Allah Yuftah 'Alaikum

1.3K 132 4
                                    

-Awali Dengan Bismillah, Akhiri Dengan Alhamdulillah-

🌸🌸


“Tidak ada usaha dan doa yang sia-sia. Hal yang kamu anggap mustahil terjadi, bisa saja terjadi. Allah pemilik kalimah ‘Kun Faayakun' semua akan menjadi mungkin bila Allah ridho. Maka jangan pernah berputus asa, dan mintalah yang terbaik Pada-Nya.”


🌸🌸


Aku menatap pantulan diriku di depan cermin. Wajahku terlihat pucat, memang hari ini aku merasa kurang enak badan. Kepalaku sedikit pusing, dan tubuhku terasa lemas.
Ah sudahlah, mungkin hanya kelelahan saja.

Aku segera mengambil tas ransel berwarna cokelat. Aku segera turun untuk sarapan, ayah sudah menungguku di ruang makan. Ku tarik ujung bibirku agar membentuk lekukan senyum. Aku tidak mau membuat ayah sedih, aku ingin melihatnya tersenyum.

“Ayo sayang, sarapan.” titah ayah.

Aku mengangguk, dan langsung mengambil nasi goreng, mengisinya di piring milik ayah dan milikku.

Setelah dua puluh menit sarapan, aku segera meletakkan piring bekas aku dan ayah sarapan di wastafel.

Aku segera mengambil tas dan memakai sepatu, sedangkan ayah mengambil mobil dan menghangatkan beberapa menit mesinnya.

Ayah termasuk orang yang apik. Dia selalu menjaga kebersihan dan kerapian. Karena dari kecil ayah selalu mengajariku agar bisa merawat barang, maka dari itu aku selalu menjaga barang-barang yang ada di rumah.

Mbak Sami tersenyum padaku saat aku selesai menggunakan sepatu. Mbak Sami adalah Asisten Rumah Tangga. Ia sudah bekerja di rumah sejak delapan tahun tahun yang lalu, suaminya adalah satpam di rumahku.

“Mbak, Acha berangkat sekolah dulu, ya.” Aku menyalami Mbak Sami.

Dulu, saat Mbak Sami baru bekerja di rumah, aku sulit sekali berinteraksi dengannya.

Aku sering pingsan bila kelamaan berada di dekatnya, ya, karena dulu aku masih sangat lemah, siapapun yang menyentuh bahkan yang berpapasan denganku, bisa menimbulkan efek negatif untuk tubuhku, bahkan ayah sekalipun membuatku pingsan karena memelukku.

Lambat laun, aku sudah bisa berinteraksi dengan baik bersama ayah dan beberapa Asisten Rumah Tangga, serta bersama guru homeschooling yang mengajarku.

🌸🌸

Aku berjalan pelan menuju kelas, setelah kejadian seminggu yang lalu aku memutuskan untuk selalu berjalan di tempat yang ramai.

Walau aku tahu risikonya, tapi aku tidak ingin kejadian kala itu terulang lagi, sungguh, aku tidak sanggup.

Saat sudah berada beberapa meter dari kelasku, aku terkejut sekaligus senang melihat Jonathan.

Ya, mungkin Allah memberiku kesempatan untuk meminta maaf padanya. Setelah seminggu ia tidak sekolah dan tanpa kabar, hari ini ia masuk lagi. Aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti.

Bruakkk

‘Allahu,”

Aku terkejut, bahu kananku terasa sakit akibat tertumbur bahu seorang perempuan yang aku kenali.

Dia teman kelasku, aku berusaha untuk bangkit, namun lagi-lagi kakiku lemas. Beberapa pasang mata yang melihatku tersungkur ingin menertawaiku, tapi tidak jadi saat melihat Jonathan berlari ke arahku.

“Maaf ya, Cha. Aku tidak sengaja,” ucap Syilla. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku. Namun, Jonathan langsung berdiri di hadapanku, aku sempat terkaget melihatnya.

“Lain kali jalannya hati-hati.” ucap Jo dengan datar, ia mengisyaratkan agar Syilla segera menyingkir.

Aku merasa tidak enak dengan Syilla, semua ini tak lain juga salahku karena tidak hati-hati.

Aku berusaha berdiri tangan kiriku memegangi dinding yang berada di sebelahku. Tapi mataku tiba-tiba kabur, dan kepalaku terasa kembali pusing, dan….

Semuanya gelap.

🌸🌸

Aku membuka mataku, aku melihat ada bu Ros dan Jonathan di kursi ruang tunggu. Aku memijit dahiku yang terasa nyeri. Aku mengingat kembali bagaimana aku bisa pingsan, dan ternyata itu karena aku terjatuh.


“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Cha.”

Bu Ros berjalan mendekati ku, aku berusaha tersenyum ke arahnya dan juga Jonathan.

Keduanya nampak serius melihatku, aku berusaha bangkit saat ku lihat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku telah kehilangan dua jam pelajaran, dan, ada Jonathan di sini, apa dia tidak masuk kelas?

“Bagaimana keadaannya, Cha?” Jonathan menatapku dengan raut wajah yang sulit diartikan.

Aku mengucap istighfar berulang kali, badanku benar-benar terasa bergetar. Wallahi, badanku benar-benar lemas. Rasanya tak sanggup untuk berjalan.

“Bu, Acha mau masuk kelas. Acha baik-baik aja kok.” ucapku memastikan.

Aku berusaha bangkit dari atas bed. Bu Ros menatapku iba. Mungkin ia takut untuk menyentuhku. Ya, aku tahu dari ayah kalau bu Ros adalah guru yang tahu dengan kondisiku.

“Bu, Nathan ke kelas dulu ya.” Pamitnya, dan memasang sepatu tidak jauh dariku.

Aku masih fokus mengikat tali sepatuku, kemudian aku berusaha bangkit. Aku ingin menyalami bu Ros, namun mendadak rasa gemetar kembali hadir dalam diriku.

Pikiranku seolah ada rasa kekhawatiran yang membuatku ingin menjerit ketakutan, namun aku berusaha untuk menahannya.
Aku berjalan pelan, aku merasa Jonathan mencoba mengiringi jalanku, aku Ingin berterima kasih padanya. Karena ia telah menolongku lagi, aku semakin merasa bersalah padanya, ia benar-benar tulus ingin berteman denganku.

“Jonathan,”

“Acha,”

Kami berbarengan, aku sempat berhenti melangkah dan menunduk semakin gugup. Aku memang sudah sering melihat Jonathan, namun rasa takut itu juga sama. Berinteraksi dengan orang asing tak mudah seperti yang orang lain bayangkan.

Aku terkadang berusaha keras agar bisa bersikap biasa saja dan agar bisa menghapus semua yang dokter pernah katakan tentangku, namun, apalah dayaku. Aku tidak bisa, aku lemah.

“Kenapa Cha?” ucapnya. Aku menarik napas panjang. Bahkan untuk mengucap kata terima kasih saja lidahku seakan keluh.

“Semoga Allah membalas kebaikanmu. Dan, terima kasih, Jo.” ucapku, akhirnya aku bisa mengucapkan kata terima kasih pada orang yang telah membantuku.
Jonathan tersenyum ke arahku, ia mengangguk seolah menmberikan jawaban dari ucapanku tadi.

“Maa-af, aku, mau menjadi, temanmu.” lanjutku. Kali ini aku tidak bisa menahan rasa gemetar di tubuhku.

Oh, Allah. Bagaimana caranya agar hamba bisa menjadi manusia seperti pada umumnya. Untuk berbicara satu kata pun hamba harus mengeluarkan tenaga. Allah, apakah hamba tak ada kesempatan untuk sembuh? Hamba ingin memiliki banyak teman, seperti remaja pada umumnya. Allah, maafkan aku, aku terlalu egois meminta ini pada-Mu. Maafkan aku, Ya Rabb.

“Hei, kenapa melamun.” Jonathan berhasil membuyarkan lamunanku. Tubuhku semakin gemetar. Aku takut akan jatuh pingsan lagi, maka dari itu aku memilih menepi, untunglah di dekatku ada kursi tempat membaca buku.

“Kamu kenapa, Cha? Kamu baik-baik saja?” Jonathan berdiri tidak jauh dariku duduk. Aku berusaha menggelengkan kepalaku, aku tidak ingin merepotkan dia untuk yang kesekian kalinya.

“Cha,”

Aku menoleh, menatap sekilas Jonathan yang sesekali membuang pandangannya agar tak beradu kontak mata denganku. Aku bangga padanya, walau ia seorang non muslim, namun, ia mengikuti kewajiban dari seorang muslim.

“Cha, kamu perempuan yang kuat. Aku yakin, suatu saat kamu pasti sembuh. Kamu pasti bisa, kamu pasti akan sembuh dan phobia yang kamu alami akan hilang. Jika kamu bersungguh-sungguh dan berusaha, aku yakin, Cha.”

Deggg

Aku terkejut mendengae ucapan Jonathan. Wallahi, apakah dia mengetahui latar belakangku? Dari siapa? Haruskah aku senang atau sedih.

“Iya, Cha. Aku tahu latar belakangmu. Maaf, jika aku lancang mengetahui peivasi mu. Puji Tuhan, aku akan mencoba membantumu sebisaku.” ucapnya.

Allah, aku tidak menyangka ia bisa setulus itu untuk membantuku.
Allah, hatinya benar-benar baik. Semoga Engkau berikan hidayah pada-Nya dan mengetuk hatinya untuk memeluk agama-Mu. Agama yang sempurna ini.

“Cha, aku bersama kedua temanku. Yusuf dan Adam, kami akan mencoba membantumu. Kami yakin, suatu saat kamu pasti sembuh. Tidak ada usaha yang sia-sia, Cha. Bukankah begitu? Aku sangat menghargai kerja keras dan perjuanganmu melawan sebuah trauma itu. Jika kamu izinkan, maka tetaplah menjadi temanku.” ucapnya.

“Aku dan temanku tahu batasan kami.” lanjutnya. Ucapannya sempat membuatku tercengang sesaat.
Aku mengangguk pelan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan teman sebaik Jonathan. Aku tahu batasanku dengannya, tetapi, ada dua temannya yang tidak akan membuatku hanya berduaan dengannya.
Allah, ridhoi hamba. Semoga, teman-teman hamba, bisa membantu hamba. Hamba serahkan semuanya kepada Engkau, wahai Rabb-ku.

“Terima kasih, Jo.”

🌸🌸

-Awali Dengan Bismillah, akhiri dengan Alhamdulillah-

Qalbu {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang