Eight

8 1 0
                                    

Aku memeluknya spontan, Livya menangis bebas dipelukanku. Air mataku ikut berjatuhan mendengar tangisan nyerinya, Aku memang tidak tau apa penyebanya, namun keadaan sahabatku saat ini berhasil membuatku seperti ikut ambruk.

Semua orang di rumah ini kebingungan melihatku yang langsung memeluk Livya, dan Livya yang tiba-tiba menangis bebas dipelukanku.

"Nissa, siapa wanita ini?" tanya Ummah Halimah mendekatiku.

"Dia, siapa Nissa?" selah Tante juga mendekatiku.

Kak Reza seperti ingin bicara menjelaskan semuanya, namun melihat Ummah Halimah yang seperti kecewa dan menatap Livya dengan sinis, membuatnya menunduk diam sebelum ditanya.

Tante menghela nafas panjang, menenangkan suasana, "Reza! Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu di kamar belakang, disana ada pakaian Om Raden!" kata Tante Nitta.

"Dan Nissa? Ajak gadis ini ke kamarmu, kasih ganti pakaian kamu saja, nanti jelasin semuanya dalam keadaan tenang!" sambungnya padaku.

Aku mengangguk pelan, memapah Livya membawanya ke kamarku.

"Nissa?" suara panggilan Tante menghentikan langkah kami berdua, Aku berbalik, "Sekalian obati lukanya, dan jangan lupa nanti kalau keluar kasih dia jilbab!" sambung Tanteku.

Livya hanya menunduk tak menanggapi setengah sadar, Aku mengangguk lagi dan melanjutkan langkah.

"Sudahlah Ummi! Jangan suudzhon dulu, dengarkan nanti penjelasan Reza!" kata Abi Yahya terdengar jelas menenangkan Ummah Halimah.

Saat di kamar aku menyuruhnya mengganti pakaian dan mengobati luka-lukanya, mengompres wajah lebam yang berwarna ungu, membalut luka tangannya yang lumayan parah. Livya hanya menangis dan memegang dadanya, rasanya seperti kehilangan banyak keceriaan jika melihatnya seperti ini.

"Liv, kenapa?" tanyaku pelan.

"Dia pengkhianat! Mereka semua pengkhianat, Sa!" balasnya menatapku sambil menangis histeris.

"Ceritakan pelan-pelan, Liv. Tenanglah!" balasku berusaha menenangkan.

Livya's flashback..

Waktu pagi, Aku bahagia saat Bi Isni pembatuku bilang Papa mau pulang, makannya aku menyiapkan semua makanan untuk menyambut Papa dan Mama baruku.

Bi Isni pergi keluar, diantar Pak Dudung. Aku menyuruhnya membeli sedikit makanan yang lain untuk menyambut mereka. Jadi posisiku dirumah waktu itu sendirian.

Sore, kudengar mobil Papa datang. Aku bahagia, karena setelah satu bulan berlibur dengan istri barunya, akhirnya pulang juga. Papa datang dengan orang-orang tak dikenal, bersorak-sorak bahagia di ruang tamu. Aku kira mereka rekan bisinis Papa, aku turun kebawah untuk melihat, namun tak kutemukan Mama Diana disana. Aku hanya melihat botol minuman keras berjejer diatas meja dan melihat Papa yang sempoyongan lemas diatas sofa dikelilingi empat wanita murahan! Menjijikan melihatnya seperti itu. Papa seperti sedang kehausan wanita dengan perlakuannya yang liar, benci sekali aku harus melihat adegan ini! Aku berteriak keras.

"PAPA!"

"Kalian siapa hah? Berani sekali membuat Papa ku seperti ini! Pergi!" sambungku membuat mereka semua terdiam.

"Hei? Ayolah sayang, Papa hanya bersenang-senang keatas awan, hahaha," selah Papa mencubitku menjijikan, Dia bukan Papaku!

"PA!" aku menarik kerah baju Papa, menatap matanya berharap Papa sadar.

Papa menjambak rambutku lalu membanting diriku kelantai, menendangku tiba-tiba menyiksaku seperti hewan. Aku menangis.

"Sakit?" tanyanya padaku, Papa mendekatkan wajahnya padaku seperti orang yang sedang kesurupan.

POWER OF LAUH MAHFUDZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang