Perkataan milik Sajakyata mengundang sebuah pukulan yang dengan besar hati diremehkan. Ah ayolah, Sajakyata juaranya kalau soal tonjok-tonjokan. Bahkan Saptapana hanya diam menyaksikan. Sajakyata memang benar tak butuh bantuan. Kalau mau membantu pun, nantinya malah menyusahkan.
Usai perkelahian, Sajakyata mendekat ke arah Klausa yang masih ketakutan. Dengan tak tahu aturan, pemuda itu malah memarahinya habis-habisan. Niatnya sih mau memberi pelukan. Tapi diurungkan.
"Lo ngapain sih ada di daerah ini? Ini udah mau malam dan lo masih berkeliaran, sendirian lagi. Mana pacar lo itu hah? Harusnya dia itu ngelindungin lo, bukannya nelantarin lo kaya gini, Sa. Gimana semisal tadi gue nggak datang hah?"
Sekiranya itulah ucapan yang Sajakyata lontarkan dalam sebuah ringkasan yang selalu meninggikan nada di setiap perkataan.
Hingga akhirnya, Sajakyata dan Klausa berada dalam batas tanpa suara. Tadi, pemuda milik Jakarta itu lepas kendali, memarahi sang pemudi. Sedangkan, enam anak manusia yang tadinya menjadi ekor Sajakyata duduk berjauhan memberi keduanya waktu menyepi.
"Maaf," ucap Sajakyata dengan iringan helah napas yang mulai selaras. Lagi, dan lagi. Seperti, hubungan mereka hanya ada dusta milik Sajakyata, bukan cinta antara keduanya. Ah, rasa itu memang sudah tak ada untuk Klausa kan?
Yang diberi maaf hanya terdiam, tak mau semakin kelam. Lebih baik berselancar dalam pikiran dan menyelam sekalian dalam.
"Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa. Makanya tadi gue marahin lo," lanjutnya setelah dirasa sang penerima dialog tak membalas kata.
"Mau gue antar pulang?"
"Nggak usah. Gue bisa sendiri," jawabnya sembari memisahkan diri, tanpa mengucap terima kasih. Huh, dasar pemudi ini.
Sajakyata tersenyum paksa, lalu berkata. "Sajakyata buat Klausa itu cuma titik."
Klausa yang hendak memberi jarak itu tersentak. Ini, mungkin saatnya untuk menguak.
"Sajak itu titik, pengakhir kata cinta antara Sajak dan Klausa. Lalu, titik itu terkikis jadi separuh. Meninggalkan nama sebuah koma, yang menjeda antara Sajak, Klausa dan ia. Dan terakhir, titik itu terkikis lagi jadi sepertiga. Dimana Sajak, bukan lagi siapa-siapa."
"Ya, Sajak bukan siapa-siapa."
Seakan Sajakyata benar mau meninggalkan, dia benar mengatakan. Lalu, berbalik badan mencoba untuk melupakan. Sedangkan Klausa dilanda reruntuhan.
Saptapana tengah asik menceritakan kejadian semalam. Pasal kisah Sajakyata dan Klausa yang telah kandas duluan. Ada yang menyemangatkan, ada juga yang memberi ejekan. Namanya juga persahabatan.
Tetapi Heru, pemuda itu tak kunjung menyeru setelah Saptapana bertemu. Tak seperti biasanya yang memang bercakap selalu.
"Ru, kenapa? Kok lo sih yang galau. Kan yang memutuskan untuk melupakan Sajak," ucap Catra sembari melempari Heru dengan kulit kuaci dari kantin Ganesha. Hasil hutang pastinya.
"Nggak papa. Gue ke kelas dulu ya." Jawaban dari Heru tentu mengundang milyaran pertanyaan. Ditambah pemuda itu benar pergi meninggalkan.
"Gara-gara lo kali Jing," Narendra bersuara. Sedangkan Jingga melotot tak terima.
"Kok gue sih?!"
"Ya, kemarin kan lo yang taruhan sama dia buat dapatin cewek satu minggu. Ini udah empat hari. Mungkin Heru belum dapat, jadi galau."
"Yaelah, gue aja belum dapat."
"Tapi emang kayaknya nggak mungkin kalau cuma soal taruhan. Pasti dia lagi punya masalah, tapi sungkan buat cerita."
Setelah Sajakyata berbicara, Gilang Agastya yang sedari tadi bersila manis itu pun jadi ikut hendak memisahkan raga.
"Gue aja yang nanya ke dia. Kalian nggak usah khawatir. Nanti gue kasih tau," ucapnya yang diberi anggukan seluruhnya.
Langsunglah tungkainya merebak ke belakang gedung Tritamapa yang sepi seperti biasa. Gilang sudah pasti tahu, pemuda itu. . . . Heru, pasti tengah bersandar di kedera belakang sekolah.
"Ngapain lo?" tanyanya setelah menyadari keberadaan Gilang Agastya di samping kanannya.
"Lo kenapa? Kalau ada masalah cerita. Kaya nggak biasanya aja. Kita kan sahabat." Kalau sudah seperti ini, pasti pangeran es Tritamapa akan sedikit banyak bicara.
"Sahabat juga butuh privacy, Lang."
"Gue tau. Tapi nggak gini Ru, kalo lo diem kaya gini yang ada Saptapana pada khawatir sama lo."
Heru terkekeh. "Khawatir? Gue kira mereka nggak peduli. Dan, kenapa mereka harus peduli?"
"Ru, lo ngomong apa sih?"
"Gue? Cuman ngomong fakta. Kita, bukan peran utama. Sajakyata, Narendra, sama Jingga peran utamanya."
Gilang Agastya menatap netra pekat milik Heru. "Gue nggak ngerti, kita sama-sama Saptapana. Dan kita selalu ada buat satu sama lain, Ru. Pemeran utamanya ya kita. Bukan Sajak, Naren ataupun Jingga. Tapi kita semua!"
©DE-HANA
🐧🐧🐧🐧🐧
KAMU SEDANG MEMBACA
SEWU FRASA (TERBIT)
Fiksi Remaja⚝ pls 。 / OO ❝ persahabatan itu, bukan sekedar pembaitan. maknanya memang sesempit rakit di lautan. tapi kalau untuk sekedar diucapkan dengan lisan, ...