu sibuk bekerja sungguh-sungguh mengabdi kepada negara, nusa dan bangsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabella dan Tanda tanya
Teen FictionNabella gadis kurus seperti bulu, jago gambar dan hobi berlari. Ia harus berjuang menjalani kerasnya kehidupan bersama Raka, kakak laki-laki satu-satunya. Semenjak Ayah mereka meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Nabella bertekad menguak ke...