Sepasang pelantang telinga itu sudah singgah sekitar lima belas menit lalu. Sudah terputar lima lagu. Tetapi semangat Klausa Hari Rabu ini bak angin lalu. Tak mau bertamu.
Ntah apa yang pemudi itu tunggu. Dia tetap diam membisu. Kian memikirkan ragu yang kian berbisik lewat sebuah lagu halu.
"M-maaf, aku boleh duduk di sini nggak?" tanya pemudi yang serasa asing kata netra. Klausa terpaksa harus berpisah dengan nada yang baru saja masuk di bagian awalnya.
"Duduk aja," balasnya sembari menggeser diri, mempersilahkan sang pemudi singgah di sebelah kiri.
Pemudi itu melengkungkan kurva di pigura. Diletakannya kotak biru muda berisikan jajanan tradisional yang dilumuri kelapa.
"Kamu mau?" pemudi itu menyodorkan kotak, yang sayangnya harus kena tolak.
"Enggak, makasih. Buat lo aja. Oh iya, kok gue nggak pernah lihat lo?"
"Aku. . . . memang jarang keluar kelas. Ini baru pertama makan di kantin, soalnya nggak bawa minum."
"Oh gitu. Eh, kenalin dong. Gue Klausa." Diulurkannya lengan dengan sedikit senyuman. Pemudi itu dengan gasik mengulurkan.
"Aku Reta. Eum—kamu, mantannya Sajakyata 'kan?" tanyanya yang membuat Klausa mengangguk seketika. Huft, apa sefenomenal itu hubungannya dengan Sajakyata?
Klausa mulai memuaikan topik bicara. Apa saja, asal jangan Sajakyata. Kalau boleh jujur, Klausa ragu perihal perasaan yang menjalar ke raga. Antara terima dan tak terima. Klausa belum bisa melupa. Sajakyata cinta pertama, yang mungkin kisahnya memang tak bisa dirajut manis oleh semesta.
"Sajak, ada mantan lo!" Jingga baru saja masuk ke kantin Tritamapa, tetapi sudah buat gaduh seisinya.
Tumben. Hanya ada Jingga dan Sajak yang singgah untuk menuntaskan lapar perutnya. Entah kemana pergi lima lainnya.
"Ayo, gue mau pesan dulu. Makan di kelas gue aja ya?" ucap Sajakyata yang menarik ujung kemeja Tritamapa milik Jingga. Pemuda itu hampir saja menghampiri meja Klausa.
Jingga hanya memandang rupa Sajakyata yang tak tampak biasanya. Perihal Klausa, pemuda itu sudah janji mau membuat pemudi itu jadi miliknya, lagi. Kali ini Sajakyata seperti benar tak berniat menghampiri. Tetapi pemuda Jogjakarta itu tahu, pasti telah terjadi sesuatu.
"Lo mau pesan serabi 'kan? Gue titip nasi goreng satu. Gue mau nyapa mantan lo dulu."
Sajakyata langsung berbaur dengan anteran Srikandi. Sedangkan Jingga mendekat ke arah Klausa yang sudah ingin mengaburkan diri.
"Mau apa hah?"
"Idih galak. Gue cuman mau duduk aja. Nunggu Sajakyata selesai pesan makanan."
Klausa lesu. Lagi-lagi bersua rupa dengan masa lalu. Masa lalu yang benar-benar jadi benalu.
"Eh, ini teman lo? Baru lihat gue. Siapa namanya?"
"Reta. Namanya Reta. Udah, nggak usah banyak tanya kalau masih mau duduk di sini."
"Terserah gue dong."
Klausa kembali membuka pigura. Ia dan Jingga sedang sawala. Sedangkan Reta hanya diam sembari menggigit pigura. Bingung ingin berbuat apa.
Sajakyata yang telah usai memesan pangan segera memisahkan. "Udah jing. Ayo."
Klausa diam dibuatnya. Pasalnya, pemuda itu. . . . Sajakyata tampak biasa saja bersua dengannya. Bahkan ia terlihat tampak tak menghiraukan Klausa yang berada tepat di hadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEWU FRASA (TERBIT)
Novela Juvenil⚝ pls 。 / OO ❝ persahabatan itu, bukan sekedar pembaitan. maknanya memang sesempit rakit di lautan. tapi kalau untuk sekedar diucapkan dengan lisan, ...