Bab 9: Tentang hari ketiga: Perintah-perintah Romantis

2.3K 153 2
                                    

“Jantung berdegup tidak karuan, rasa lelah menghinggapi seluruh tubuh karena rasa tak bernama dan tiba-tiba sepasang retina ingin selalu melihatnya, apakah bisa jatuh cinta secepat ini?

 

(ARIANNA)

“WOWWWW…”

Rasanya aku tidak percaya apa yang saat ini terbentang di hadapanku. Rasanya ini terlalu indah untuk didefinisikan lewat kata. Bagaimana tidak! Samudera yang tenang begitu indah dari tebing ini. Bentangan rumput liar begitu eksotis menaungi daratan yang saat ini tengah aku pijak. Angin semilir menghantarkan semarak bahwa ini adalah ciptaan Tuhan yang tidak terkira. Pelan-pelan aku dapat mendengar puluhan ombak berani memecah karang di bawah sana. Belum lagi pasir putih pantai tersembunyi yang dipagari oleh pohon kelapa menjulang. Begitu memesona. Gambaran sempurna sebuah mahakarya alam.

“Ini mimpi gue.”

Aku menoleh pada cowok yang berdiri di sampingku. Masih Abinaya. Masih juga si tampan yang penuh kejutan. Dia salah kalau hidupku penuh kejutan. Aku justru yang merasa bahwa hidup seorang Abinaya Nandana Basupati adalah kejutan yang sebenar-benarnya. Setiap inchinya membuatku kewalahan. Sebuah gambaran adalah tindak lanjut dari betapa hidupnya dipenuhi dengan hal-hal diluar dugaan.

Aku menaikkan sebelah alis arangku. “Mimpi?” tanyaku bingung.

Abi mengangguk. Dia menoleh. Matanya tampak pias. Dia seperti hanyut dalam dimensi yang tak bisa aku masuki. Hanya kata dan dia belum menyebutkannya. Sebentar lagi dan aku rela menunggu untuk kejutan selanjutnya. “Ini adalah hadiah ulang tahun ke-17 untuk gue dari kakek. Sebuah tanah yang selalu gue sukai. Sebuah tanah di mana ada representasi masa depan gue yang sudah direncanakan di sini. Sebuah tanah yang mana bersama keluarga kecil, gue akan tinggal di atasnya.” ungkapnya ringan. Inilah Abi. Dia selalu terencana. Hidupnya mudah dan dia selalu berhasil mensyukurinya. Sepahit apapun dia sadar ada bahwa masih ada besok. Masih ada harapan dalam ketidak pastian yang justru untuk orang lain adalah semu dan menjerumuskan.

“Seluas inikah hadiah ulang tahun lo, Abinaya Nandana Basupati?”

Aku merentangkan kedua tanganku. Aku mencoba menjaring angin. Sayangnya, tidak akan pernah berhasil. Karena itu perbuatan sia-sia. Sama seperti kesia-siaan diriku yang mengharap bahwa waktu bisa diputar kembali. Abinaya mendengus. Dia paham aku memang sedang tidak serius. Aku sedang mencandainya. Aku menyindirnya terang-terangan. Dia bilang kemarin, bahwa itulah yang disukainya. Tipikal seorang cowok yang mudah menyatakan hal-hal kecil yang disukainya biasanya adalah player. Namun, itu sangat bukan Abinaya.

“Jangan iri.”

Aku terkekeh kecil. “Siap, tuan muda!” jawabku sarkasme.

“Gue baru ingat kalau saat ini lo dalam mode perintah.”

Aku hanya menyeringai. Aku tahu dia tidak mungkin lupa. Ucapan tadi hanya sekadar menggoda. Sangat khas Abinaya yang selalu cerdas dalam berkalimat. Dia bisa meruntuhkan sejuta argumen dengan hanya sekali menyebut kalimat. Identik dari mana dia dibesarkan. Kedua orangtua dan kakeknya seperti itu. Begitu juga dengan paman dan bibinya yang notabene tidak terhubung oleh darah kental.

“Karena lo sedang dalam masa itu, maka gue akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Perintah pertama berhasil dijalankan dengan baik. Masakan lo enak, Ar.” pujinya padaku yang tak sedikit pun membuatku besar kepala. Terlalu biasa bila Abi yang menyebutnya. Entah kenapa. “Perintah kedua adalah……” lagi-lagi misteri. Lagi-lagi dia membuatku penasaran. Sial! Tidak seharusnya aku berhubungan dengan Abinaya. Dia bisa membuatku mati hanya karena sebuah alasan sepele. Penasaran.

7 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang