Bagian 2

812 44 0
                                    

💧💧💧

Aku mencoret kertas daftar belanjaan yang berada di tanganku. Aku mendorong troli menuju bagian buah-buah. Aku tinggal mengambil anggur, melon, pir dan pisang. Aku memilih dengan hati-hati buah-buahan yang akan kubeli. Setelah mengambil anggur yang merupakan barang terakhir yang harus dibeli aku segera membawanya ke kasir dan membayarnya.

Kudorong troli sampai ke depan supermarket. Dan aku tidak menyangka bahwa selama aku belanja tadi hujan telah turun. Aku tersenyum senang melihatnya, kutadahkan tanganku membiarkan air hujan membasahi tanganku. Aku senang sekali melihatmu hujan. Aku memandangi hujan yang lumayan deras itu dengan kagum. Aku harus mengambil mobil untuk menaruh barang-barang ini tapi aku masih betah berlama-lama menatap hujan. Lebih baik aku mengambil mobil dan menikmati hujan ini di rumah. Ide bagus Flair.

Aku berlari menerobos hujan deras ini dengan menjadikan tanganku sebagai payung yang tentu saja tidak berefek untuk melindungiku. Untung saja mobil tidak kuparkir jauh dari pintu masuk supermarket. Aku masuk ke dalam mobil dengan pakaian yang cukup basah tapi aku tidak keberatan, aku menyukainya.
Aku segera membawa mobil ke depan pintu supermarket dan memakirkannya.

Segera ke luar dari mobil dengan berlari-lari kecil. Mengambil belanjaanku dari dalam troli, memasukkan tas-tas plastik yang lumayan banyak itu dengan cepat ke dalam bagasi. Yang terakhir adalah karton yang berisi berbagai macam minuman berukuran botol besar. Ah, yang ini berat. Aku mengigit bibir, aku kuat, aku pasti bisa mengangkatnya. Aku mengambil karton itu dari troli dan mengangkatnya. Karton ini sangat berat, kakiku gemetar menahan beban. Aku melangkah dengan perlahan menuju bagasi mobil.

“Kubantu.” Karton berisi botol-botol minuman itu sudah terbebas dari tanganku dan beralih tangan pada seorang laki-laki. Dia membawa karton itu dengan mudahnya tanpa merasa susah.

Aku mengikutinya dari belakang. Dimasukkannya karton itu ke dalam bagasi lalu ditutupnya bagasi mobil. Setelahnya dia membalikkan badannya dan di saat itu aku seperti terkena sengatan listrik.

Rance saat ini berada di depanku. Dia yang baru saja menolongku dengan mengangkat karton itu. Aku menelan ludah dengan susah payah melewati tenggorokan.

“Apakah itu yang terakhir?” Suara Rance mengalir dengan lembutnya ke dalam indera pendengaranku.

Aku mengangguk kaku.

“Kenapa kau tidak meminta tolong pada pekerja di dalam?” Tunjuknya ke dalam supermarket. “Karton itu sangat berat.” Katanya. Dahinya mengerut dalam, seperti dia khawatir padaku.

Aku tersenyum kecil, “aku tidak kepikiran sama sekali. Terima kasih sudah membantuku.”

“Lain kali ingatkan dirimu untuk meminta tolong.” Dia menatapku tajam yang membuatku merasa bersalah. Entah merasa bersalah akan apa dan pada siapa.

“Terima kasih sekali lagi. Aku duluan.” Aku berbicara dengan tenang dan berusaha untuk segera kabur.

Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengannya. Debaran jantungku terlalu cepat, nafasku terasa sesak, kakiku seperti kehilangan kekuatannya untuk berpijak. Aku tidak pernah berbicara hanya berdua dengannya sedangkan ketika dia bersama teman-temannya di sekolah pun, aku tidak pernah berbicara dengannya, bertegur sapa pun tidak pernah. Katakanlah aku beruntung atau apapun itu tapi saat ini aku hanya ingin pergi dari sini. Aku mengambil langkah cepat menuju bagian depan mobil namun sebelum mencapai pintu pengemudi suaranya membuatku menghentikan langkah.

Hei, jangan mempermainkan jantungku. Kau tidak tahu seberapa keras dia bekerja karena berhadapan denganmu, boy.

“Apa hanya itu?”
Aku membalikkan badan menatapnya tidak mengerti. Apa maksud pertanyaannya itu.

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah menolongmu.”

Iya soal itu aku sudah tahu dan aku sudah berterima kasih. Lalu apa lagi?
Aku memiringkan kepalaku dan menatapnya menunggu perkataan selanjutnya.

“Pulanglah. Hujan sudah semakin deras.” Dia tersenyum kecil padaku. Lalu menunjuk hujan yang memang semakin deras.

Aku mengangguk ragu, “oke.. aku duluan.” Kataku sedikit terbata.
Aku berjalan memasuki mobil dan membawanya meninggalkan supermarket itu. Aku tidak mengerti, tunggu sebentar ah! benar! Aku harus membalas budinya. Kenapa kau tidak peka sekali, Flair. Ingatkan aku untuk membalas budinya entah kapan itu.

💧💧💧

“Philip,” panggilku pada laki-laki berbadan kekar yang tengah duduk bersandar di ranjangku.

Dia menjawab panggilanku dengan gumaman. Aku berbaring terlentang sambil menatap kosong langit-langit kamar.

“Tadi aku bertemu dengan Rance,” ujarku pelan.

Kurasakan kasur bergoyang dan kulihat Philip sudah duduk di sebelahku dengan tatapan penasarannya. Aku memainkan boneka bebek yang berada di tanganku.

“Di supermarket. Dia menolongku mengangkat satu karton berisi botol-botol besar minuman.” Sambungku padanya.
Aku tersenyum, “aku tidak pernah menyangka akan berbicara empat mata dengannya. Haaa~ aku sudah menggunakan seluruh keberuntunganku.”

“Itu hal yang bagus Flair. Siapa tahu saja akan ada kesempatan-kesempatan yang lain. Jangan pesimis.”
Philip menjitak kepalaku pelan. Aku mendengus, menatapnya kesal. Boneka bebek yang ada di tanganku menjadi senjata untuk memukulnya.

“Jangan.. menjitakku..”

“Aww aww oke maaf.” Dia melindungi badannya dengan kedua tangannya.

Aku berhenti memukulinya, menatapnya dengan tajam. Aku melempar boneka itu padanya lalu duduk bersandar di kepala ranjang.

“Hei, maaf.” Philip bergerak mendekatiku dengan wajahnya yang lesu. Dia mengambil tanganku lalu mengelusnya.

“Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kau tahu kan aku terkadang kelepasan karena terlalu gemas denganmu.”

Aku melotot mendengar kata-katanya barusan. Laki-laki ini benar-benar.

Kulepas tanganku yang berada di genggamannya. “Kau harus menraktirku ramen, green tea cake, dan membelikanku case ponsel yang baru dengan desain hujan.”

Philip menatapku tidak percaya, mulutnya menganga sambil menatapku memelas.
“Tidak. Traktir dan belikan aku atau tidak kumaafkan.” Ucapku tegas.

Dia mengangguk lesu, “oke.” Jawabnya tanpa semangat.

Aku menatapnya dengan senang lalu memeluknya dengan erat.  “Kau yang terbaik Philip.” Pipinya kucium dengan hati yang senang, namun dia sama sekali tidak bersemangat dan memalingkan wajahnya. Kasihan tapi salahnya sendiri, sudah tahu aku sangat tidak suka dijitak, masih dilakukan.

“Philip, apakah kau tidak mencari seorang kekasih? Maksudku di sekolah banyak yang mendekatimu, kau tampan, berbadan atletis, pandai tapi kenapa tidak ada satu pun yang kau iyakan?” Aku melepas pelukanku pada lengannya, menatapnya dengan penasaran. Pura-pura penasaran lebih tepatnya.

“Aku sedang tidak tertarik untuk menjalin hubungan seperti itu dengan siapapun. Biarkan aku fokus dengan diriku sendiri. Mereka hanya akan menyusahkanku nanti,” jawab Philip.

Dia menyandarkan kepalanya di kepala kasur. Matanya menatapku dengan teduh. Aku mendekat padanya lalu menyenderkan kepalaku di bahunya.

“Oke, alasan diterima.”

Rambutku dielus dengan pelan oleh Philip. Aku membuat diriku nyaman di bahunya lalu mulai memejamkan mata. Elusannya di kepalaku membuat mataku berat, aku jadi mengantuk. Dan akhirnya seperti biasa, aku tertidur dengan kepalaku yang bersandar di bahunya.

I Choose Rain Over You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang