Bab 1: Abinaya dan Arianna

8.1K 231 5
                                    

Kata orang, persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu cuma omong kosong dan itu sebuah kebenaran.

 

(ABINAYA)

Raja siang masih setia menyinari tidak bulatnya bumi yang gue pijak. Ada kehangatan dan rasa kesal yang menyeruak ketika semu bernama udara hanya terasa begitu semilir. Tidak ada yang menarik, kecuali sepatu tak ber-hak putih yang saat ini sedang gue pandangi. Beribu ide sudah muncul dalam rangkaian otak gue yang kata banyak orang cerdas. Gue sih percaya aja, karena kenyataannya selama 17 tahun gue hidup tidak ada satu pun pelajaran yang menurut gue sulit. Bukan sombong, tetapi sebagai manusia yang baik gue hanya mensyukurinya.

“Mau diapain itu sepatu?”

Itu suara Irvin. Lebih lengkapnya Irvin Arganta Yuda. Dia manis dengan jambul yang selalu ditata dengan minyak rambut. Sesekali, salah satu sahabat gue ini pasti memakai kacamata. Itu dilakukannya karena sepasang bola mata coklat tersebut punya minus. Kalau bicara tentang badan, dia kurus tapi masih punya otot. Dia keren dan gue selalu suka berdampingan dengan dia dalam melakukan kejahatan kecil yang menurut kami menyenangkan.

Gue menyerahkan sepatu itu pada Irvin. Cowok itu menerimanya dengan tatapan bingung seakan gue menyuruhnya memakai sepasang sepatu yang jelas-jelas diperuntukkan pada manusia berjenis kelamin perempuan. Gue hanya dapat menyeringai pikiran bodoh itu. Meskipun tak terkatakan, tapi gue tahu bahwa itu ada di dalam otaknya yang kadang suka berpikiran dangkal.

“Bukan buat lo, tapi buat cewek lo!” ucap gue singkat.

Irvin mengernyitkan dahinya. Dia lagi-lagi berpikir. Entah apa yang ada di dalam otaknya sekarang ini. Setahu gue cewek Irvin cuma satu dan itu adalah Clarinta Amanda. Si cantik bertubuh kurus yang hampir sepuluh tahun ini menjadi sahabat gue dan juga Irvin. Cewek manis dengan hidung mancung dan bola mata biru yang sangat memikat. Cewek bertalenta yang telah diakui sebagai model remaja terpopuler saat ini. Cewek memesona dengan kelemah lembutan yang membuat gue mau tidak mau mengakui satu teori: persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu cuma omong kosong.

“Lo nggak datang ke acara ulang tahun-nya, Rinta?”

Gue hanya menggeleng. “Gue harus ke Bali sore ini.”

“Hah? Mau apa?”

Gue hanya dapat tersenyum sedih. Gue harap senyum ini dapat mengalir ke otak Irvin. Gue harap Irvin paham bahwa gue sedang malas untuk merayakan hari jadi Clarinta dengan kekasihnya yang notabene adalah sahabat gue sendiri. Tapi, harapan itu sepertinya mustahil. Senyum ini pasti tidak mengarahkan Irvin pada pesan itu. Karena itu gue tidak mengatakan apa pun. Karena diam bukan berarti gue tidak ingin memperjuangkannya. Gue hanya tidak ingin kehilangan salah satunya atau bahkan keduanya.

“Liburan akhir tahun bersama keluarga besar.”

***

FLASBACK…

“Gue tahu kita sudah bersahabat dari kecil. Tapi, itu bukan sebuah alasan yang membuat gue atau pun lo menyembunyikan perasaan yang sama-sama kita rasakan. Gue sayang sama lo, Rin. I’m fallen in love with you, my bestfriend. Gue nggak janji sampai berapa lama perasaan ini akan terus ada, tapi gue akan tetap berusaha agar perasaan ini terus berkembang. Will you be my girlfriend?

Pertanyaan itu keluar dengan begitu lancar bukan dari mulut gue. Itu suara Irvin. Itu suara hati gue, tapi dinyatakan dengan begitu jelas oleh seorang Irvin Arganta Yuda, sahabat baik gue. Gue hanya dapat mematung seperti orang bodoh yang sedang menikmati kekalahan. Irvin benar-benar menang. Dia bisa meraih seorang Clarinta Amanda, sedangkan gue hanya akan menjadi sahabatnya. Untuk selamanya, gue rasa.

7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang