If I W e r e

315 13 0
                                    

If I Were
-HM GadisHujan

.

Langkah tanpa tujuan kembali bimbang. Ia tak tau arah, seakan kakinya hanya menghapus jejak semu yang entah akan ke mana perginya.
Tas besar yang dipegang erat oleh tangan halus berbalut baju panjang itu diam. Sesekali mata hazelnya melirik ke kanan dan kiri mencari tempat persinggahan. Malam yang gelap memaksanya untuk segera menemukan tempat agar bisa tidur.
.
"Ya Tuhan.. Hanya kepada-Mu aku berlindung. Beri aku tempat tinggal." benak sang gadis berbicara dengan mata tertutup juga tangan yang seolah berdoa.
Satu detik kemudian, matanya terbuka dan kembali melanjutkan langkah menuju pusat kota.
"Ayolah, Pie Mindara.. Kau pasti bisa melakukannya." ujarnya setelah ia kembali optimis dengan keyakinan penuh.
.
Halte bus yang hanya ada dua orang di sana menjadi tempatnya untuk beristirahat. Pie memutuskan untuk duduk sebentar selagi ia berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Cukup lama ia terdiam, sesekali jam tangan yang dipakainya menjadi pemandangan selain dari jalanan besar yang sepi.
Dari samping, ada lelaki yang duduk berjarak cukup jauh dari dirinya duduk. Sang lelaki itu diam tertunduk sembari memainkan tali tas yang melingkar di dadanya.
Pie menggeser duduknya mencoba lebih dekat dengan lelaki itu.
"Maaf, Tuan.." ujarnya. Membuka suara.
Lelaki itu menoleh dengan sedikit kaget, ia menatap dengan mata tajam sembari seolah takut.
Pie mengerutkan keningnya heran, namun dengan segera ia membiasakn diri.
"Apa kau tahu tempat yang bisa disewa?" tanya Pie.
Lelaki itu diam, ia menggeleng pelan. Tangan kekarnya terus memainkan tali tas di depan dadanya.
Pie tersenyum paksa, "Baiklah.. Terima kasih."
Dengan wajah lesu, Pie kembali menggeser dirinya agar menjauh dari sang lelaki 'aneh' itu. Matanya kembali menatap jalanan yang hanya ada satu dua mobil melintas di sana.
.
Lelaki itu memperhatikan Pie dengan seksama, meski dengan gelagatnya yang berbeda dari orang pada umumnya. Pie sesekali menutup matanya meminta pada Tuhan agar ia berbaik hati padanya.
Beberapa saat kemudian, lelaki itu masih memperhatikan Pie dengan matanya yang sendu. Gadis cantik di depannya tengah bersimpuh dengan wajahnya yang memelas memohon agar ia dapat tempat untuk tidur malam ini.
.
"Emh.. Nona."
Pie menoleh, seolah menunggu kalimat selanjutnya dari lelaki itu.
"Apa, kau.. Sedang mencari tempat tinggal?" tanyanya dengan terbata.
Pie mengangguk, ia segera berdiri mengikuti sang lelaki yang sudah lebih dulu berdiri di depannya.
"Mari ikut denganku. Aku.. Akan tunjukkan tempatnya." sambungnya.
Mata Pie berbinar, ia tersenyum senang, "Benarkah?"
Lelaki itu mengangguk beberapa kali.
"Baiklah.. Tunjukkan aku tempatnya. Oh, ya.. Siapa namamu, Tuan?"
"Kim.." jawabnya singkat.
Keduanya diam di pinggir jalan menunggu bus datang, Pie hanya sesekali menoleh pada jalanan lalu pada lelaki bernama Kim di sampingnya ini. Ia aneh.
.
Kim menggeser pintu pagar dengan terlihat kesusahan. Pie yang di belakangnya hanya diam tak melakukan apa-apa. Ia masih penasaran pada Kim yang baginya terlihat berbeda dengan orang lain.
"Ayo, masuk.." ujar Kim.
.
Pie mengikuti langkah Kim dengan perasaan was-was. Ia memeluk tas di perutnya, bingung karena Kim tak banyak bicara. Pie hanya berharap bahwa ia tak salah mengikuti orang.
"Tunggu sebentar.." ujar Kim.
Pie mengangguk, ia melihat Kim memasuki ruangan sebelah. Rumah adat thai yang bercampur modern terlihat sangat bersih juga sepi itu benar-benar menyita perhatian Pie akan sekitar.
.
"Itu orangnya, bi." suara Kim kembali terdengar. Ia keluar bersama dengan seorang wanita berambut ikal yang semangat menghampirinya.
"Salam, bibi.." ucap Pie sopan.
"Ah, ya.. Kau ingin menyewa tempat?"
Pie mengangguk, tangan kecilnya digandeng oleh wanita itu menuju satu ruangan dengan pintu yang ia geser.
"Ayo, kemarilah.. Akan kutunjukkan kamarmu." ujarnya.
Pie mengikuti langkah bibi Inn yang menaiki tangga kayu. Di sebelahnya ada satu ruangan dengan pintu yang tertutup rapat. Namun, setelahnya Pie mengetahui bahwa itu adalah kamar Kim. Lelaki itu masuk dengan pelan dan Pie melihatnya sekilas saat ia melirik ke bawah.
"Ini sangat murah, nona." ujar bibi Inn mendekati Pie dengan gelagat merayu.
"Bagaimana?"
Pie melihat sekeliling, "Sebenarnya, untuk saat ini aku hanya bisa membayar setengahnya, bi. Aku baru akan memulai pekerjaan."
Bibi Inn terdiam mempertimbangkan.
"Aku seorang perantau dari Chiang Rai. Aku ke Bangkok untuk melamar pekerjaan di salah satu klinik kesehatan yang masih aku cari alamatnya." tambah Pie.
Bibi Inn mengangguk iba, "Baiklah.. Kau tenang saja, cantik.. Tidak usah terlalu dipikirkan. Yang penting kau bisa tidur dengan nyaman. Ah, ya.. Siapa namamu?"
"Pie Mindara, bi.."
"Nama yang cantik. Baiklah, Pie.. Kalau kau suka tempatnya, kau bisa langsung tinggal. Soal bayar sewa, santai saja."
"Benarkah, bi?"
Bibi Inn mengangguk. Meski sebenarnya ia pun butuh uang untuk keperluan sehari-hari.
"Kalau begitu terima kasih, bi." Pie tersenyum lebar. Matanya semakin menyipit saat ia menarik kedua sudut bibirnya dengan menempelkan kedua tangannya di dada, membentuk salam.
.
Satu per satu barang yang ada di dalam tas, Pie keluarkan. Lalu mulai menata di meja kecil di pinggir tempat tidur lipat yang terlihat tidak begitu empuk.
Pie mengelilingi seisi ruangan. Tidak terlalu luas tidak juga terlalu sempit. Untuk hitungan satu orang dengan tubuh kecil seperti Pie memang tidak ada masalah. Ada ruangan kecil di sudut ruangan, kamar mandi yang terawat bersih.
Langkah Pie berirama lambat saat melihat-lihat sampai ke balkon kamar dan menampilkan pemandangan kota Bangkok yang kerlipan cahaya lampu seisi kota.
Pie diam sekejap, ia menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang ia sandarkan ke pembatas balkon. Dari sana, ia mendengar suara seperti orang yang sedang memasak di bawah. Lampu di balkon bawah masih menyala. Mungkin sang pemiliknya belum tertidur.
Pie kembali ke dalam, ia membenarkan kembali posisi pas photo yang ia simpan di samping lampu tidur berbentuk kuncup bunga itu.
.
Keesokan harinya, saat Pie sudah sangat siap dengan baju rapinya. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan rok yang menutup sampai ke lututnya. Ia membawa tas kecil sembari memasang sepatu pantofel berwarna hitam lalu menuruni anak tangga.
Suara decitan tangga karena langkah Pie terdengar memenuhi pendengaran.
"Sepi sekali.." gumamnya.
.
'Cekrek'
Suara hentakkan pintu di bawah berhasil membuat Pie kaget. Ia langsung melihat ke bawah dan tepat, mata keduanya menangkap titik yang sama.
Kim keluar dari kamarnya dengan penampilan yang seperti biasa untuk bekerja. Ia menatap Pie sekejap lalu memalingkan wajahnya. Pie melihat Kim sampai ia keluar pintu utama.
"Aku pergi, bibi." ujar Kim berpamitan.
Pie yang baru saja membuka pintu dan menutupnya lagi lantas mendengarnya.
"Ya, Kim. Hati-hati.. Kau harus selalu ingat jalanmu, ya." balas bibi Inn.
Pie mengerutkan keningnya sedikit heran, "Selamat pagi, bibi."
"Ah, ya. Pie.. Selamat pagi.."
Pie mendekat pada bibi Inn yang tengah membersihkan kebun kecilnya dari rerumputan liar.
"Kau akan pergi ke mana, Pie?" tanya bibi Inn.
"Aku akan mencari pekerjaan, bi. Aku akan mendatangi alamat yang diberi pamanku." jawab Pie sedikit gugup.
Bibi Inn mengangguk, "Kau sudah sarapan?"
Pie terdiam sejenak, ia menggeleng.
"Kau tidak punya makanan?"
Pie kembali menggeleng dengan wajah melas.
"Ah, Ya Tuhan.. Nanti kau harus beli penanak nasi. Agar kau bisa memasak nasi." ujar bibi Inn dengan melepas sarung tangan kotornya. Pie hanya diam. Ia tak begitu mempunyai banyak bekal. Apalagi untuk membeli alat-alat seperti itu.
"Kemari.." perintah bibi Inn.
Pie pun mengikutinya, ia duduk di teras rumah bibi Inn yang tepat di samping kamar sewaan yang bertingkat empat itu.
"Ini, makanlah.." ujar bibi Inn dengan menyodorkan satu piring nasi dengan satu mangkuk sup.
"Ah, bibi.. Tidak usah. Aku akan membeli makanan nanti di jalan." Pie menolak dengan halus.
Bibi Inn menghempaskan nafasnya kasar, "Tidak apa-apa. Makanlah.. Cepat. Aku akan menemanimu di sini."
Sebenarnya, bibi Inn biasa meminta uang pada penyewa saat ia memberi makanan, namun karena kasihan melihat Pie ia memberikannya dengan percuma. Tentang uang sewa pun ia tak begitu mempermasalahkannya.
"Bibi.. Bibi baik sekali." Pie diam memandangi bibi Inn.
"Sudahlah.. Kau makan saja dulu. Baru kau pergi mencari pekerjaan."
Pie mengangguk, "Terima kasih banyak, bi."
.
Di tengah-tengah Pie menyantap sarapannya, ia sempat berpikir tentang Kim. Lelaki itu aneh. Matanya selalu menatap tajam dan ia jarang berbicara.
"Bibi.." panggil Pie.
Bibi Inn berdehem.
"Apa.. Kim.."
"Dia sebenarnya keponakanku. Dia adalah anak dari kakakku yang sekarang pergi ke luar negeri dan meninggalkan Kim seorang diri. Aku memberinya satu kamar dan dia bekerja di salah satu perusahaan teknologi."
Pie mendengarnya dengan seksama. Ia melambatkan asupan makannya saat terlalu fokus pada kalimat bibi Inn.
"Dia menderita Down Syndrome hingga membuatnya terkadang ketakutan dan dia tidak begitu dekat dengan orang lain. Dia tidak banyak bicara. Namun, otaknya begitu pandai. Sebenarnya, Kim itu jenius. Yang sangat disayangkan, terkadang ingatannya sangat buruk. Ia pernah pulang sangat larut malam dengan alasan lupa jalan pulang." tambah bibi Inn dengan mata yang tertuju ke depan.
"Autise?" gumam Pie pelan.
Bibi Inn menghela nafasnya berat, ia menggeleng pelan dengan wajah yang sedih, "Terkadang aku sangat kasihan. Namun, ya begitu.. Dia giat bekerja. Dia tidak mau merepotkan siapapun."
Tak terasa, obrolan ringan penuh makna itu sampai menemani habis makanan Pie. Ia kemudian menyimpan mangkuk sup dengan pelan.
"Baiklah, bi.. Aku akan segera pergi." ujar Pie.
Bibi Inn beranjak, ia kembali menggapai sarung tangan kotornya sembari mengangguk, "Jaga dirimu, ya. Ini Bangkok.. Kau harus bisa adaptasi."
"Baik, bi. Terima kasih sekali lagi." Pie tersenyum hingga ia menghilang di telan jalanan.
.
Nafas berat terdengar kasar, Pie menatap melas pada bangunan besar yang ada di depannya. Sesekali ia melihat jam tangan yang ia pakai. Memang sudah sangat siang. Waktu habis terbuang di perjalanan. Pie memutari kota Bangkok untuk menemukan tempat yang ia maksud. Dan ketika ia sudah sampai di tempat, sudah tidak dibuka lagi wawancara kerja. Hal itu benar-benar membuatnya menyesal. Hilang sudah kesempatannya untuk bekerja menjadi seorang perawat.
.
Pie membalikkan tubuhnya membelakangi gedung putih itu. Ia menghempaskan amplop cokelat di tangannya.
"Maaf, paman.. Aku terlambat." ujar Pie, menempelkan ponselnya di telinga.
Wajahnya begitu terlihat sedih, sesekali ia mengangguk mendengar nasihat yang diberikan pamannya di sana.
"Iya, paman. Aku akan mencari pekerjaan yang lain."
"Baiklah, sayang.. Jaga dirimu baik-baik di kota, ya." suara paman Pie terdengar begitu mengkhawatirkan.
"Paman jangan khawatir, aku bertemu orang-orang baik." jawab Pie.
.
Sementara itu.. Saat jam makan siang. Semua pekerja sibuk mencari tempat makan. Sama seperti yang lain, Kim, punya tempat tersendiri saat jam makan siang. Ia duduk di bawah pohon sembari menikmati bekalnya yang biasa bibinya berikan.
Dengan mata yang memicing, sesekali ia melihat sekeliling taman dengan gelagatnya yang 'aneh'. Namun, karena kecerdasannya Kim berhasil membuktikan bahwa ia mampu bekerja dan setara dengan mereka yang normal. Angin tengah siang, yang sangat menyejukkan.
.
Pie melangkah gontai di pinggir jalan dengan amplop cokelat yang masih mengayun di tangan kirinya. Sesekali ia menghela nafas kasar karena hampir putus asa.
Hari mulai larut. Jalanan mulai terlihat gelap. Karenanya Pie harus pulang dan menghentikan usahanya untuk mencari pekerjaan. Setelah ia mencoba ke berbagai tempat untuk melamar.
Pie berhenti di halte bus yang masih ia ingat bahwa tempat itu adalah tempat pertama saat bertemu dengan Kim.
Pie duduk di bangku panjang itu dan melirik jalanan. Menunggu bus.
.
"Ah, Kim.." sapa Pie riang karena ia melihat Kim baru saja tiba di halte.
Kim hanya membungkukkan badannya tanda salam, Pie tersenyum kecil lalu sedetik kemudian pudar karena Kim tak begitu merespon.
"Kita bisa pulang bersama." ujar Pie mendekat.
Kim menjauh satu langkah dari Pie, ia hanya kembali mengangguk. Pie memahaminya, ia lalu tersenyum paksa.
"Ah itu busnya." tunjuk Pie.
Keduanya bersiap diri untuk menaiki bus. Saat bus tepat berhenti di depan mereka, keduanya masuk tanpa ada dialog lagi.
.
Tengah malam, saat langit begitu gelap dengan bintang bertebaran di atas sana. Pie menengadahkan kepalanya, menatap dengan dalam beberapa bintang yang bersinar terang menemaninya.
"Ayah, ibu.. Mengapa sulit sekali ingin mendapatkan uang? Apa ini juga yang kalian rasakan dulu?" ujarnya bertanya. Berharap angin membawanya sampai ke dasar langit.
"Haah... Bagaimana ini?" Pie mulai frustasi. Ia mengacak rambut halusnya dengan wajah sedih.
.
"Kau belum tidur?" tanya suara terbata. Pie menoleh ke sana ke mari mencari sumber suara.
Dan saat ia menemukan orang di bawah sana. Di balkon bawah dengan kemeja putih rapi.
"Emh.. Kim." ujar Pie.
"Kau pun.. Mengapa belum tidur?"
Kim terdiam sejenak, ia melihat ke atas langit dengan gelagat kepalanya yang enggan diam, "Aku senang menatap langit malam sebelum aku mengantuk."
Pie harus menyiapkan banyak waktu untuk mendengar kalimat Kim. Lelaki itu berbicara sangat lambat dan terbata.
"Ah, Kim.. Bisa kau bantu aku?" Pie antusias mendapatkan ide. Kim menoleh ke atas, namun Pie sudah tidak ada di sana. Langkah kakinya yang cepat terdengar samar oleh Kim.
.
"Kim, kemari.." Pie mengetuk pintu kamar Kim.
Kim menghampirinya, "Ke..napa?"
"Ayolah.. Keluar dulu. Aku mau bertanya." ucap Pie menarik tangan Kim.
Kim berusaha menolak saat tangannya digenggam erat oleh tangan 'asing' milik Pie.
.
Keduanya terduduk di teras rumah dengan berlatarkan suara khas malam hari.
"Apa kau tahu beberapa tempat yang membuka lowongan pekerjaan?" tanya Pie antusias.
Kim terdiam menatap Pie dan berkedip cepat karena wajah Pie terasa lebih dekat saat bertanya.
Kim menggeleng, wajah Pie memundur dan menghempaskan nafasnya gusar. Ia lalu memegang kepalanya frustasi.
"Ahh.. Bagaimana ini? Aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini kalau tidak bekerja." suara Pie diakhiri dengan isak tangis yang ia buat sendiri.
Kim memperhatikan Pie dalam. Ada rasa kasihan yang teramat ketika melihat wanita mungil ini bingung karena belum mendapat pekerjaan.
.
Pagi hari yang amat membuat gadis berambut sebahu ini malas untuk keluar. Cahaya terang di balik jendela sana membuat matanya silau. Namun, tubuhnya seakan enggan untuk bergerak. Terlebih lagi, apa yang akan ia lakukan?
Pie menghempaskan nafasnya berat saat melihat sekeliling kamarnya. Berakhir dengan jam kecil di sebelah tumpukan buku tebalnya, Pie terdiam. Mencoba menetralkan dirinya setelah tidur nyenyak yang ditemani dengan hujan semalaman.
.
"Selamat pagi, bi.." sapa Pie setelah memutuskan untuk keluar dan menemani bibi Inn yang seperti biasa hanya mengurusi ladang kecil di depan rumahnya.
"Ah, ya.. Pie. Kau sudah bangun." ujar bibi Inn kembali melanjutkan pekerjaannya.
Pie duduk di teras dengan lesu, ia memperhatikan bibi Inn. Rambutnya hanya dibiarkan terjepit tanpa kata 'rapi'.
"Kau perlu bantuan, bi?" tanya Pie.
Bibi Inn menggeleng, "Tidak.."
Lalu terdengar nafas yang terhempas kasar dari Pie yang menyandarkan kepalanya pada tiang rumah.
"Ah ya, Pie.. Kim tadi menitipkan sesuatu untukmu." ujar bibi Inn yang bergegas masuk ke dalam mengambil 'sesuatu' yang ia maksud. Pie melihat bibi Inn sampai ia kembali lagi keluar dan memberikan secarik kertas kepada Pie.
"Ini."
"Apa ini, bi?" tanya Pie mengambil benda itu.
"Entahlah.. Kim hanya menitipkan ini untuk diberikan kepadamu." jawab bibi Inn lalu kembali pada tanah dan membungkuk membersihkan rumput liar di sekitaran tanamannya.
Pie membukanya dengan perasaan bingung, lalu ia membacanya dan tersenyum kecil.
.
"Ah, bi.. Aku akan segera kembali." Pie sedikit berteriak saat berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya.
Ditengoknya ke belakang, namun Pie sudah tidak terlihat oleh bibi Inn.
.
Pie mengitari jalanan besar di depannya. Ia memutarkan kepala mencari gedung yang dimaksud oleh Kim. Alamatnya tertera di atas kertas yang dipegangnya saat ini.
Pie kembali tersenyum saat mengingat bahwa Kim menulis ini semua, nama perusahaan, lengkap dengan alamat dan posisi lowongan kerja yang harus Pie coba.
Sepertinya lelaki itu mencari informasi semalaman, tanpa Pie ketahui.
.
"Permisi.." ujar Pie.
"Ya?"
Petugas keamanan bertubuh tegap itu menghampiri Pie.
"Maaf, pak. Apa benar di sini sedang ada lowongan pekerjaan?" tanya Pie dengan sopan.
"Maaf, nona. Kebetulan sudah terisi tadi pagi." jawaban sang satpam membuat wajah Pie terlihat kecewa.
"Baru saja iklannya saya lepaskan." tambahnya.
Pie tersenyum dengan paksa, "Emh.. Baiklah, pak. Terima kasih."
Setelah memberikan salam, Pie berbalik dan mencoret bagian nama perusahaan itu dan membaca alamat selanjutnya. Pie terus berusaha mendatangi alamat kantor yang diberikan oleh Kim. Namun, lagi dan lagi ia harus membuat bentuk 'silang' tepat di atas tulisan itu.
.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, Pie sudah tiba di alamat berikutnya. Sebuah cafe besar, ramai orang yang masuk dan keluar.
"Ini yang terakhir."
Pie menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Langkah kaki penuh semangat itu mendekat, membuat detak jantungnya tak beraturan karena takut kalau-kalau semua usahanya sia-sia.
.
"Silahkan masuk, nona." ucap seorang pelayan yang mengantarkan Pie ke tempat di ujung ruangan.
"Terima kasih.."
Pie melangkah masuk, map berisi surat lamaran dipegangnya erat.
"Selamat sore.."
Pie memberikan hormat kepala lelaki yang duduk di kursi dengan mata yang fokus pada laptop.
"Silahkan duduk." Suara beratnya membuat Pie terkejut. Ia lalu duduk dengan tergugup.
.
"Jadi kau sudah diterima?" tanya pelayan yang mengantar Pie tadi. Ia pula yang mengantar Pie untuk keluar dari tempat ini.
Pie tersenyum senang, "Iya."
"Kapan kau mulai bekerja?"
"Besok."
Pie kembali tersenyum.
"Emh.. Baiklah. Pastikan kau tidak terlambat besok."
Pie mengangguk paham, "Besok adalah hari pertamaku. Akan kuusahakan tidak akan terlambat."
"Baiklah.. Oh ya, namaku Kao. Kau?"
Wanita bernama Kao itu mengulurkan tangannya pada Pie, disambutnya dengan ramah, "Aku Pie."
.
Jalanan kota semakin ramai saat hari hampir malam. Senja, di ujung sana seolah tersenyum menyaksikan Pie yang tak henti-hentinya bersyukur. Meski pekerjaan yang ia dapatkan tidak sesuai dengan keahliannya. Tapi, setidaknya ia sudah bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa menopang hidupnya sendiri di kota besar seperti ini.
"Kau akan mulai ditraining besok. Jadi usahakan jangan sampai terlambat." pesan Kao sebelum keduanya berpisah di depan pintu cafe tadi kembali terngiang.
.
"Bibi.."
Pie muncul di balik pintu rumah bibi Inn yang tidak terkunci. Belum sempat ia menaruh tas ataupun masuk ke atas, ke dalam kamarnya. Ia sudah menyapa bibi Inn yang sedang membuatkan makan malam.
"Kau sudah pulang, Pie."
Pie tersenyum mengangguk, "Aku sudah dapat pekerjaan, bi."
"Benarkah? Ah, syukurlah.."
Bibi Inn menghampiri Pie dengan sumringah. Hari sudah gelap, Pie memutari kepalanya, belum ada tanda-tanda Kim pulang.
"Kim, belum pulang, bi?"
Bibi Inn menggeleng, "Mungkin sebentar lagi."
"Kalau begitu, aku bersihkan diriku dulu, bi." ucap Pie.
"Kalau sudah, segera ke bawah lagi, ya. Bibi sudah buatkan makan malam." suara bibi Inn terdengar saat Pie sudah tiba di atas kamarnya.
.
Bibi Inn memakan supnya dengan lahap, ia tak menyadari bahwa raut wajah Pie begitu tidak enak dipandang. Matanya terus melihat pagar depan yang gelap dan hanya ada satu lampu yang remang di sana. Sendok di tangannya belum ia masukkan ke dalam mulut kecilnya.
"Kim.. Belum pulang juga, bi." ujar Pie.
Entah rasa khawatir yang datang dari mana, Pie mengatakan itu tanpa melihat bibi Inn.
Bibi Inn mengangkat kepalanya dan menatap Pie, "Biasanya dia sudah pulang jam segini."
Pie kembali melihat ke depan pagar, masih senyap. Tak ada tanda-tanda bahwa Kim datang.

[NINE] KimPie LoveStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang