Bagian 7

491 44 0
                                    

💧💧💧

Sudah empat hari sejak hari itu, hubunganku dengan Flair yang kurasa ada kemajuan seperti mundur perlahan.

Aku tetap mengirimkannya pesan-pesan singkat yang ditanggapi Flair seadanya. Aku masih sering menelponnya tiap malam yang hanya sekali diangkatnya dan berbicara dengan singkat. Ketika berada di sekolah pun kami tidak saling menatap seperti sebelumnya. Hanya ada aku yang selalu menatapnya dengan diam-diam. Sama seperti satu tahun sebelumnya.

Aku berencana akan menemuinya hari ini di rumahnya. Aku tahu Flair tidak suka menjadi pusat perhatian walau pun tanpa dia sadari, dia sudah menjadi pusat perhatian tapi dia tidak ingin aku dan dia bercengkrama di sekolah. Dia berkata sudah cukup tatapan mengejek yang diterimanya, dia tidak ingin menambah dengan tatapan tidak suka.

“Sudah berapa hari ini kau lesu. Ada apa, kau bisa bercerita pada kami?” Tanya Tessa dan menatap khawatir padaku.

Aku menggeleng lesu. “Tidak ada apa-apa.”

“Jawabanmu dengan gerak gerik dan ekspresimu mengatakan sebaliknya, teman.” Kris berujar.

Aku menunduk, menatap lantai kafetaria dengan lesu. Mengusap wajahku dengan kasar lalu menghembuskan nafas berat.

“Aku mengecewakannya.”

“Siapa? Jangan katakan.. Flair?” Samantha bertanya.

Aku diam tidak menanggapi pertanyaan Samantha.

“Yang benar saja Rance. Kenapa seleramu jadi murah seperti itu?”
Benar, yang berkata itu adalah Charlotte.

Aku mengangkat kepala lalu menatapnya dengan dingin.
“Kau yang murah terbukti dari kata-katamu yang murahan.” Aku berkata dengan tajam dan menahan amarah.

Beraninya dia menghina Flair, yang pantas dihina adalah perempuan ini.
“Punya cermin? Bercermin kalau punya, kalau tidak punya beli cerminmu. Harusnya kau bersyukur aku masih mau berteman denganmu terlepas dari fakta kau yang menusukku dari belakang.”

“Sudah Rance. Kau berlebihan.”
Kuharap telingaku salah mendengar kata-kata itu tapi tidak, terlalu jelas menyapa telingaku.

Berbalik menatap Kris dengan tajam.

“Berlebihan katamu? Ketika gadis yang kau sukai dibilang murahan apa responmu?”
Aku membentak Kris. Aku tidak percaya dia berani berkata seperti itu. Aku menatapnya penuh amarah, tanganku sudah mengepal dengan kuat.

Tanpa banyak bicara lagi aku berlalu meninggalkan mereka. Terserah kalian mau mengatakan Flair aneh, orang gila, atau apapun itu tapi tidak dengan murah. Itu sama saja menginjak dan menghancurkan harga diriku.

Ibu Flair menatapku dengan senyuman hangat. “Hei. Rance kan? Mencari Flair? Akan kupanggilkan. Masuk dan duduklah.”

Ibu Flair membawaku masuk ke dalam dan menyuruhku duduk di sofa ruang tamu.

Aku berada di rumah Flair karena tekadku yang harus bertemu dengannya untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi.

Aku tersenyum menanggapi, “terima kasih nyonya Addison.”

“Panggil aku Allegra. Tunggu sebentar.” Seru Allegra dengan ceria dan semangat.
Aku tahu dari mana Flair mendapati jiwa semangatnya itu.

Aku tidak melakukan banyak hal. Hanya duduk diam dan menunggu Flair turun ke bawah sambil mengedarkan mata memerhatikan isi rumah Flair.

“Ada apa?” Aku merindukan suara itu, sudah dua hari aku tidak mendengar suaranya.

Aku menolehkan kepala menatapnya yang sudah duduk di depanku. Tidak ada semburat kecil berwarna merah muda itu di pipinya, tidak ada sikap malu-malu darinya, tidak ada kehangatan dari matanya, tidak ada nada ceria dari suaranya.

Aku menghela nafas lalu menghembuskan pelan. Salahku yang membuatmu seperti ini Flair.
“Aku hanya ingin berbicara denganmu.”

“Bicaralah.” Ucapnya dengan singkat yang membuatku sesak.

“Aku.. maafkan aku karena mengabaikanmu di pesta dan maafkan aku karena perkataan teman-temanku. Aku tetap memaksamu untuk menemaniku dan berkata ada aku tapi faktanya tidak seperti itu. Aku melupakanmu sejenak, aku menggigit lidahku sendiri. Aku bersalah, aku minta maaf,” jelasku.

Flair menatap kedua mataku seolah mencari kebenaran, mencari tahu apakah aku benar-benar merasa bersalah. Aku sangat merasa bersalah asal kau tahu Flair.

Flair menghembuskan nafas, “sudahlah Rance lupakan saja hari itu. Aku tidak ingin mengingatnya lagi.”

“Maaf Flair.”

Flair tersenyum kecut, “aku tidak tahu alasanmu memaksaku hari itu tapi aku benar-benar tidak suka pesta. Sudahlah salahku juga yang percaya padamu.”

“Flair..”

“Rance, tidak apa-apa. Kau kumaafkan, kita teman kan. Sepertinya itu juga akan menjadi terakhir kalinya aku menghadiri pesta. Ternyata ramai dan seru juga.” Sinisnya padaku. Aku mengutuk diriku yang membuatnya seperti ini.

“Flair. Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?”

“Untuk apa? Kau kan hanya temanku. Tidak apa-apa Rance, lain kali jika ada gadis sepertiku kau sudah tahu harus berbuat apa. Masih ada lagi yang ingin kau bicarakan?” Dia berkata dengan senyuman yang tidak bisa kutebak apa artinya.

Aku menatapnya dengan lesu dan rasa bersalah lalu menggelengkan kepala.
“Aku pulang. Aku akan mengirimkanmu pesan setibaku di rumah.”

Dia hanya mengangguk lalu mengantarku ke luar rumahnya.

Bodoh. Susah payah kau memberanikan dirimu untuk mendekatinya dan ini yang kau perbuat Rance. Jika kau benar-benar mencintainya kau tidak akan berbuat seperti itu.

Aku menyesal Flair. Aku takut, hubungan kita yang di mana aku berharap banyak, aku sudah membayangkan menjadi kekasihmu dan satu kesalahan membuat air jernih itu kabur.

I Choose Rain Over You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang