Prolog

130 5 1
                                    

15 Januari 2023.

Kondisi di Inggris sangat dingin. Maklum, saat itu musim salju sedang memutihkan negeri ratu Elizabeth itu. Ini pertama kalinya kakiku menghentak di benua putih. Jutaan mimpi luar biasa yang sebagai manusia biasa. Suhu disana mencapai 1derajat Celcius. Matahari tak terlihat di ufuk timur, hanya putih memancar ke setiap kornea mata yang berada di tanah ini. Aku melompat lompat kegirangan. Melupakan siapakah diri ini ketika itu. Ah lupakan, yang penting aku bahagia.
Pepohonan yang hijau terus mengayun dihantam salju yang terus turun dengan gusaran angin yang bertiup. Memastikan hijaunya tertutup oleh setiap salju yang turun dari langit. Natal sudah lewat lebih dari setengah bulan, tetapi beberapa riasan masih tergantung disetiap sudut di bandara ini. Beberapa penjaga dan karyawan yang bermuka khas Eropa berkulit putih memberikan petunjuk kepada kami, kearah mana kami akan melalui. Deretan manusia bak semut yang mengantri, kembali menunjukkan identitas, setelah terdengar adanya isu teroris dua hari yang lalu. Ya, aku baca itu di koran sebelum aku berangkat. Aku kembali harus menunjukkan pasportku.
" Good morning sir"
" Morning"
" Pasport please"
" Sure" aku segera memberi sebuah lembaran administrasi yang dipakai setiap negara yang menunjukkan kewarganegaraannya dari setiap warganya. Ia menunjukkan jarinya, seakan memberiku jalan agar segera maju dan digantikan oleh sahabatku, Ras. Aku memasukkan kembali ke dalam saku bajuku yang tebal. Persiapan matang telah aku lakukan semenjak dua hari yang lalu, pakaian, makanan, bahasa, aku mempersiapkannya dengan akurat, sedikit perhitungan matang. Khususnya untuk presentasi pada esok hari.
Ras telah diberi ijin untuk melanjutkan perjalanan, ia pun langsung memasukkannya kedalam bajunya yang kurasa sangat tipis. Sudah aku peringatkan ia agar tidak memakai baju yang tipis, tapi sepertinya tidak ada pengaruh bagiaya. Menurutnya ia ingin merasakan salju secara nyata tanpa pakaian tebal yang saat ini aku pakai. Baiklah, terserah saja. Sekarang ia sedang menggigil kedinginan. Aku melanjutkan perjalanan yang cukup melelahkan ini. Sudah 12 jam aku dan Ras duduk diatas pesawat. Beberapa kali kami singgah di negara lain, katanya perizinan pesawat Indonesia belum cukup untuk berkelana di negeri ini. Harus kuakui itu bukan berita yang baik, tapi desas desusnya pihak pemerintah Indonesia akan mencoba meloby beberapa petinggi uni Eropa untuk kembali memperbolehkan izin penerbangan. Wacana yang belom terlaksana semenjak aku dan Ras kuliah di negeri zamrud khatulistiwa.
Aku menyetop sebuah taksi kuning yang lampunya menyala, tanda bahwa tidak ada penumpang didalamnya. Mungkin sebagai pendatang, akan lebih untung bagi kami bisa memesan taksi online, tapi negara tidak mendukung semenjak kehadiran taksi online pertama, bahkan mereka sempat mendemo pemerintah setempat. Bandara London Heathrow. Sudah kami lewati, tak terlihat lagi dari dari kaca mobil taksi kami. Ras menyebutkan ke arah mana kami akan singgah. Bandara yang sibuk itu suatu saat akan lebih menghargai kedatangan kami.
Pengumudi mobil yang cuek dengan obrolan kami, membuat perjalanan menjadi membosankan. Tapi bagiku melihat tanah ratu Elizabeth, dengan setiap sudut kota dan arsitektur yang khas Eropa sudah membuatku melupakan supir taksi itu. Anak sepertiku datang ketempat sini. Ras masih sedikit bingung mengapa ia bisa ada disini.
" Ras, kita udah disini" kataku dalam mobil, tanpa peduli supir aku menggunakan bahasa Indonesia.
" Iya lam, entah kok bisa ya kita disini?" Ia memainkan tas cangklong yang ia beli dari sebelum ke sini. Memandang keluar jendela di sebelah kanan. Salju menghujani kaca mobil, rute perjalanan jauh dari pusat kota, menuju sebuah kota kecil. Mobil masuki tol. Kebahagiaan yang tak mampu tergambarkan disini, senyum senyum dari bibirku seakan tak mau menghindar dari selat diantara pipiku. Apakah ini hanya mimpi?
Mobil terus melaju. Argo diatas taksi terlihat terus bertambah, aku tidak peduli. Sekitar pukul setengah sembilan, aku mengambil koperku dari bagasi mobil. Membawa koper masuk ke dalam sebuah penginapan di daerah kota kecil di negri ini. Leicester. Kota yang aku tuju bukan saja karena bisnis untuk mengembangkan sayap, dulu -karena aku seorang fans sepakbola, aku terinspirasi dari kota kecil ini. Menciptakan sebuah keajaiban menjadi juara di liga Inggris, salah satu liga tersulit di dunia. Ditambah lagi, kota ini memiliki prospek bisnis yang bisa diandalkan. Resepsionis bertanya data kami, Ras menceritakan tentang masalah booking membooking hotel ini, asistennya yang memesannya. Sang wanita muda itu melihat data administrasi hotel, katanya baru sekitar satu jam lagi kami baru membolehkan check in ke dalam kamar. Cukup mengesalkan, tapi aku dan Ras tidak ingin membuat masalah di sini. Mungkin saja bisnisku bisa menjadi gagal disini, kalau aku tidak menjaga kelakuanku.
" This is for you" aku menyerahkan uang tip ke wanita yang berpipi tirus itu. Ia sedikit mengerti, mengetik seperlunya, lalu memberikan kunci kamar pada kami.
" Kita kagak mimpi kan Ras?"
" Kagak"

Hari Ini Adalah Esok Hari Kemarin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang