Bab 4: Keluarga Basupati dan Aria

2.8K 189 1
                                    

“Selain teman, hanya keluarga yang memahami setiap detail tanpa kata terangkai yang terjelaskan.

 

(ARIANNA)

Sebuah rumah besar dengan desain kayu yang terasa hangat terlihat kokoh di balik jejeran rimbunan pohon beringin yang berdiri lurus bagaikan sebuah pagar. Taman depan yang luas dengan rumput segar berwarna hijau terpampang rindang dengan apik. Barisan mobil mahal ikut menghiasi area depan rumah mewah namun terkesan hangat tersebut. Jeep yang dikemudikan Pak Arya berhenti dengan cerdas di pelataran parkir, persis disamping si mahal BMW sport berwarna hitam. Abinaya yang duduk di depan, langsung membukakan pintu belakang di mana aku sejak tadi duduk dengan cantik.

“Selamat datang di rumah keluarga Basupati.”

Itu kata Abinaya. Cowok itu menyebutkannya dengan lantang tanpa sedikit pun ada gagap di jilid katanya. Aku benar-benar tidak menyangka. Sepertinya aku salah kira. Abinaya Nandana Basupati bukan salah satu putra dari keturunan keluarga biasa. Dia lebih dari itu. Tampaknya saat aku nanti mengunci diriku di dalam sebuah ruangan terisolir, aku sesegera mungkin membuka sebuah situs di mana semua jawaban di dunia ini diketahuinya. Aku yakin situs itu juga mengenal keluarga ini.

“Kenapa bengong?” tanya Abinaya dengan raut cemas.

Aku menatapnya polos. Lalu menggeleng lemah. Namun, aku tahu dia tidak puas dengan gerakan kepalaku. Dia membutuhkan jawaban pasti mengapa wajahku terlihat seperti orang bodoh sekarang ini. Pasti tidak menyetuh elegan sama sekali. Maklum, keluargaku biasa saja. Kakekku memang memiliki sebuah perusahaan garmen yang cukup besar, tapi aku rasa tidak sampai membuat pameran mobil mewah di pelataran parkir rumah pribadinya sendiri. Ini terlalu luar biasa dan terlalu asing untukku yang menganggap bahwa keluarga dengan jabatan dan kekayaan melimpah tidak akan tersentuh olehku.

“Tidak apa-apa.” sahutku dengan lemah.

“Yakin?”

Aku mengangguk pasti. Kali ini lebih meyakinkan.

Abi menatapku tajam. Namun, raut bingungnya mulai hilang. Dia mulai yakin aku baik-baik saja. “Baiklah. Ayo, masuk!” ajaknya padaku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Kemudian mengikutinya memasuki sebuah pintu besar dengan ukiran kayu yang begitu rapi. Sekilas aku memperhatikannya seperti Anggrek. Karya seni yang cantik, nilaiku. “Mereka biasanya ada di taman belakang, pada saat sore begini.” gumam Abi sambil tersenyum kecil padaku dan memimpin jalan melewati ruang tamu yang tidak terlalu besar. Cukup sederhana.

Sampai di ruang tengah, aku mulai melihat segala bentuk kemewahan yang bertebaran dengan jelas. Di sana terdapat dua buah sofa panjang dengan warna yang berbeda. Beberapa sofa-sofa kecil tampak mengelilingi yang seluruhnya menghadap pada sebuah televisi layar datar yang sangat lebar. Alat sound system juga ikut terpasang dengan apik hingga membentuk sebuah ruang keluarga yang penuh permainan. Tak jauh dari ruang tengah terdapat sebuah tangga besar melingkar yang menyambungkan antara ruang bagian bawah dengan atas.

Di samping tangga, ternyata terdapat sebuah pintu kaca dorong yang langsung membawa kami berdua pada sebuah taman belakang yang mengakses Samudera Hindia dengan jelas. Taman belakang yang sangat luas itu memiliki tiga area, pertama area pantai pribadi, lalu kedua adalah area kolam renang dan yang terakhir adalah area taman dengan rumput hijau yang terhampar luas persis di area depan pelataran parkir. Dari pintu kaca ini, aku dan Abinaya dapat melihat jelas beberapa orang sedang duduk di area taman yang memiliki beberapa bangku kayu panjang dan juga ayunan kayu yang unik. Mereka terlihat melihat ke arah kami sambil melambai-lambai menyapa kami.

Abinaya terlihat sumringah. Matanya menangkap manikku. Dia menyentuh bahu kecilku yang tingginya tidak terlalu jauh dari letak bahu bidangnya. “Keluargaku sudah lengkap.” ujarnya memberi tahu. Dia tampak mengusap pelan bahuku, seperti tahu kalau aku sedang tegang. Ah… seperti bertemu keluaga calon suami saja, pikirku konyol. “Santai saja. Mereka tidak menggigit. Cuma sedikit kepo.” Jelas Abinaya yang mau tak mau membuatku terkekeh kecil mendengarnya. Ya, sejak perjalanan ke sini Abinaya sudah menjelaskan perihal anggota keluarganya yang disebutnya nyentrik. “Ayo kita ke sana.” ajak Abinya santai sambil membimbingku ke arah di mana keluarganya semua berkumpul.

7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang