Bab 2: Pertemuan di atas awan

3.6K 192 1
                                    

Dalam hidup ini ada beberapa hal yang tidak bisa kita cegah. Salah satunya adalah pertemuan.

 

(ABINAYA)

Sudah lebih dari tujuh bulan gue tidak duduk di sini. Di sebuah rangka berwujud yang menerbangkan gue di angkasa. Agak lucu, ketika mengingat alasan kenapa gue bisa duduk di sini. Bukan karena keinginan gue, melainkan ada sesuatu yang gue hindari dan sesuatu itu berbentuk cantik. Namun, gue lega bisa duduk di sini. Ada rehat dari rutinitas patah hati. Ada jarak dari tindakan yang bisa membuat ulu hati ini hancur berkeping-keping. Sebuah ucapan penanda rindu mungkin akan tersemat setelah urusan tentang pulau dewata selesai. Semoga saat itu gue pun bisa sembuh.

“Permisi…”

Suara wanita. Lembut dan sopan. Gue pun mendongak. Dia adalah pramugari. Cantik dan sangat rapi dalam setelan pakaian dinasnya yang berwarna biru. Dia senyum profesional seakan menunjukkan bahwa saat ini dia sedang bekerja.

“Iya, ada apa?” tanya gue padanya dengan nada yang lebih pada datar.

Dia terlihat bengong sesaat. Namun, langsung tersadar dan mengerjapkan mata beberapa kali. Biasa. Ini adalah reaksi yang sering gue terima. “Maaf.” Dia mengucap itu dengan penuh kesadaran, seakan memberi jeda untuk dirinya sendiri menetralkan mata. Tak lama, dia mengulang senyum profesionalnya yang tadi sempat hilang. “Apa tempat duduk sebelah anda masih kosong?” tanyanya dengan sopan dan tidak ada kesan sama sekali untuk menggoda.

Gue pun langsung menganggukan kepala. Ini pertanda iya dan dia paham. Dia pun mengikuti anggukan gue, dan langsung memberi simbol ‘permisi’ pada gue. Dia pergi. Gue pun menilik sebentar ke sebelah gue. Memang masih kosong. Seharusnya terisi. Tapi, si pramugari tampaknya masih menunggu kedatangannya. Tidak jadi pergi? Hmm… rasanya lebih baik. Setidaknya gue bisa tidur dengan nyaman tanpa ada seorang pun yang diam-diam mengintip atau terang-terangan memelototi gue. Ah… Ini pasti akan menjadi perjalanan yang menentramkan, sebut gue dalam hati.

***

Sayangnya harapan hanya sekedar angan-angan, ketika seseorang secara ribut mendudukan dirinya di bangku sebelah gue. Dia seorang gadis. Lebih tepatnya bukan gadis biasa. Dia cantik. Bahkan sangat. Dia memiliki rambut panjang hitam lebat yang tergerai panjang dengan ikal melingkar di ujungnya. Pose sampingnya menampilkan siluet hidung kecil nan mancung yang lucu. Bibirnya merah merekah. Pipinya tembam tanpa polesan noda apapun. Keseluruhan penampilannya menarik ditambah dengan satu julukan yang tepat untuknya. Mungil.

Sorry… ganggu ya?”

Itu pertanyaan darinya ketika sepasang retina berwarna coklat pekat itu dengan dalam menangkap fokus manik gue. Gue tersentuh. Hangat rasanya. Seperti melihat sosok Bunda yang hampir tiga bulan ini tidak gue temui. Terlebih ketika senyumnya itu merekah, ada sepasang lesung kecil di padanan pipi tembamnya. Lucu.

“Ng-nggak kok!” Itulah kata yang sanggup gue jawab dengan susah payah.

Kernyitan di dahinya timbul. Mungkin suara gue aneh. Biarlah… sudah terlanjur. Lagipula ini semua adalah salahnya. Dia yang menyebabkan gue untuk pertama kalinya seperti orang kikuk begini. Seorang Clarinta Amanda saja tidak mampu. Gue selalu mampu mengendalikan diri dan emosi gue di depan Clarinta. Tidak pernah salah. Tidak pernah bodoh. Juga tidak pernah semenggelikan ini. Astaga! Gadis ini luar biasa.

“Kenapa?”

Pertanyaan cerdas. Dia pantas bertanya seperti itu. Sikap gue memang aneh. Apalagi dia yang notabene menjadikan gue sebagai objeknya secara langsung. Dia pasti lima puluh kali bisa merasakan keanehan yang terjadi. Tapi, memang dasarnya gue muka tembok. Jadi, gue yang memang terkenal sok cool ini akan bersikap seperti biasanya. Gue tidak mau kehilangan muka. Gue tidak mau di pertemuan pertama yang tdiak terduga ini menghilangkan respon menarik yang selama ini terpatri jelas di diri gue.

7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang